Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Akbar

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA benar tidak ada bintang dalam malam, jika benar di sana hanya ada kelelawar dan burung hantu dan rembulan yang gila, apa yang akan terjadi pada diri kita? Apa yang terbentang di sana buat kita? Barangkali sebuah pemandangan yang paling mengerikan, tapi, jika kita ingin lengkap mengutip Nietzsche, "mungkin juga pemandangan yang sangat paling penuh harapan."

Horor, atau harapan. Setelah melalui sekian ratus tahun, apalagi setelah melintasi abad ke-20, manusia memang bisa kecewa kepada optimismenya sendiri, dan menjadi lebih arif karena kekecewaan itu. Pernah ada masanya ia menyangka bahwa akan ada petunjuk yang konsisten dan bisa dipercaya dalam perjalanannya menempuh waktu—seperti para pelaut berpedoman pada komposisi bintang dalam gelap. Orang Eropa menyebut masa optimisme itu, seperti tecermin dalam dunia sastra dan pemikiran di abad ke-18, "Pencerahan": manusia tidak lagi dipermainkan oleh takhayul, sebab ia telah membebaskan akal budi atau nalar.

Dan kegembiraan, mungkin juga keharusan, membebaskan nalar itu tak cuma terjadi di Eropa. Amartya Sen, ahli ekonomi pemenang Hadiah Nobel yang juga suka menulis masalah-masalah filsafat itu, dalam sebuah tulisan pekan ini menunjukkan bahwa hal yang sama terjadi di India. Akbar, raja Moghul yang memerintah Hindustan di pertengahan kedua abad ke-16, tiga ratus tahun sebelum "Pencerahan" Eropa, menunjukkan bahwa "jalan nalar" (rahi aql) merupakan jalan yang lebih baik ketimbang "tradisi". Tersebutlah bahwa suatu hari Baginda Akbar bercerita kepada Abul Fazl, pembantunya yang juga ahli bahasa Sanskerta, Arab, dan Persia, "Ikhtiar nalar dan penolakan atas tradisionalisme dengan sangat gemilang ditunjukkan sehingga tak memerlukan argumen lagi. Seandainya tradisionalisme yang benar, maka para nabi hanya akan mengikuti para sesepuh mereka (dan tak akan datang dengan amanat-amanat baru)."

Akbar, sebagaimana dipaparkan oleh Sen dalam tulisan dalam The New York Review of Books pekan ini, menunjukkan utamanya rahi aql di tengah-tengah rumitnya perbedaan agama di India, sebuah negeri tempat orang Hindu, Islam, Kristen, Jain, Farsi, Yahudi, Sikh, Buddha, dan entah apa lagi bertumbuh—dan tentu saja masing-masing menegaskan kebenaran yang dibawakannya. Bagi Akbar, setidaknya menurut Sen, moralitas dapat dituntun oleh penalaran. Dalam memutuskan penilaian moral, kata Akbar, kita tak boleh tergantung kepada "tanah rawa-rawa tradisi" dan bahkan juga perintah agama. Penalaran yang kritis akan lebih berfaedah.

Akbar dalam hal ini memang mengambil risiko untuk dikecam oleh orang-orang seagamanya. Putranya yang tertua, Salim, bahkan ikut berontak bersama kaum muslim yang lebih ortodoks, ketika melihat raja tua itu tampak meremehkan peran agama. Tapi bagaimana Akbar bisa mengelak dari pendirian ini? Kerajaannya akan dilanda perang yang dahsyat dan tak putus-putusnya jika ia mengedepankan perintah agama (dan itu berarti salah satu agama, katakanlah Islam) dalam pertimbangan mengenai baik dan buruk. Begitu berniat Akbar menjaga keutuhan kekuasaan Moghul sehingga suatu ketika ia pernah menawarkan adanya agama baru, yang ia sebut Din Ilahi, yang mencoba mengombinasikan hal-hal yang baik dari agama yang berbeda-beda. Proyek ini gagal. Tapi pilihan Akbar untuk memilih menghindar dari "tanah rawa-rawa tradisi" tetap mencerminkan kebutuhan India sampai dengan berdirinya Republik di pertengahan abad ke-20.

Pertikaian berdarah, penuh kekerasan dan maut atas nama Islam atau Hindu atau Sikh melukai masyarakat India berulang-ulang. Orang yang membunuh Gandhi melakukannya atas nama iman Hindu. Di tiap masyarakat yang agamanya terkait dengan pembunuhan kecil atau besar-besaran, memang tak dapat dielakkan bila orang bertanya: buat apa gerangan iman, dan hasrat ke surga melalui mati syahid, jika di bumi yang ada hanya rasa benci dan kebengisan? Eropa tak akan mengumandangkan "Pencerahan" seandainya Eropa tak mengenal kemandengan berpikir, dan kepicikan dan kebencian yang meledakkan perang agama berpuluh tahun.

Tapi benarkah akal budi akan menyelamatkan kita? Dewasa ini sangat banyak sudah kecaman kepada optimisme "Pencerahan", setelah dunia menyaksikan bagaimana bahkan akal budi juga membawa malapetaka, ketika ia semakin lama semakin terbatas menjadi "akal yang instrumental", yang tertuju untuk mengalahkan dunia dan bukannya membebaskan. Itulah dasar peringatan muram Nietzsche: baginya Tuhan "sudah mati", dan manusia tak punya tuhan baru, juga dalam bentuk akal budi. Tapi apa yang tersisa, jadinya?

Horor atau harapan. Tentang kemungkinan horor, saya kira kita tahu: tanpa mengutamakan nalar, yang akan berkecamuk adalah naluri, emosi yang tak terkendali, juga purbasangka yang beku. Tentang harapan: bisakah manusia mempunyainya? Karena malam tak menjanjikan bintang, karena di sana mungkin hanya ada kelelawar, burung hantu, dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan bermula dari kebebasan yang menemukan sikap rendah hati akan batas.

Di alam semesta yang kian lama kian cepat membuat bumi menyendiri dan manusia terpencil, sikap rendah hati itu tak terelakkan lagi. Juga kerendahan hati teks-teks yang suci, yang tak pernah dimaksudkan sebagai Tuhan itu sendiri.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus