Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Musang vs batman

Komik-komik asing mendominasi toko-toko buku. ko- mik lokal nyaris terlindas. indonesia pernah punya banyak komikus kreatif. hikayat musang berjanggut karya taguan hardjo diterbitkan lagi.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerita bergambar komikus lokal tak kalah dibanding komik asing. Mampukah Musang Berjanggut mengalahkan Asterix atau Batman? BANYAK guru menggambar, terutama di tingkat SD, yang menggelengkan kepala setelah melihat hasil karya para muridnya. Bayangkan. Setelah mereka ditugasi menggambar bebas tokoh yang dikagumi, kebanyakan melukis aneka robot, Batman, atau Superman. Ini, menurut seorang guru, disebabkan anak-anak sekarang lebih gemar membaca komik-komik asing. Sedang komik lokal- sejenis Si Buta dari Gua Hantu karangan Ganes T.H. atau Manggala karya RIM- meski masih cukup banyak beredar, tampaknya mulai terlindas. Buktinya, lihat saja rak-rak buku di beberapa toko buku besar. Hampir seluruh tempat didominasi oleh bukubuku seperti Tiger Wong, Asterix, Pangeran Fiji, dan Momotaro. Komik buatan lokal -- kecuali di kios-kios pinggir jalan- semakin langka. Namun, ini tak berarti secara teknis penyajian komik Indonesia kalah dari komik impor. Pada tahun 1950-an, Indonesia pernah punya banyak komikus sangat kreatif. Salah satu seniman komik yang terkenal era itu adalah Taguan Harjo. Nama lelaki kelahiran Suriname ini pernah mencuat lewat komiknya Hikayat Musang Berjanggut, Tjip Tua, Singa Teruna, dan Keulana. Bahkan Hikayat Musang Berjanggut sempat menaikkan oplah koran Waspada Medan, yang ketika itu memang sudah leading. Dan komik inilah yang diterbitkan ulang oleh PT Pustaka Utama Grafiti (PUG) tahun ini. Setelah mengalami beberapa perubahan pada gambar dan alur ceritanya, sang Musang kini tampil lebih cantik. Apalagi ia dicetak di atas kertas yang lebih halus. Hanya saja, ciri khasnya tidaklah hilang. Seperti ketika pertama kali diterbitkan oleh Waspada Pers, sang Musang pun kini tampil sebagai buku berbentuk oblong, yakni teks cerita ditulis di bawah gambar. Jadi, tidak seperti kebanyakan komik, yang menuliskan cerita dari dialog tokohnya di dalam kotak gambar berbentuk balon-balon. "Gaya oblong seperti ini membuat keindahan gambar menjadi utuh," kata S. Prinka, alumnus Seni Rupa ITB yang kini menjadi Direktur Kreatif PT PUG. Yang lebih menarik, Taguan selalu membuat gambar-gambarnya berdasarkan penelitian. Misalnya ketika membuat komik Keulana, yang menceritakan peperangan di Aceh. "Dia menggambarkan peralatan perang, termasuk busana dan interiornya, berdasarkan hasil riset. Jadi, tak asal gambar," kata S. Prinka, yang mengaku belajar banyak dari komik-komik Taguan. Begitu pula tekniknya berkisah. Cerita dan dialog disusun seperti sebuah novel sekaligus menjadi keterangan gambar di atasnya. Dalam prakatanya, Taguan mengakui bahwa Hikayat Musang Berjanggut bukanlah jerih payahnya sendiri. Syahdan, ketika itu Taguan- masih menjadi karikaturis- ditugasi Mohammad Said untuk mengolah cerita Melayu berjudul The Bearded Civet Cat menjadi sebuah cerita bergambar (cergam). Kisah yang berasal dari risalah ahli sejarah Melayu terkenal Sir Ricard O. Wintedt ini pernah dimuat dalam sebuah edisi Journal of Royal Asiatic Society, Strait Branch nomor 52 tahun 1909. Hikayat itu digubah Taguan menjadi cergam berjudul Bapak-Bapak Lupa Daratan atau Mencari Musang Berjanggut. Hikayat Musang Berjanggut berkisah tentang seorang raja Sungai Parun di daerah Melayu yang mengangkat putra mahkota Tun Utama. Lewat pengembaraan panjang, Tun Utama setelah menolak dijodohkan dengan putri para pejabat- menemukan gadis rupawan, Siti Syarifah. Ternyata, raja dan segenap aparatnya bernafsu pula untuk bisa mereguk bunga itu. Muslihat pun diatur bersama. Tun Utama diutus mencari musang berjanggut sebagai obat raja yang "sakti". Ini sesuatu yang mustahil. Siti Syarifah yang cerdik pun mengatur siasat melawan muslihat itu. Dengan penggambaran adegan yang lucu, istri putra mahkota itu berhasil menjebak raja dan segenap pejabat terasnya yang secara diam-diam ingin menggaulinya. Cerita lancar, lucu, sarat "petunjuk", ditampilkan dalam cergam Musang Berjanggut. Ini tak kalah menarik dibandingkan kisah Paman Donald dalam Donald Bebek. Bahkan, mungkin, komik Taguan punya kelebihan. Sebab, tanpa gambar-gambar yang sengaja dibuat lucu- mimik tokoh-tokoh dalam komik Taguan yang dilukis dengan ekspresi yang detail- Musang Berjanggut mampu mengajak pembacanya tertawa. Baik muda maupun tua. Musang Berjanggut sendiri, sebelum ditangani Grafiti, pernah tiga kali dicetak ulang. "Waktu itu, komik-komik saya lakunya seperti kacang goreng," kata Taguan, yang lebih suka disebut sebagai tukang ketimbang seniman. Setelah beberapa tahun "istirahat" melukis cergam, Taguan mulai kembali ke meja gambarnya. Ia berniat mengangkat lagi komik-komik lokal lewat Grafiti. Selain Musang Berjanggut, Taguan kini tengah menyiapkan seri berikutnya, yakni Batas Firdaus dan Setangkai Daun Surga. Di rumahnya, di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur, Taguan tengah menyiapkan sketsa kedua cerita itu. Di samping itu, Grafiti juga akan menampilkan 16 cergam legenda lainnya, salah satu adalah serial Sri Asih karya R.A. Kosasih, pembuat cergam wayang yang kondang. Legenda semacam ini, kata Zulkifli Lubis, Direktur Utama PT PUG, punya daya tarik tersendiri. "Terutama bagi orang-orang yang mau bernostalgia," katanya. Di samping, tentunya, Musang Berjanggut akan mampu memikat anak-anak dan remaja. "Maunya seperti Tintin yang digemari oleh semua kalangan. Ya, remaja, anak-anak, juga orang dewasa, katanya. Mampu tidaknya Musang Berjanggut dkk. menandingi komik impor memang perlu diuji. Paling tidak, Grafiti berniat membangkitkan lagi para komikus lokal. Apalagi, kata Taguan, banyak komikus bermutu tahun 1960-an yang sempat mati bersama penerbitnya atau terpukul komik asing. Budi Kusumah dan Indrawan (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus