Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di zaman Belanda, perpeloncoan disebut ontgroening. Groen artinya hijau atau belum dewasa. Ontgroening
berarti calon mahasiswa yang masih hijau digembleng agar jadi lebih dewasa. Caranya memang aneh-aneh. Kadang-kadang calon mahasiswa dilempari telur busuk, makan daun brotowali yang pahit, atau disuruh mencuri celana dalam wanita di asrama putri. Tapi tidak ada kewajiban menggigit kodok hidup, loncat ke sungai dengan risiko tenggelam, apalagi dipukuli sampai mati.
Hanya mereka yang secara sukarela masuk organisasi mahasiswa tertentu yang harus ikut ontgroening. Itu pun dilakukan di luar jam kuliah, kira-kira selama dua minggu, dan tidak dikaitkan dengan status kemahasiswaan. Mahasiswa yang tidak ikut atau tidak lulus perpeloncoan bisa tetap kuliah seperti biasa.
Secara sosio-antropologis, perpeloncoan merupakan salah satu jenis proses inisiasi, sebuah cara dan upacara untuk menerima seseorang menjadi warga suatu kelompok sosial. Ontgroening biasa diakhiri dengan inaugurasi, yaitu pesta dansa pada penutupan. Saat itu mahasiswa senior dan junior membaur dengan mesra, bahkan mungkin saling jatuh cinta.
Dari waktu ke waktu, ontgroening mengalami proses perubahan. Zaman saya jadi mahasiswa baru pada 1960-an, masa inisiasi ini tinggal satu minggu. Tapi perlakuan terhadap calon mahasiswa sudah jauh lebih keras: ditetesi lilin sambil mata ditutup, disuruh berbaris dengan mata tertutup dan ketika mata dibuka ternyata sudah di kamar mayat, dan disuruh makan makanan yang menyerupai kotoran manusia (walaupun hanya selai kacang) atau minyak ikan yang sangat amis (walaupun menyehatkan). Semua acara diwajibkan bagi semua mahasiswa, walaupun sanksinya tidak jelas. Tetapi, sejauh yang saya ketahui di masa-masa itu, belum ada calon mahasiswa cedera serius, apalagi mati karena perpeloncoan. Paling-paling beberapa calon mahasiswi menjerit lantaran, ketika matanya sedang ditutup, anggota tubuhnya yang vital terasa diraba orang (padahal yang meraba seniorita juga).
Walaupun begitu, kecenderungannya, perpeloncoan semakin sadistis dan mulai meminta korban. Korban perasaan (pelecehan), korban materi (pemerasan), korban fisik (luka, cacat), bahkan korban jiwa. Maka, pemerintah dan pimpinan perguruan tinggi pun mulai campur tangan. Berbagai larangan dikeluarkan. Waktu dibatasi (sekarang tinggal 2-3 hari), waktunya hanya sampai magrib. Namanya pun berubah terus: Maket (Masa Kebaktian Taruna), Mapram (Masa Pra-Mahasiswa), Posma (Pekan Orientasi Mahasiswa), dan sekarang di Universitas Indonesia bernama PSAU (Pengenalan Sarana Akademik Universitas). Maksudnya untuk menggambarkan proses inisiasi yang lebih akademik, manusiawi, dan non-kekerasan.
Dalam prakteknya, dengan aneka alasan, mahasiswa senior berhasil memaksakan perpanjangan program sampai sebulan, tiga bulan, satu semester, bahkan setahun. Di akademi-akademi TNI dan Polri, sudah menjadi rahasia umum bahwa masa inisiasi, yang resminya hanya tiga bulan, secara tidak resmi berkepanjangan sampai satu tahun. Dalam penelitian saya di Akademi Kepolisian pada 1999, misalnya, saya menemukan the hidden curriculum, yaitu tugas-tugas berat junior untuk melayani senior sampai larut malam, sehingga para taruna itu mengantuk di kelas. Pelanggaran terhadap kurikulum gelap ini bisa berakibat sang junior masuk rumah sakit dengan alasan terjatuh, walau sebetulnya karena dipukuli oleh para seniornya. Tradisi ini ternyata ditiru juga oleh Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), dan mungkin oleh akademi kedinasan lainnya seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan.
Di akademi militer konon sudah jatuh korban jiwa, tapi tidak pernah diumumkan. Syukurlah bahwa sejak penelitian di Akpol itu telah dilakukan perubahan besar-besaran dalam sistem pembinaan tarunanya. Ini untuk mencegah ekses hubungan junior-senior yang berbasis pada kekuasaan itu.
Hubungan junior-senior atau patron-client semacam itu sebenarnya merupakan cermin realitas kehidupan sehari-hari pada zaman Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Pemerintah berusaha mengendalikan masyarakat dengan kekuasaan dan kekuatan agar masyarakat lebih bisa diatur. Alat yang digunakan tentu saja militer. Maka, lambat-laun berkembanglah militerisme di hampir semua kalangan. Bisa dalam bentuk fisik-mental seperti Laskar Jihad, Pemuda Pancasila, dan Banser. Bisa mentalnya saja seperti yang terjadi di kalangan mahasiswa.
Militerisme ini bisa dijelaskan dari teori basic need yang dibuat psikolog David McClelland. Dia bilang, ada tiga kebutuhan sosial dasar pada manusia, yaitu need for achievement (hasrat berprestasi), need for affection (hasrat akan kasih sayang), dan need for power (hasrat akan kekuasaan). Di Indonesia, tampaknya kebutuhan ketigalah yang dikembangkan terus, dari pendidikan di rumah, di sekolah, sampai pada kehidupan dalam masyarakat. Keberhasilan selalu dikaitkan dengan kedudukan dan kekuasaan, dan kekuasaan selalu diwujudkan dalam ketaatan, kepatuhan, tidak boleh membantah.
Hanya, masuknya unsur kekuasaan dalam dunia pendidikan bisa menjadi fatal. Korbannya bukan hanya Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN yang tewas baru-baru ini, tapi mungkin juga taruna akademi-akademi militer ataupun sekolah yang bergaya militeristik, dan bahkan para calon mahasiswa perguruan tinggi umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo