Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKALI-KALI merapal dialog tersebut, Jorge Enrique Abello tak kunjung bisa memupus rasa grogi yang mendera. Sesekali, dia menyapukan lidah ke bibirnya yang telah dipulas lipstik tipis-tipis. Abello harus tampil di depan kamera beberapa saat lagi. Tapi aduh, rasa grogi itu tetap bercokol. Beberapa bantal sofa dia sisipkan di belakang punggung agar duduknya terlihat tegak di layar televisi. Tetap saja, dia merasa tak nyaman, sampai-sampai harus berpindah kursi.
Gerangan apa yang membikin Enrique Abello, 35 tahun, aktor telenovela paling bersinar di Kolombia saat ini, salah tingkah tak keruan? Begini. Hari itu, juru kamera tak merekam dia dalam syuting telenovela--kegiatan yang sudah selazim urusan makan-minum bagi Abello. Siang itu, pada akhir Juli silam, dia harus tampil dalam siaran langsung televisi bagi pemirsa Amerika Serikat (AS). Abello akan mempromosikan telenovela terbarunya, La Costena Yel Cachaco.
Jaringan televisi swasta Telemundo di Miami, AS, yang kesengsem dengan serial telenovela Abello terbaru, akan menampilkan bintang itu bagi pemirsa di AS. Melalui sambungan langsung satelit dengan stasiun televisi Radio Cadena Nacional (RCN TV) di Bogota, Kolombia, Abello akan “dipertemukan” dengan penggemarnya di Amerika sana. “Ini karena telenovelanya mulai meledak di sana,” kata Ricardo Alberto Cruz Moreno, Direktur Pemasaran RCN TV, yang menemani TEMPO berkeliling studio siang itu.
Tak lama, hubungan satelit tersambung. Dan, ehm, Abello pun beraksi. Di layar televisi terlihat penggemar Abello di Miami, yang telah menanti berjam-jam, menjerit histeris begitu pujaannya muncul. Lima menit siaran yang menegangkan saraf Abello pun usai. Dan jadwal ketat menantinya setelah itu. “Maaf, saya harus buru-buru kembali ke Santa Marta untuk melanjutkan syuting,” dia berpamitan kepada TEMPO, yang ikut menemaninya di studio.
Jadwal ketat. Tayangan televisi. Interview dan kilatan lampu blitz wartawan. Elemen popularitas itu kini menjadi milik Enrique Abello: sebuah keberuntungan yang harus diakui bermuara pada Betty La Fea. Dari Kolombia, telenovela ini menjalar ke lebih dari 40 negara dan menuai penonton fanatik di beberapa benua. Amerika, Asia, Eropa, dan Afrika.
Dalam Betty, Enrique Abello memerankan tokoh Armando Mendoza, pria tampan sekaligus hartawan--berduet dengan Anna Maria Orozco yang memainkan Betty La Fea. Hasilnya? Abello kini menikmati puncak kemasyhurannya. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Santa Marta, sebuah pulau eksotis di Laut Karibia, sembari sesekali pulang ke Bogota untuk kegiatan promosi.
Betty bukan cuma mengalirkan uang dan ketenaran. Telenovela ini melahirkan fenomena baru di tengah arus utama telenovela Amerika Latin yang hampir selalu menampilkan bintang berparas indah, para Latino babe yang sintal dan rupawan. Betty tampil sebagai seorang yang nona berotak cerdas namun bertampang “berat”: berkawat gigi, dandanan kuno, berkumis, dan berkacamata tanduk. Toh, dengan kecerdasan dan aneka kelebihannya, nona-bertampang-kacau ini bisa membikin si ganteng Armando Mendoza bertekuk lutut.
Ceritanya pun bukan melodrama yang berayun-ayun melainkan dibumbui aneka adegan komedi: salah satu aspek yang menjadi kekuatan Betty. Kini, biarpun sudah usai, beberapa sekuelnya masih tetap menayang. Mulai dari Ecomoda, Betty versi kartun, Betty yang diramu ulang menjadi serial komedi, hingga serial Pedro alias Betty versi laki-laki. Belum lagi, beragam merchandise yang meluberi pasar di sana.
Serial Betty ini sebenarnya hanya satu dari sekian banyak telenovela yang meraih sukses. Umpama Kassandra (Venezuela, 1994), Rosalinda (Meksiko, 1995), Maria Mercedez (Meksiko, 1995), Gaby Cintaku (Venezuela, 1998), dan Esmeralda (Brasil). Jutaan dolar bersesakan masuk ke kantong stasiun televisi yang memproduksi kisah tersebut.
Di kawasan Amerika Latin, telenovela ibarat pisang goreng yang laris manis. Berbeda dengan opera sabun buatan AS yang lebih menampilkan intrik di kalangan atas, telenovela Latin lebih banyak memaparkan masalah lokal. “Biasanya kami mengangkat persoalan kaum pribumi, migrasi, birokrasi kekuasaan, dan perdagangan obat bius,“ ujar penulis cerita dan skenario, Fernando Gaitan, 43 tahun.
Nah, resep “mendekatkan persoalan” itu yang membuat telenovela kini menjelajahi dunia. Dalam pertemuan tingkat tinggi produsen telenovela yang pertama di Miami pada April lalu, terungkap bahwa sampai akhir tahun lalu total produksi telenovela Amerika Latin mencapai hampir 12.200 jam per tahunnya. Pemasok terbesar adalah Meksiko, yang menyumbang sekitar 2.800 jam, dan Brasil 1.900 jam per tahun. “Alhasil, total pendapatan pada tahun 2002 kami perkirakan mencapai US$ 2 miliar (sekitar Rp 16 triliun),” kata Carlos Bardasano dari Cisneros Group, salah satu produsen telenovela.
Peluang bisnis ini tak pelak membuat air liur perusahaan besar macam Disney pun menetes. Dengan dalih banyaknya masyarakat hispanik yang gandrung dengan sajian Disney, perusahaan itu lantas menawarkan kerja sama. “Sekarang kan masih dalam masa krisis, ayo kita kerja sama untuk membuat tayangan dan beroleh keuntungan internasional,” kata Fernando Barbosa, salah seorang penggede perusahaan itu.
Keuntungan internasional, begitulah hitungan yang muncul di benak Barbosa. Maklum, selain menerabas sejumlah pasar penting di AS, tayangan ini juga menyelusup hingga ke pojok-pojok Rusia serta Bosnia-Herzegovina. Lejla Panjeta, seorang produser dari Sarajevo, memperkirakan di negerinya telenovela menguasai 33 persen penonton. Di Rusia, telenovela menjadi tayangan pada jam-jam unggulan--pada pagi dan petang hari--sejak 1980-an.
Daya pikat telenovela sejatinya tak lahir dalam sekejap. Awalnya adalah sandiwara radio yang muncul di Kuba pada dekade 1940. Kisah sandiwara itu umumnya dipengaruhi novel klasik sentimental dan melodramatik Inggris dan Prancis abad ke-18. Acara ini digandrungi kaum ibu. Maka perusahaan sabun dari Amerika seperti Colgate-Palmolive dan Lever Brothers pun bergegas merubungi program ini dengan iklan. Dari sinilah lahir istilah opera sabun.
Telenovela pertama di televisi muncul pada dasawarsa 1960. Ketika itu sekelompok penulis skenario asal Kuba yang dipimpin Delia Fiallo mulai mengadaptasi sandiwara radio itu ke dalam bentuk audiovisual.
Eh, ternyata proyek coba-coba itu berhasil. Kuba sempat mengekspor telenovelanya ke luar negeri. Tapi itu tak berlangsung lama. Setelah pecah revolusi di Kuba, banyak sineas negeri itu mengungsi ke Brasil, Venezuela, dan Meksiko. Di sana mereka terus mengembangkan telenovela.
Bagaimana dengan Kolombia? Negeri ini termasuk mengambil langkah kura-kura. Pada saat jiran-jirannya gencar memproduksi, Kolombia kedodoran--pada dasawarsa 1980 malah bisa dikatakan mati suri. Berbagai upaya dicari untuk menghidupkannya, termasuk dengan mengangkat karya Gabriel Garcia Marquez. Pada tahun 1990-an, peraih Nobel itu sempat membantu menuliskan skenario telenovela.
Sampai akhirnya para sineas dan penulis skenario Kolombia pulang dari pengembaraan. Mereka banyak menuntut ilmu di beberapa negara tetangga, kecuali Fernando Gaitan, penulis cerita dan skenario Betty La Fea. Gaitan mondok di Rusia 14 tahun. “Komposisi pemikiran para sineas itulah yang menghasilkan telenovela kontemporer di Kolombia,” ujarnya. Selain Betty, sejumlah telenovela yang diproduksi oleh stasiun televisi Kolombia seperti Caracol, RCN TV, City TV, mulai menuai popularitas dan uang.
Mari kita sedikit berhitung. Ongkos membikin Betty, misalnya, hanya US$ 5.000 (sekitar Rp 40 juta) per episode. Produk ini dijual seharga Rp 60 juta rupiah per episode. Silakan hitung labanya jika satu judul (mencapai 120 episode) dijual ke puluhan negara. Mengapa ongkos membikin telenovela bisa murah? Ini salah satu contoh.
Di stasiun televisi RCN Bogota, TEMPO menyaksikan salah satu rahasianya. Berbagai paket telenovela digarap dalam sebuah studio besar yang disekat berdasarkan keperluan untuk proses pengambilan gambar. Aneka tema interior dibuat dari tripleks yang bisa dibongkar pasang. Di sudut pekarangan luar, tripleks ini menggunung. “Untuk didaur ulang,” Cruz Moreno menjelaskan. Belum lagi bila bicara tentang sumber daya. Pasokannya lebih dari cukup--dari segi jumlah maupun daya pikat.
Dengan kecantikan dan ketampanannya, bintang-bintang Amerika Latin seolah bisa melariskan telenovela dengan modal senyum. Wajah mereka terpampang pada jutaan layar televisi di berbagai belahan dunia--menghantarkan impian melalui aneka riwayat percintaan, harapan, tangis, dan pengkhianatan.
Irfan Budiman (Jakarta), Endah W.S. (Kolombia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo