Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sistim pendidikan: suara siswa sma

Sistem pendidikan di sma perlu dirombak materinya. jika hanya bertumpu pada pendidikan di pt, regenerasi akan gagal. siswa yang mempunyai hak pilih dibiasakan untuk berdiskusi tentang situasi masyarakat. (kom)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISTEM pendidikan seperti yang diterapkan di sekolah saya ini, patutlah disebut "sistim pendidikan kolosal". Bukan saja berarti kelas yang sumpeg oleh napas 37 kepala, tapi lebih sebuah sistim yang serba "digeneralisir". Pribadi dan potensi tiap anak tidak mendapat tempat. Pak guru hanya kenal siswa yang tercantik, terpinter, terjelek, dan terbandel. Sekolah berarti mendengar yang dikatakan pak guru, menulis apa yang ditulis pak guru, dan menyalin kembali apa yang dikatakan dan ditulis pak guru pada kertas ulangan. Pengajaran yang sangat berorientasi pada guru, sampai kadang-kadang akan mengurangi wibawa guru jika seorang siswa menolak mencatat dan bertanya buku karangan siapa yang dipakai mengajar beliau. Ditambah mata pelajaran yang banyak dan berwarna-warni, sampai susah dicari hubungan dan relevansinya. Maka lengkaplah untuk bertanya: inikah sistim pendidikan yang menyiapkan para teknokrat, enterpreneur dan pemimpin bangsa? Dengan cara inikah mereka disiapkan menjawab persoalan-persoalan nasional kelak? Sistim ekonomi nasional, sistim pemerintahan nasional, sistim pendidikan nasional? Bagaimana bisa diharap penilaian tinggi atas hasil karya, keinginan berprestasi, dan achievement? Tiap tahun naik kelas, sudah cukup. Buat apa jadi bintang kelas, toh tak ada jaminan diterima di PT (sayang saya dari jurusan sastra, jadi tidak bisa belajar di institutnya Andi Hakim atau masuk AKABRI). Sementara agar tiap tahun naik kelas sendiritidak penting. Nyontek itu sudah biasa. Sudah bukan rahasia dan dianggap "seni"nya bersekolah. Pak guru juga maklum saja. Sebab jika beliau memberi angka 6, dalam hati kecilnya menulis 4. Sebab untuk kesediaan menyontek saja, mustinya sudah dipotong 20%. Kurikulum boleh berganti setiap perubahan kabinet. Tapi tak akan merubah apa pun jika hanya merubah apa yang harus dipelajari, bukan bagaimana mempelajarinya. Nyontek memang bentuk struggle yang orisinil, dan cukup menjadi bukti bahwa otak jalan. Nyontek adalah kemampuan yang meliputi pengalaman ketrampilan, akting, timing, dan teknik-teknik memperdaya guru. Dan jika ini dilakukan, mereka sadar benar keadaan menghendaki begitu. Apalagi memang manjur dan sudah terbukti kasiatnya. Cuma yang jadi soal, ini tidak cocok untuk maksud pendidikan apa pun. Kecuali jika maksudnya mencetak bandit, pemimpin-pemimpin korup yang pandai mengkotak-katik "sikon". Adalah omong kosong jika sekolah mendidik siswa berdisiplin. Tapi memang ya, jika yang dimaksud itu "menurut". Sebab disiplin di sini tak lebih dari setumpuk aturan tentang bagaimana siswa memelihara rambut, memakai pakaian, dan bagaimana membohongi guru kalau bolos. Yang terakhir ini harap diperhatikan. Kalau perlu memalsu tanda tangan orangtua, agar pak guru tidak tersinggung dan merasa diperhatikan. Barangkali inilah kenapa siswa SMA tidak menjadi lebih dewasa. Berapa kali terjadi kasus ancaman atau pemukulan siswa atas gurunya? Ini tak bakal terpikir, jika siswa pernah datang di rumah gurunya. Ngobrol sebagai manusia, saling merasakan dan mengerti. Persis kata orang, hubungan guru dan murid tak lebih dari penjual dan pembeli. Selagi jadi murid ia akan melakukan apa saja (sampai tingkat over acting pun). Tapi begitu STTB di tangan, jangan harap ditegur waktu ketemu di jalan, atau dipanggil pak atau bu. Penekanan disiplin macam ini tak bakal sampai pada tujuannya -- paling banter hanya mewariskan cara bersikap dan berpikir feodal. Sebab disiplin murni hanya bisa dilihat dalam siswa mengerjakan ulangan. Sementara tiap tahun makin jelas adanya jurang pemisah antara Pra-PT dan PT, pelajaran sekolah lebih tak mampu mengajak siswa melihat masyarakatnya dengan lebih baik. Bagaimana dapat mengikuti perkembangan sastra sekarang, jika pelajaran sastra (pun untuk jurusan Sos/Bud) cukup berhenti pada Angkatan '45 dan Chairil Anwar? Apa ini tak membingungkan: 70% penduduk Indonesia hidup dari pertanian dan lebih 70% bergantung dari pertanian, dan sektor ini menghasilkan 56% pendapatan nasional (Geografi Indonesia, Djenen, drs, MSc) sementara tiap tahun negara impor beras, dan di Karawang rakyat makan enceng gondok? Siswa boleh baca koran, tapi tak akan lebih jelas apa itu "Tri Tura", ORBA, jika pelajaran sekolah cukup berpusing-pusing tentang zaman Mojopahit atau zaman kolonial. Pak guru Civics akan lebih banyak ditanya siswa, dan akan semakin tak pandai menjawab. Kenapa Golkar punya hak pengangkatan? Apa Golkar berbeda dengan parpol lain? Bukankah "utusan-utusan daerah dan golongan" sudah direalisir dalam Fraksi ABRI dan Utusan Daerah? Dan pak guru terlalu lama mengangguk-angguk, sampai berkata: "Saya mengajar teori, bukan praktik!" (Waktu itu baru hangat-hangatnya Pemilu. Hampir semua siswa sudah berhak nyoblos. Mereka juga ikut kampanye di jalan-jalan, kebanyakan untuk PPP atau PDI atau kedua-duanya. Kalau Golkar, malu -- sebab seperti orang tua). Tak tahulah apa ini pendidikan yang didaktik metodik. Yang jelas tidak membuat kami intens dengan persoalan masyarakat. Sudah untung mau pegang koran. Buat apa payah-payah baca, toh tidak keluar dalam ulangan? Kegemaran membaca adalah nonsens, jika sistim pendidikan sekedar didaktik metodik yang tidak menarik. Rasanya lebih banyak pelajaran yang menjadi beban dari berfaedah. PKK misalnya, sudah tidak menarik lagi jika hanya bicara bagaimana mengatur kamar, mencuci, dan membuat sambal. Lebih mendesak mereka diajarkan doktrin-doktrin ORBA, atau pendidikan seks, agar ini semua bukan hanya isyu nasional. Sebab tahun 66 mereka masih SD, dan setelah SMA sekarang melihat betapa "lokalisasi-lokalisasi" menjadi sah untuk sebuah masyarakat modern. Saya tak habis mengerti: untuk apa siswa SMA yang akan ujian mesti menempuh dulu ujian kepramukaan, jika hanya berarti baris-berbaris dan membuat tali simpul. Lebih beralasan jika mereka diajar diskusi atau kuliah-kuliah politik, supaya jika jadi mahasiswa nanti bukan sekedar badut politik, moral force yang tak punya konsepsi. Regenerasi sudah ternyata gagal jika hanya bertumpu pada pendidikan di PT. Jika Ketua MPR/DPR lain tak ingin terkejut dan pingsan, seperti Adam Malik dulu mendengar Young Ambon, mereka mesti menengok SMA. Sebab siswa SMA-lah yang paling tipis kadar nasionalismenya. Mereka yang perlu diregenerasikan, diintegrasikan. Kalau perlu dengan merombak materi pengajaran. Pelajaran Sejarah Indonesia mesti dimulai dari periode Pergerakan Nasional. Supaya mereka tidak hanya kenal nama Soekarno dan Hatta, tapi juga Syahrir Mohammad Roem, Tan Malaka dan Kahar Muzakar. Lengkap dengan pikiran-pikirannya agar kelak siswa lebih kenal dirinya dan negaranya. Pelajaran Sejarah Dunia mesti dimulai dari periode setelah Perang Dunia II, agar siswa lebih sadar kapan dan di dunia mana ia hidup. Juga pelajaran Ekonomi mesti dimulai dengan "Ketidaksamaan Ekonomi Regional dan Internasional", agar relevan dengan status underdeveloped negeri ini lengkap dengan persoalan penduduk, tenaga kerja dan transmigrasi. Akhirnya jika ada yang bertanya, apa yang saya hasilkan selama di SMA. Inilah jawabnya. Tapi jika anda bertanya, kenapa saya masuk SMA. Apakah saya punya pilihan lain? M.S.B. BARON (SMA Tld. Yogyakarta) Kauman Gm. IV/242, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus