MANUSIA SEBUAH MISTERI: SINTESA FILOSOFIS TENTANG MAKHLUK PARADOKSAL Oleh: Louis Leahy Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1984, 202 halaman NIETZSCHE terkenal sebagai nabi yang meramalkan kematian Allah. Michel Foucoult, seorang filosof masa kini, tidak hanya menggemakan nubuat Nietzsche tersebut, tapi juga menyuarakan kematian manusia. Dalam aliran pemikiran yang disebut strukturalisme, manusia kehilangan kekhasan dan keluhuran martabatnya. Sebab, realitas eksternlah yang secara total menentukan kondisi manusia dan bukan sebaliknya (uraian mengenai strukturalisme dllampirkan pada halaman 185-198). Sebetulnya tidak hanya strukturalisme yang telah menumbuhkan luka dalam sejarah pandangan tentang manusia. Filosof Belgia A. de Waelhens pernah mengatakan, manusla dalam sejarahnya mengalami tiga luka narsistis. Pertama, Copernicus telah merenggut kedudukan luhur manusia sebagai makhluk yang berada pada pusat alam semesta. Kedua, Darwin menempatkan manusia dalam kesinambungan jalur keturunan hewan, dan dengan demikian menggeser asal usul istimewa manusia. Ketiga, Freud dengan penemuan kawasan tidak-sadar dalam diri manusia telah menyingkirkan akal budi dan kesadaran sebagal faktor penentu dalam diri manusia. Prof. Louis Leahy dalam buku Manusia Sebuah Mister mau menegaskan kembal martabat manusia sebagai pribadi, yang unik, yang tak pernah boleh diperlakukan sebagal benda atau sarana, melamkan senantlasa sebagai suatu tujuan (halaman 181). Manusia adalah suatu kedalaman yang mengatasi semua pemahaman. Menurut istilah Gabriel Marcel, manusia adalah misteri dan bukan suatu problem, yang dapat diperlakukan sebagai obyek. Selain itu, manusia juga merupakan makhluk yang paradoksal: manusia adalah roh dalam materi, roh dan badan suatu kombinasi yang menghasilkan ketegangan-ketegangan . Leahy, yang saat ini mengajar filsafat pada IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, memulai uraiannya dengan mengambil fenomena berbicara sebagai titik tolak. Alasannya berbicara merupakan gejala umum yang dikenal setlap orang, banyak dibicarakan para penulis kontemporer, dan memberi gambaran manusia secara menyeluruh. Analisa mengenai gejala berblcara itu memunculkan tema-tema pokok, yang kemudian diuraikan dalam bab-bab berkutnya. Dalam uraian mengenai manusia sebagai makhluk hidup diberikan deskripsi mengenai kekhasan dari "kebertubuhan" (suatu istilah yang janggal - pen.) manusia. Kekhasan manusia tidak hanya terletak dalam akal budi, tapi juga dalam dimensi badaniahnya manusia memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dari bmatang. Leahy memberi tempat pentimg pada peranan afektivitas. Karena afektivitaslah kita bereksistensi. Artinya, kita keluar dari diri sendiri untuk mengikat pada sesuatu atau seseorang, untuk mengabdi, menjadi kreatif, membela diri, menyerang, bertempur. Cinta akan diri sendiri merupakan pangkal segala afektivitas. Tapi cinta akan diri sendiri itu harus dibedakan dengan egoisme. Filosof E. Fromm mengatakan, "Betul orang-orang egoistis tak dapat mencintai orang lain, tetapi secara yang sama mereka juga tidak bisa mencintai diri sendiri." Dalam pembahasan mengenai pengetahuan dan pengertian manusla, ditekankan kaitan dan perbedaan antara pengetahuan indriawi dan intelek. Hal ini didekati dari segi fenomenologis, diteruskan dengan refleksi metafisik, untuk pada akhirnya menemukan struktur metafisiknya. Demikian juga uraiannya mengenai kehendak bebas. Kebebasan dalam arti sebenarnya terjadi kalau nilai-nilai moral dilibatkan jika manusia berhadapan dengan alternatif-alternatif yang menentukan. Bab terakhir, sebelum kesimpulan, menguraikan soal manusia dan jiwanya. Kajian mengenai hakikat jiwa manusia dan sifat-sifat khususnya (tak dapat direduksi kepada badan, bersifat spiritual, sederhana, dan kekal) serta hubungannya dengan badan memperlihatkan pandangan tradisional skolastik, seperti yang terdapat dalam buku-buku pegangan filsafat manusia yang diilhami oleh filsafat Thomas Aquinas (1225--1274). Kekurangan buku ini, di sana-sini terdapat kalimat-kalimat yang janggal bunyinya, mungkin karena sebagian isinya merupakan terjemahan dari karya Leahy, yang ditulisnya dalam bahasa Prancis. Kendati demikian, ia dapat menjadi titik tolak untuk mendalami permasalahan manusiawi zaman sekarang. Banyak permasalahan yang belum dlgumuh oleh filsafat manusia. Misalnya, masalah rekayasa sosial, berbagai macam manipulasi yang semakin subtil karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, kebudayaan yang semakin menjurus ke arah teknokrasi, masalah ekologi, kerja, dan lain-lain. Semua itu perlu diintegrasikan ke dalam filsafat manusia, apabila filsafat manusia ingin berpijak pada kenyataan manusia zaman sekarang. Bila permasalahan semacam itu menjadi konteks dari pengembangan suatu filsafat manusia, mungkin kita akan memperoleh kerangka pemahaman mengenai manusia yang baru, segar, dan tidak hanya mengulang kategori-kategori lama, M. Sastrapratedja*. * Ketua dan pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini