Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gula-gula Reksadana

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lin Che Wei Direktur Independent Research & Advisory

DI sebuah seminar minggu lalu, seorang pejabat tinggi perpajakan mengatakan bahwa kebijakan perpajakan di Indonesia bersifat netral, tidak "menganakemaskan" juga tak "menganaktirikan" sektor tertentu. Dia mengakui, memang ada bidang tertentu yang, demi alasan pengembangan, ditetapkan pemerintah berhak mendapat prioritas, fasilitas, dan insentif pajak. Namun, kebijakan tersebut tidaklah permanen, karena disadari akan melahirkan distorsi terhadap sistem perpajakan itu sendiri yang pada akhirnya menciptakan arena yang timpang (unequal playing field) di antara para pelaku pasar.

Komentar dari sang petinggi Departemen Keuangan membuat saya bertanya-tanya: apakah insentif perpajakan memang merupakan strategi yang tepat untuk pengembangan reksadana? Lalu, sampai kapan "gula-gula" itu harus diberikan untuk mendukung pertumbuhan pasar modal?

Data statistik menunjukkan pasar modal di Indonesia, khususnya reksadana, telah tumbuh luar biasa dalam dua tahun terakhir. Jumlah aset yang dikelola telah mencapai Rp 76 triliun per Juli 2003. Nilai ini melonjak sangat tajam dibanding tahun 2001 lalu yang baru mencapai Rp 8 triliun.

Bila kita telaah lebih lanjut, pertumbuhan yang luar biasa itu tercatat di segmen reksadana berpendapatan tetap (fixed income), yang tumbuh dari Rp 4,6 triliun di tahun 2001 hingga mencapai Rp 67 triliun pada Juli kemarin. Lonjakan ini disebabkan oleh dua jenis investasi, dalam bentuk obligasi rekapitalisasi dan juga surat utang negara.

Ada dua hal yang mendorong pertumbuhan fantastis di atas. Yang pertama adalah insentif perpajakan. Dibanding deposito di bank yang dikenai pajak, reksadana yang bebas pajak jelas dianggap lebih menguntungkan. Yang kedua adalah faktor turunnya suku bunga secara tajam, yang tentu saja ikut melejitkan nilai sekuritas fixed-income. Inilah yang mendorong kenaikan nilai aset bersih (net asset value) reksadana secara sangat signifikan.

Lalu, apakah kita dapat mengatakan pasar modal kita sudah cukup mencapai level skala ekonomis (economies of scale)? Jika kita kaji, perkembangan reksadana yang fantastis tersebut sebenarnya tak lepas dari peran pemerintah sebagai borrower (peminjam). Instrumen utama yang diinvestasikan adalah bond milik pemerintah dalam bentuk surat utang negara dan obligasi rekapitalisasi perbankan yang tak lain juga merupakan program pemerintah.

Dalam kasus recap bond, harus diingat dana yang terkumpul melalui reksadana tidaklah disalurkan kepada sektor riil secara langsung, tapi dipakai oleh perbankan itu sendiri. Di sini terlihat, sebenarnya peran perbankan masihlah sangat signifikan dibandingkan dengan peran pasar modal sebagai sumber pendanaan masyarakat (financial intermediaries).

Faktor lain yang harus diingat, infrastruktur industri reksadana kita masihlah sangat sederhana. Dalam memasarkan produk reksadana, peran bank dan lembaga asuransi masihlah sangat dominan. Karena itu, perlu dipikirkan risiko yang dihadapi industri reksadana bila faktor insentif perpajakan dan turunnya suku bunga—yang menjadi motor pertumbuhan selama ini—langsung dipangkas, sementara akar reksadana itu sendiri belum tertanam cukup dalam.

Sangat penting untuk kita sadari, besarnya risiko yang harus ditanggung negeri ini jika gagal mewujudkan pasar modal yang lebih besar dan sehat. Transisi ke sistem demokrasi terbukti tidaklah serta-merta dapat menjamin terciptanya pasar yang sehat. Karena itu, jangan sampai kita merumuskan kebijakan yang salah, yang pada akhirnya hanya akan menciptakan berbagai hambatan yang tak perlu buat iklim investasi. Fakta menunjukkan, negara yang berhasil menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui penciptaan pasar modal yang kredibel dan sehat terbukti berhasil meningkatkan standar hidup warganya secara tajam dalam waktu yang singkat.

Saat ini, meskipun industri reksadana sudah tumbuh dengan pesat, porsi terbesar mekanisme pembiayaan kita masih dikuasai perbankan. Pengucuran kredit bank selalu saja akan menghadapi problem ketidaksesuaian antara aset dan kewajiban (asset-liabilities mismatch) tempat bank mungkin akan membiayai proyek jangka panjang dengan pembiayaan jangka pendek. Di sinilah, adanya pasar modal yang lebih sehat diharapkan dapat menjadi alternatif jawaban. Selain itu, pertumbuhan pasar modal yang sehat juga akan lebih mendisiplinkan pasar serta meningkatkan transparansi dan corporate governance.

Ironisnya, salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam mencegah masuknya investasi ke Indonesia adalah sistem perpajakan. Meskipun termasuk salah satu negara ASEAN yang memiliki tingkat pajak penghasilan tertinggi, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pajak per-GDP yang rendah. Tingkat pajak yang tinggi, kompleks, ditambah putusan yang kelewat sering didasarkan pada unsur "kebijakan" (discretionary tax), sering kali menyebabkan investor jadi putus asa.

Kini banyak kalangan bertanya-tanya, kapan insentif pajak reksadana akan dipangkas.

Menurut penjelasan dari sang petinggi pajak, segala sesuatu tentang perpajakan diatur oleh undang-undang. Artinya, bila pemerintah, publik, dan DPR memandang perlu aturan perpajakan disempurnakan, hal tersebut harus dilakukan melalui perubahan undang-undang, yang prosesnya pun akan memakan waktu cukup lama. Artinya, kalaupun pemangkasan insentif pajak ini akan dilangsungkan, prosesnya tak akan dilakukan dengan serta-merta.

Juga menjadi pertanyaan, apakah pemerintah punya target tertentu dalam hal rasio tingkat penggunaan fixed income sebagai alternatif investasi terhadap tingkat penggunaan bank sebagai sumber pendanaan. Jika ada, rasio bank financing-capital market financing seperti apakah yang hendak dicapai.

Bila pernyataan si pejabat tentang sistem perpajakan yang netral itu benar, itu berarti—jika target rasio kebijakan tersebut sudah tercapai—insentif pajak lambat-laun akan dihilangkan. Tapi, sekarang ini saya menilai kondisi pembiayaan di Indonesia masih sangat bergantung pada sistem perbankan, sehingga tentu saja target pemerintah belumlah tercapai.

Sekarang, peningkatan likuiditas dalam transaksi surat utang negara sudah menunjukkan tren yang cukup menggembirakan. Meskipun demikian, pemerintah ternyata masih berkutat merampungkan konsep dan strategi final industri reksadana, yang diperkirakan baru akan diluncurkan pada akhir tahun 2003 ini. Sampai saat ini para pengambil kebijakan dan arsitek pasar modal kita belumlah dapat menjawab berapa seharusnya rasio ideal antara perbankan dan pasar modal sebagai sumber pembiayaan. Juga, belum dapat dijawab satu pertanyaan yang lebih penting lagi: apa saja usaha konkret yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target yang telah ditetapkan tersebut?

Mudah-mudahan saja, rancangan itu akan menyodorkan berbagai insentif yang dapat menciptakan pasar yang likuid, sehat, juga riil—bukan hanya mendesain suatu industri reksadana yang hanya ditopang oleh faktor insentif perpajakan, turunnya suku bunga, dan didominasi peran pemerintah sebagai peminjam. Industri reksadana yang ideal adalah industri reksadana yang benar-benar dapat menjadi alternatif investasi dan pendanaan bagi publik di luar sektor perbankan.

Penting diiingat, pasar modal yang semata bergantung pada insentif perpajakan tidak akan dapat dipertahankan kesinambungannya. Bila alasan utama orang dalam berinvestasi hanya didasarkan pada insentif perpajakan dan turunnya suku bunga semata, jika kedua faktor itu hilang keberadaan pasar modal pun otomatis akan terancam. Jangan sampai perkembangan pasar modal di Indonesia hanya bergantung pada insentif pajak semata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus