Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencari Teater Gen Z

Festival Teater Jakarta 2018 berupaya mencari generasi baru teater. Sanggar Teater Jerit menjadi kelompok terbaik.

4 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertunjukan Cuy, Gimana Nolong Elu buat Pindah dari Jaman BB ke Jaman Z? dalam sesi penutupan Festival Teater Jakarta 2018 di Teater Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Cuy, lo ada di mana? Cuy! Cuy!" demikian suara dalam wu-jud gelombang frekuensi di layar itu memanggil-manggil. Tak ada jawaban. Dia lalu mengatakan akan setia menemani ke mana pun Cuy pergi. Orang yang dipanggil Cuy ternyata berpenampilan norak. Mengenakan celana ketat warna merah muda, singlet kuning, baju hijau, dan rambut palsu panjang warna kuning. Mencolok mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cuy (Tony Broer) adalah sosok milenial yang mengunggah segala polah dan tingkah di media sosial serta YouTube. Ia menjadi bahan tertawaan penonton ketika mengucapkan beberapa istilah di media sosial, seperti like, subscribe, dan upload. Ia bersahabat dengan Wa’-mesin media sosial yang menjawab semua pertanyaannya hingga menjadi penunjuk jalan-meski masih tergagap-gagap dengan teknologi itu. Cuy memotret fenomena saat ini, ketika manusia menjadi sangat akrab dan bergantung pada teknologi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tony Broer, aktor yang biasa tampil dengan gerak tubuh senyap, kali ini berkolaborasi dengan teknologi yang diwujudkan dalam suara dan imaji frekuensi di layar. Tony tak hanya beraksi di panggung, tapi juga menjelajah ke area bangku penonton, naik ke besi pembatas bangku penonton, dan memanjat pilar di dekat panggung. Ia tengah mementaskan lakon Cuy, Gimana Nolong Elu buat Pindah dari Jaman BB ke Jaman Z? karya Yola Zulfianti.

Penampilan Tony itu menjadi penutup Festival Teater Jakarta yang memotret generasi baby boomers, sebuah kategori demografi masyarakat yang lahir pada era lahirnya teknologi (1945-1964-an), yang harus hidup pada masa generasi Z, yang hidupnya selalu terhubung dengan teknologi digital (1990-an). Festival teater itu digelar pada 17-27 November lalu. Ini merupakan festival tahunan yang digelar Dewan Kesenian Jakarta untuk mengapresiasi kelompok teater di Ibu Kota.

Sanggar Teater Jerit, yang berdiri pada 2006, menjadi juara festival, mengalahkan Sindikat Aktor Jakarta dan Teater Hijrah. Sanggar Teater Jerit mementaskan karya Samuel Beckett, Sementara Menunggu Godot. Sanggar ini dinilai paling layak memenuhi penilaian para juri, yang terdiri atas Benny Yohanes Timmerman (akademikus ITB), Imas Darsih (sutradara Miss Tjitjih), Gandung Bondowoso, Dindon W.S. (kritikus dan sutradara teater), serta Ugeng T. Moertidjo (pekerja seni visual dan pertunjukan).

24

Sebanyak 15 kelompok teater yang diseleksi dari semua wilayah di Jakarta memeriahkan festival yang telah berlangsung selama 44 tahun itu. Mereka adalah Teater Gunadarma, Lab Aktor Jakarta, Teater Matahari Hujan, Teater Jannien, Sindikat Aktor Jakarta, Teater Marooned Actor Society, Teater Lebah, Teater Petra, Teater Karakter, Teater Semut Unsada, Sanggar Teater Jerit, Pandu Teater, Teater Nusantara, Sanggar Teater Biru, dan Teater Hijrah. Sebagian di antaranya merupakan kelompok teater sekolah atau kampus yang berteater secara otodidaktik. Ada pula yang baru terbentuk.

Dengan kompetisi ini, penyelenggara berharap terjadi regenerasi teater. Mengusung tema "Gen Z", panitia juga berharap acara ini bisa melahirkan sutradara, aktor, aktris dan cerita yang lebih segar dari generasi Z. Sebagian besar peserta berkiprah dari generasi X-Y (kelahiran 1970-1980). Hanya beberapa sutradara yang lahir dari generasi Z dan menyuguhkan pemikiran generasi Z.

Lakon yang disajikan beragam, seperti naskah lawas karya Samuel Beckett berjudul Endgame, Hum Pim Pah karya Putu Wijaya, dan Malam Jahanam karya Mottinggo Busye. Ada juga yang memainkan karya dramawan Harris Priadi Bah berjudul Jodar, dan Amangkurat Amangkurat karya Goenawan Mohamad. Banyak pula peserta yang melakonkan naskah sendiri.

Afrizal Malna, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, menyebutkan, selama perjalanan festival telah lahir beberapa aktor teater dan sinema di Indonesia. Lahir pula 24 kelompok teater yang mewarnai panggung teater di Jakarta. "Ada empat kelompok yang cukup eksis hingga kini," kata dia pada malam penutupan, pekan lalu. "Semoga lahir kelompok teater yang akan berkiprah dengan warna baru."

Penampilan para peserta didahului sebuah pementasan dari Perkoempoelan Pemain Sandiwara ATAP dengan lakon Cut Out. Pementasan itu menitikberatkan sisi peragaan ulang arsip dan sejarah dibanding usaha naratif membaca ulang masa lalu. Arsip dimunculkan di layar sebagai latar, properti panggung, dan diperagakan para pemain. Arsip yang dimunculkan itu berisi propaganda keluarga berencana zaman Orde Baru dengan semboyan "Dua Anak Cukup". DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus