Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Pemerintah Lepas Tangan

Pemerintah tiba-tiba menyerahkan penyelesaian Bank Bali ke Bank Indonesia. Janji Deputi Gubernur BI, Anwar Nasution, adalah: BI akan bersikap fair. Nasib Bank Bali ditentukan pekan ini.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejutan besar datang dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Kamis pekan lalu. Selang dua hari setelah pemilik lama Bank Bali, Rudy Ramli, menyatakan ingin mundur dari bank tersebut seraya minta kompensasi kepada pemerintah, komite yang dipimpin Menko Ekuin Kwik Kian Gie itu justru menyerahkan nasib Bank Bali ke Bank Indonesia. Keputusan ini tidak saja mengagetkan Rudy Ramli, tapi juga Deputi Senior BI Anwar Nasution, yang hadir dalam pertemuan KKSK tersebut. Seiring dengan itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menarik tuntutan banding yang mereka ajukan—setelah kalah melawan Rudy Ramli di Pengadilan Tata Usaha Negara, akhir Maret lalu.

Agaknya, pemerintah kehabisan energi untuk mencari penyelesaian bagi kasus Bank Bali, yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun ini. BPPN sendiri sejak mula kewalahan mengurus Bank Bali. Mulai dari mencarikan mitra strategis yang gagal, persoalan cessie dan tagihan antarbank (interbank) Bank Bali—menyebabkan banyak orang masuk penjara—sampai urusan menyelamatkan bank berlambang si Jempol ini dari likuidasi. Kwik sendiri mengaku, BPPN hampir mustahil mencapai perdamaian dengan keluarga Rudy sebagai pemilik lama Bank Bali. Lagipula, DPR tidak menyetujui rekapitalisasi bank ini, sebelum urusan hukum dengan Rudy dituntaskan.

Dengan setumpuk masalah berat seperti itu, bisalah dipahami mengapa akhirnya pemerintah menyerahkan masalah tersebut ke Bank Indonesia. Implikasi dari keputusan KKSK, status Bank Bali berubah dari bank take over (BTO) menjadi bank yang memenuhi syarat untuk direkapitalisasi. Status ini tentu lebih bergengsi. Tapi kepada TEMPO Rudy mengaku kaget dan tak lagi bisa menebak apa yang sedang direncanakan pemerintah terhadap Bank Bali. ''Tanya saja pemerintah, dan nasib Bank Bali terserah pemerintah," katanya. Anwar sendiri semula tak bersedia memberi keterangan, tapi akhir pekan lalu ia berjanji, BI akan bersikap fair dalam mencari penyelesaian bagi Bank Bali.

Namun, sebuah sumber TEMPO di BI mengungkapkan, lembaganya seperti dijadikan tempat sampah. ''Soalnya, dalam empat negosiasi dengan Rudy, BI hanya sekali dilibatkan. Tiba-tiba, setelah negosiasi buntu, BI yang harus menanganinya," ujarnya kesal. Repotnya, kondisi Bank Bali yang hancur lebur menyebabkan BI tak punya banyak pilihan. Berdasarkan laporan keuangan Maret 2000, rasio penyediaan modal minimum (CAR) Bank Bali minus 84 persen, dengan kredit bermasalahnya (nonperforming loan) mencapai 41 persen. Kondisi ini bisa makin buruk karena rekapitalisasinya tertunda-tunda, dan pendarahan (bleeding) Bank Bali mencapai Rp 40-75 miliar per bulan.

Dengan kondisi seperti itu, BI sebetulnya hanya punya satu pilihan: melikuidasi Bank Bali. Kekurangan modal yang diderita Bank Bali, bagaimanapun, lumayan parah. Kalaupun hendak direkap, paling tidak dibutuhkan Rp 4,9 triliun. Dan, belum tentu pemerintah dan BI setuju merekapnya, jika urusan hukum Rudy dengan BI tidak dijamin akan selesai.

Tak hanya itu. Ada persoalan lain yang juga pelik, yakni mampukah pemegang saham lama menyuntikkan modal 20 persen, sementara pemerintah menginjeksikan 80 persen. Saat ini, pemegang saham mayoritas Bank Bali adalah DBC (Deutsche Bourse Clearing AG), yang menguasai 50,1 persen. Selebihnya dimiliki keluarga Rudy, Sanwa Bank, dan publik. Kendati DBC dengan kepemilikan 50,1 persen menjadi pemegang saham mayoritas, identitas individunya sampai kini tak juga jelas. Rudy sendiri terus mempersoalkan keberadaan DBC ini. Bahkan, dia meminta BPPN agar peran DBC dimatikan alias tidak diizinkan membeli jika Bank Bali menawarkan right issue.

Rudy sendiri berpendapat, kewajiban untuk menambal kekurangan biaya rekap Bank Bali seharusnya dipikul oleh DBC sebagai pemegang saham mayoritas. Dia sendiri dari dulu juga tidak mampu. ''Memangnya nenek moyang saya bisa kirim duit untuk rekap. Biayanya kan besar sekali," tuturnya.

Sementara itu, Rudy menduga, BI tidak akan memilih likuidasi sebagai jalan keluar karena hal itu hanya akan memperburuk citranya. Lagi pula, ''Saya mendengar sudah ada satu bank swasta nasional yang akan menampung Bank Bali," tutur Rudy dalam wawancara Sabtu siang dengan Tempo Interaktif.

''Saya mengira, bank tersebut sejak awal berada di belakang masalah-masalah yang menimpa Bank Bali," katanya melanjutkan. ''Dan ada kemungkinan, bank itu juga berada di belakang DBC."

Dengan memperhitungkan kehadiran DBC—yang sudah menghabiskan Rp 500 miliar untuk membeli saham Bank Bali—Rudy yakin bank yang didirikan oleh ayahnya Djaja Ramli itu akan terhindar dari likuidasi. Kalangan dalam BI sendiri menyebut bahwa keputusan tentang nasib Bank Bali akan diambil pekan ini. Dengan pernyataan Anwar Nasution, bahwa BI akan fair, setidaknya hal itu mengisyaratkan bahwa bank sentral kali ini tidak akan bertindak sembrono. Bagaimanapun, penyelesaian kasus Bank Bali menjadi barometer bagi pemerintah dan BI dalam menyelesaikan bank-bank bermasalah.

M. Taufiqurohman dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus