Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi ? Konkrit ?

Pameran puisi konkrit diadakan di galeri baru tim, menampilkan karya danarto, sutardji calzoum bachri dll. ide pameran ini berasal dari keinginan mewujudkan kata dalam bentuk visualnya.(sr)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN populernya pembacaan sajak, yang dulu dikenal sebagai deklamasi, apa yang disebut puisi bukan sesuatu yang asing. Apalagi ruangan anak-anak di surat kabar dan juga majalah anak-anak (Kawanku, Bimba, Bobo, dsb.) selalu tak absen menghadirkan puisi. Dalam Puisi Asean 78, di TIM, 17-20 Juli, salah satu acaranya ialah 'Pameran Puisi Konkrit'. Sutardji Calzoum Bachri, penyair bir yang populer itu, dan juga beberapa peserta yang lain, mencoba menjelaskan apa itu 'puisi konkrit' (lihat box). Barangkali bisa diterankan lagi demikian. Sebelum sastra dituliskan, bentuk kesenian ini hanya dikomunikasikan secara lisan. Karena itu kata-katanya dipilih sedemikian rupa hingga enak didengar. Keenakan bunyi kemudian jadi nomor satu, dan arti atau maksud kata-kata boleh dikesampingkan. Contoh yang jelas adalah mantra-mantra, atau juga suluk sang dalang wayang. Sutardji sendiri yang mengaku terpengaruh mantra salah satu sajaknya demikian: lima percik mawar/tujuh sayap merpati/ sesayat langit perih/dicabik puncak gunung/ sebelas duri sepi/dalam dupa rupa/ tiga menyan luka/mengasapi duka puu . . . aah!/kau jadi Kau!/Kasihku Apa artinya? Tidak penting. Yang penting, bagaimana melodi yang terdengar dari susunan kata-kata itu -- yang memang membawa suasana tertentu. Kemudian orang menemukan tulisan. Dan tulisan adalah gambar kata-kata. Tulisan memang hanya mengantarkan maksud, tapi sebenarnya, 'gambar tulisan' itu sendiri toh mempunyai nilai sebagaimana 'bunyi' (tanpa arti) mempunyai nilai. Maka cara menuliskan sajak -- dengan huruf besar atau kecil, urut ke bawah dengan teratur atau disusun bak anak tangga -- bisa menjadi lebih dikemukakan daripada arti kata-kata. Dan perkembangan mementingkan cara menuliskan sajak itulah yang kemudian melahirkan 'puisi konkrit'. Bentuk visualnya yang kemudian menjadi bahasa utama. Cobalah anda kunjungi Pameran Puisi Konkrit di Galeri Baru TIM. Ada peta Indonesia dibikin dari tripleks dan tiap pulaunya berisi sajak. Itu karya penyair Padang, Hamid Jabbar. Ada tempelan-tempelan guntingan koran. Ada sangkar dicat warna emas dan di dalamnya bertengger seekor burung kertas bertuliskan "Puisi 78", karya Sutardji. Lalu ada kanvas berbentuk lingkaran dan tersusun sebagai jari-jarinya tulisan Allah -- yang makin mendekat ke titik pusat makin kecil akhirnya pada titik pusat sebuah gambar bulan sabit lengkap dengan bintangnya. Judul karya itu Tuhan yang Tuhan, karya pelukis dan cerpenis Danarto. Masih juga karya Danarto, deretan foto kopi lembaran sepuluhribuan bernilai seribu milyar rupiah ditempel rapi, dan di bawahnya ada tulisan "di Swiss di Swiss, daerahku yang akan datang .... " Ada karya Latiff Mohidin, penyair Malaysia, dengan judul Puisi Salah Lagi berisi ketikan-ketikan yang ditumpuk huruf x karena salah ketik, dan di atasnya tulisan tangan salah atau salah lagi. Reportase singkat bagi anda yang tak sempat nonton pameran itu, mudah-mudahan meyakinkan bagaimana sebetulnya "puisi konkrit" itu. Dan lebih penting: bagaimana kata kemudian tak dipercaya mengantarkan arti yang dikandungnya tanpa "gangguan". Kata itu musti digoncang, entah bagaimana caranya, agar memberikan dimensi yang lain. Lebih lagi, kata hanya menjadi hiasan yang penting perwujudan visualnya. Mentah dan Dangkal Lihat, satu kertas panjang yang menjalar di lantai bertuliskan masa depan, masuk mesin tulis, dan di papan di atas mesin tulis ada potret diri penyairnya, Slamet Kirnanto, di bawahnya tertera tulisan misteri. Nah, sampai di sini jelas bahwa bentuk visual yang ditekankannya tentulah mengundang kriteria yang sifatnya visual juga dan mau tak mau seni rupa ikut bicara. Bertolak dari itu, sebetulnya pameran ini hanya dihidupkan oleh seorang pelukis saja Danarto. Karya-karyanya rapi, enak dilihat. Bukan sekedar mewujudkan kata dalam bentuk yang aneh-aneh. Bicara soal ide barangkali memang semua peserta punya ide yang unik. IHanya kemampuan mewujudkan ide, yang tentunya butuh disiplin tersendiri, tak dimiliki para penyair itu. Dan Danarto memang pelukis. Di jaman ini memang cabang-cabang kesenian saling mendekat dan bersentuh. Ingat saja Pameran Seni Rupa Baru yang menggunakan segala macam medium. Apa pun bentuk karya seni itu, agaknya memang sah. Seperti tulis Sutardji " . . .mungkin lebih tepat dikatakan kehidupan modernlah yang mempengaruhi dan merangsang timbulnya puisi konkrit." Kalau karya-karya puisi konkrit demikian mentah dan dangkal, barangkali kehidupan modern kita kini memang mentah dan dangkal. Sebelum keluar dari Galeri Baru sempat terbaca karya Baharudin M.S. -- pelukis dan kritikus senior -- sebuah kaligrafi yang tak bagus "Ya, Tuhan ampunilah dosa kami." Setelah pusing berkeliling melihat satu per satu karya, kaligrafi Bahar rupanya memberi kekuatan pada kita, hingga tak usah takut terjatuh ketika menuruni tangga dari lantai tiga TIM itu untuk pulang. Maklum semuanya itu memang tak begitu penting. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus