Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOGOTA, Kolombia, penggal tahun 2000. Gerimis pagi belum lagi reda ketika iring-iringan jip Wrangler tahan peluru keluar dari Casa de Narino, istana kepresidenan Kolombia. Jip dipacu di jalan licin, mengantar penumpangnya yang istimewa untuk suatu peristiwa istimewa--paling tidak bagi si penumpang. Ia, Andres Pastrana, Presiden Kolombia, tak sedang mengejar jadwal pidato nasional. Ia ingin melihat telenovela kesayangannya, Yo Soy Betty La Fea. Di stasiun televisi RCN TV (Radio Cadena Nacional Television), ia bisa menonton langsung syuting terakhirnya.
Tentu saja, itu sebuah kunjungan mendadak yang membuat RCN kalang-kabut. Tapi, “Penting baginya melihat si buruk Betty akhirnya menjadi cantik dan dipinang si tampan Armando Mendoza,“ tutur Ricardo Alberto Cruz Moreno, Direktur Pemasaran RCN, kepada TEMPO sambil tertawa mengenang peristiwa tiga tahun silam. Dan sungguh, kisah hubungan intens Andres Pastrana-Betty La Fea tak cuma itu. Menurut Moreno, dia pernah berusaha mengubah alur cerita, pernah menunda pidato kenegaraannya agar tetap bisa menyaksikan telenovela yang diputar tiap pukul 21.00 di Bogota. Bisa dipastikan, setelah lengser dari jabatan tertinggi itu, kini Pastrana dapat mengikuti telenovela tanpa diganggu tugas-tugas seorang kepala negara.
Betty La Fea, gadis berpenampilan suram, berambut panjang, berkacamata tebal dan berkawat gigi mencorong itu, telah melompati batas-batas negara, gender, dan kelas. Di Indonesia, Timu, 25 tahun, seorang pembantu rumah tangga asal Cirebon, Jawa Barat, tak kuasa menahan daya tarik Betty. Timu telah berusaha menjaga putra majikannya yang masih tiga tahun itu sebaik-baiknya. Tapi ia berterus terang, begitu jam di rumah tuannya menunjukkan 16.30, perhatiannya tak lagi tumpah pada momongannya. Saat itu Betty La Fea muncul di televisi.
Sewaktu RCTI memutarnya setahun silam, Betty meraih rating tinggi (5,9)-- suatu prestasi menakjubkan. Telepon yang menanyakan Betty kerap berdering. Tapi bukan itu hal yang baru di sana. Pemirsa pencinta Betty bukan saja ibu-ibu atau siapa saja yang tinggal di rumah lepas tengah hari. Mereka, kata Pudji Pramono, staf Bagian Humas RCTI, juga kaum pria. “Suatu hari, kami sempat menggeser jam tayang. Tiba-tiba ada seorang pria yang menelepon ke Humas mempertanyakan dan merasa kecewa lantaran tak bisa melihat penayangan Betty hari itu,“ tutur Pudji. Antusiasme besar ini bahkan mendorong RCTI menyelenggarakan kontes mirip Betty di Jakarta, bekerja sama dengan sebuah tabloid hiburan.
Di Bogota, seorang presiden merasa tugas-tugas negara telah mengganggu acara khususnya dengan Betty. Di Jakarta seorang pembantu terpaksa menelantarkan putra tuannya. Di Ekuador para senatores menunda sidang demi Betty. Di Kuba, jalan-jalan di Havana jadi luar biasa lengang tatkala Betty tampil di layar kaca. Martinez Abril, seorang operator lift yang mesti bekerja sendirian pada saat-saat jam tayang Betty, menyimpulkan, “Buat saya, kehidupan di sini terbagi antara sesudah dan sebelum telenovela.” Puitis, tapi sanggup menunjukkan sesuatu yang ada di luar batas lazim.
Apa boleh buat, melihat perkembangan mencengangkan ini, para pembuat keputusan seakan telah menempuh jalan pragmatis: telenovela dan “kepentingan nasional” dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Bahkan, pemimpin Kuba Fidel Castro menganjurkan rakyat menonton Café con Aroma de Mujer, wanita beraroma kopi, sebuah telenovela Kolombia yang--di mata Castro--membawa pesan khusus. Café con Aroma de Mujer bercerita tentang perjuangan buruh-buruh perempuan di perkebunan kopi Kolombia. Mereka mencoba memutus rantai ketertindasan dengan mengembara ke Eropa. Klise, tapi menurut Castro itulah wujud perlawanan kaum proletar terhadap kapitalisme. Kepada TEMPO, Fernando Gaitan, seorang penulis skenario telenovela Kolombia, mengatakan bahwa Castro sendiri sering menginterupsi acara pidatonya untuk menonton Café. Tapi mengapa sih, telenovela digandrungi sedemikian rupa?
Veven Sp. Wardhana, pengamat pertelevisian, menyebut itu semua berakar pada sulih suara. Itulah yang membuat seorang pembantu macam Timu, karyawan seperti Ahmad Taufik, atau aktivis LSM lingkungan seperti Mardi Minangsari, tak sanggup membebaskan diri dari sihir telenovela. Mula-mula telenovela Esclava Isaura, yang mampir ke negeri ini pada 1980-an, berlangsung dengan dialog beraksen Melayu ketimbang bahasa Indonesia. Tapi itu berubah cepat. Kini kita mendengar ungkapan-ungkapan polos Maria Mercedes dalam bahasa yang dipahami Timu, Taufik, dan ribuan warga Indonesia lainnya. Timu gemas mendengar si cilik Carita nyerocos kenes dalam Carita de Angel. Taufik dan Mardi senang mendengar ungkapan-ungkapan pintar Betty La Fea. Sekalipun diungkap dalam bahasa berbeda, suara si dubber kini diusahakan semirip mungkin dengan suara aktor-aktrisnya.
Memang, pendapat Veven mencoba menerangkan sesuatu yang kompleks dengan penjelasan sederhana. Toh, banyak tayangan yang telah disulihsuarakan, namun tak kuasa menaklukkan hati pemirsa sebagaimana telenovela.
Ada yang berkeyakinan, “sang sebab” terletak di alam bawah sadar banyak orang. Telenovela mewakili keinginan setiap orang untuk naik kelas, dan itu tampak jelas dalam lakon Cassandra, Maria Mercedes, Rosalinda, Esmeralda, Wild Rose, atau Luz Maria, yang pernah muncul di sejumlah stasiun televisi kita. Keinginan yang nyaris 99 persen tak mungkin terjangkau, kecuali di alam maya layar kaca. Lihatlah si gadis gipsi Cassandra yang menjadi kaya raya, atau Rosalinda, si gadis pedagang asongan yang lantas menjadi penyanyi terkenal dan berlimpah harta. Sejak Esclava Isaura pertama kali diputar di TVRI 15 tahun lalu, tema tersebut tak beringsut.
Mungkin telenovela memang pantas jadi sasaran kritik. Di Indonesia telenovela kerap dicibir sebagai tontonan tidak bermutu: sinematografinya tak istimewa, tak berbeda jauh dengan sinetron-sinetron besutan Raam Punjabi. Jalan ceritanya tak punya banyak variasi. Tapi tak dapat dimungkiri, telenovela selalu mengusung tema klasik tentang si Upik-Abu yang bermetamorfosis menjadi Cinderella--stereotip yang sudah baku, menurut Fernando Gaitan. Tapi itulah bagian dari suatu proses panjang.
Pada awal-awal pembentukannya, 1960-an, telenovela memang tampak fanatik dengan model-model narasi yang melodramatis. Itulah cinta terlarang. Mirip cerita “Romeo Yulia”-nya Shakespeare, tapi plot kemudian ber-happy end. Dua sejoli, yang satu cantik, yang satu tampan, bertemu, lantas direkatkan oleh cinta yang begitu kuat. Banyak perbedaan yang menghalangi mereka untuk bersatu, tapi cinta lantas terbukti lebih perkasa daripada tentangan keluarga, perbedaan status atau istiadat. Waktu bergulir, pasar berderap, dan semakin hari semakin terbukti, telenovela bergerak ke satu perkembangan baru: reflektif, makin membumi, makin “nyambung” dengan lingkungan sosial tanah air yang melahirkannya.
Telenovela Simplemente Maria mengikuti tema Cinderella dengan latar belakang gelombang urbanisasi yang menyerbu kota-kota besar di Peru. Brasil, misalnya, pernah mencoba yang lebih satir. Beto Rockefeller--diproduksi tahun 1968 oleh Globo Network--bercerita tentang seorang buruh pabrik sepatu mahal. Beto istimewa karena beraksi bak jutawan terkenal Rockefeller dari Amerika. Modalnya cuma satu, memakai sepatu mengkilap yang dibuatnya. Dengan aksinya ini Beto bahkan berhasil menggaet dua gadis sekaligus. Satunya kaya sungguhan lainnya miskin papa. Tak diduga, telenovela ini tidak hanya sukses di Brasil tapi seantero Benua Amerika dan Eropa pada zamannya.
Tapi mungkin belum ada yang lebih akurat memotret masyarakat daripada Betty La Fea. Betty cermin suatu masyarakat yang--mungkin tanpa menyadari--diskriminatif. Masyarakat yang memandang tinggi kecantikan lahiriah dan mengesampingkan faktor unggul seperti “isi kepala”. Dan Bogota sendiri menyerupai pasar yang bisa memberikan keajaiban terhadap fisik Anda. Di kota itu TEMPO bisa menyaksikan semua perempuan--dari pedagang asongan hingga wanita karier--bersolek meriah. Bogota adalah tempat dengan klinik bedah plastik bertebaran. Di sana, miskin--apalagi kaya--bukan alasan untuk tidak cantik. Klinik itu bersaing satu sama lain. Mereka mengulurkan tawaran: menambal payudara agar padat berisi, atau sekadar menambah lesung pipit, tak perlu bayar tunai.
Masyarakat memang mengidolakan penampilan bak miss universe. Dan Gaitan, si penulis skrip Betty La Fea, menangkapnya. Betty, hero telenovela ini, cerdas, sarjana ekonomi, tapi mendapat pekerjaan jauh di bawah kapasitas otaknya. Betty sekretaris. Gaitan menggunakan satu resep lawas tentang ugly duckling, si bebek buruk, yang tak pernah disentuh telenovela mana pun. Ia memang telah menyentuh sesuatu yang sensitif, tapi reaksi dari masyarakat justru positif--mengundang empati tak saja dari Kolombia, tapi juga dari dunia luar.
Gaitan memberontak terhadap tema klasik, tapi mungkin ia tak sepenuhnya seorang revolusioner. Pada Betty La Fea bagian kedua, ia menampilkan pemandangan berbeda. Betty bermetamorfosis: ia kini perempuan rupawan yang mulai mendapat perhatian dari bosnya yang tampan.
Dunia jadi heboh, memang. Media terpandang seperti surat kabar The New York Times, The Guardian, LA Times, The Herald BBC, hingga Reuters menulis fenomena ini. Begitu pula masyarakat pemirsa. Di Amerika Serikat rating-nya mencapai 54 persen. Di Kolombia, tempat Betty becermin, angka itu bahkan mencapai 70 persen. Banyak jalan menuju kegandrungan luar biasa itu. Telenovela adalah dunia mimpi yang berbicara dalam bahasa orang biasa. “Setingnya tentang dunia kerja membuat ceritanya berbeda,” tutur Ahmad Taufik. Ia mengikuti Betty hingga episode buntut. Tak berbeda dengan Mardi Minangsari, aktivis LSM lingkungan. “Saya terjebak, tapi nggak rugi, ceritanya lucu, kok,“ dalihnya.
Sederhana memang. Bagi para bintang telenovela sendiri, misalnya, telenovela adalah sebuah batu loncatan. Si sintal Sonia Aradna atau Thalia kini benar-benar go global. Wajahnya turut menghiasi layar MTV sebagai penyanyi R&B. Menjadi terkenal di Amerika, syukur-syukur menembus Hollywood, juga menjadi mimpi mereka. “Saya berniat ke Hollywood, tapi sampai sekarang belum ada yang menawari,” tutur Jorge Enrique Abello, pemeran utama pria dalam Betty La Fea, kepada TEMPO, jujur.
Dan telenovela sepertinya akan cepat lekang dimakan waktu. Gaitan mempunyai tafsir “gagah” tentang ajang produktivitas dan kreativitasnya itu. “Selama masih banyak orang miskin, tertindas, dan buruk rupa, telenovela akan terus hidup,“ ujarnya. Benarkah begitu? Maria Uchamocha, 25 tahun, seorang sarjana administrasi keuangan yang harus puas menjadi penjaja rosario di kios milik kakaknya di Bogota, mengangguk. “Masyakat di sini stres,” ujarnya.
Apa boleh buat. Di tengah kepungan kemiskinan, pengangguran, teror gerilyawan, korupsi, perdagangan obat bius, telenovela adalah satu-satunya pelipur lara di Bogota. Kala senja membekap Bogota dengan suhu yang anjlok hingga 6 derajat Celsius, jalanan akan segera lengang. Di ruang keluarga, Maria akan berkumpul dengan keluarganya di depan televisi. Menonton telenovela favoritnya yang diputar serempak mulai pukul 7 malam. Dan jika Pastrana saja menonton telenovela, mungkin para gerilyawan di tengah hutan dengan segala upaya akan melakukan hal sama. Siapa tahu.
Endah W.S. (Bogota), Telni Rusmitantri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo