Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cantrik-cantrik model afs

Sejumlah pelajar yang mengikuti program afs (ame- rican filed service) merasa berat berpisah dengan induk semangnya di indonesia. berbagai kegiatan di ikuti. anak indonesia tak suka tinggal di desa.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak-anak Barat bisa menari, menabuh gamelan. Hubungan keluarga menjadi intim. Sejumlah nama beken pernah ikut program AFS. Anak Indonesia tak suka tinggal di pedesaan. TAHUN ajaran baru, bagi 70 pelajar yang mengikuti program AFS (American Filed Service), merupakan saat perpisahan dengan induk semangnya di Indonesia. Mereka harus meninggalkan tempat mereka ber-home-stay di Indonesia dan kembali ke negaranya untuk sekolah lagi. Misalnya Suvi Maria Tuhkunen. Siswi asal Finlandia ini nampak menahan kesedihan karena harus berpisah dengan keluarga Dokter Priyono Tirtoprodjo. "Saya merasa berat meninggalkan keluarga ini," katanya dalam bahasa Indonesia patah-patah. Apalagi, selama tinggal di keluarga Yogya itu, Suvi sudah mendapat nama Jawa, Diah Hapsari Dewi, serta sempat belajar membatik dan menari. Siswi berusia 18 tahun itu selama setahun belajar di kelas 3 Jurusan A-2 SMA I Sleman. Memang, tak semua pelajaran di kelas diikutinya. Paling-paling hanya tiga kali dalam seminggu. Selebihnya, Diah asal Finlandia itu banyak belajar kebudayaan Jawa. Ketika teman-teman sekelasnya mengikuti Ebtanas, ia memanfaatkan saat terakhir di Indonesia untuk jalan-jalan. Yang juga harus berpamitan dengan "keluarga angkat" adalah Roel Struyve. Pelajar bongsor ber-baby face itu tinggal di keluarga Osman Abdullah Suryasumantri, di daerah Dago, Bandung. Roel, yang sehari-hari di Bandung dipanggil Otong, memang nampak akrab dengan keluarga Osman, tempatnya menumpang selama di Indonesia. Mereka biasa makan dan piknik bersama. Roel alias Otong semula tak begitu kenal Indonesia. "Saya hanya tahu Indonesia lewat mass media," katanya dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar. Waktu itu dia masih duduk di tingkat akhir semacam STM. Setelah lolos seleksi program AFS, dia langsung menentukan negara tujuan. "Saya pilih Indonesia, karena oriental selalu lebih menarik dan penuh misteri," kata pemuda yang gemar bertualang itu. Di Bandung, Otong asal Belgia ini, belajar di SMA Taruna Bakti kelas II jurusan A-3, untuk lebih mengenal kebudayaan Indonesia. Pemuda yang sudah cocok makan sayur asem dan gado-gado itu mengatakan, teman-temannya cukup ramah. Malah buntutnya dia mengaku kecantol mojang Priangan. Anggota keluarga angkat yang datang pergi tiap awal tahun pelajaran semacam itu sering meninggalkan bekas-bekas kenangan tersendiri. Ada yang kemudian kembali ke Indonesia untuk lebih memperdalam ilmunya mengenai Indonesia, melakukan penelitian, atau sekadar bersilaturahmi. Walaupun mereka telah pulang, kata Ibu Oesman, biasanya anak asuhnya masih bersurat melepas kangen. Untuk menutup masa nyantrik di keluarga Indonesia, Senin pekan depan akan diadakan perayaan. Menurut Irid Agoes, Direktur Bina Antarbudaya, yang membawahkan AFS Indonesia, para alumni itu akan menampilkan kebolehannya dalam mempelajari seni budaya di Indonesia. Misalnya saja tari jaipongan, menabuh gamelan, atau pencak silat. "Sebab, mereka datang bukan sebagai turis, tapi sebagai pelajar," kata Irid Agoes. Cikal bakal AFS adalah sebuah organisasi independen pengemudi mobil ambulans di AS. Mereka dengan sukarela menolong korban Perang Dunia I dan II. Akhirnya dirasa perlu adanya organisasi persahabatan antarbangsa di kalangan kaum muda. AFS pun lahir tahun 1947 di Amerika Serikat, dengan markas di New York dan Brussels. Sambutan pun meluas dan kini telah merasuk ke sekitar 68 negara. Di Indonesia, AFS mulai beroperasi tahun 1956. Tiap tahun, sekitar 100 pelajar dikirim ke 13 negara, terutama Eropa, Australia, dan Amerika. Dan pelajar asing program itu mulai masuk Indonesia tahun 1961. Rata-rata tiap tahun ada 70 orang yang dititipkan di keluarga-keluarga Indonesia. Salah seorang peserta AFS adalah Clare Wolfowitz. Istri bekas Duta Besar AS ini, ketika masih pelajar, pernah tinggal di Yogya. Kecuali belajar kebudayaan Jawa, ia juga menjadi anak angkat keluarga yang dipondokinya. Hingga kini sudah ada sekitar 1.500 alumni AFS. Sejumlah nama beken orang Indonesia ternyata pernah mondok di keluarga "Barat". Antara lain Sekjen Departemen Transmigrasi Mayor Jenderal Zainy Azhar Maulany, si manajer semilyar Tanri Abeng, Taufiq Ismail, atau Dr. Alfian. Dan belum lama ini, sekitar 200 returnees yang tergabung dalam Ikatan Returnees AFS (IRA) kumpul-kumpul di Hotel Hilton, Jakarta. Kecuali AFS, ada pula program pertukaran serupa yang dikelola pemerintah Indonesia dan Kanada, atau Canada World Youth (CWY). Anggotanya sebagian besar mahasiswa. Program yang dimulai tahun 1974 itu setiap tahun memilih 50 "duta" Indonesia untuk dikirim ke Kanada. Mereka bergabung dengan 50 pemuda setempat, menyebar dan tinggal di desa. "Selama di Kanada mereka tinggal di pelosok pedesaan dan mengikuti kegiatan masyarakat setempat," kata Pejabat Program Pembangunan Kedutaan Besar Kanada, Syarifah A. Hasanuddin. Setelah menghabiskan waktu empat bulan di Kanada, mereka pun pindah ke pedesaan di Indonesia. Mereka mengikuti program PKK, gotong-royong, atau kegiatan sosial lain. "Program ini melibatkan mahasiswa karena mereka lebih matang. Biasanya kalau mereka kembali jadi mahasiswa akan lebih kritis," kata Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga, Prof. W.P. Napitupulu. Sayangnya, program masuk desa itu sering tak disukai pemuda Indonesia. Menurut Benny- peserta CWY yang tahun lalu dititipkan di pedesaan Sulawesi Tenggara- sebagian rekannya asal Indonesia adalah anak kota yang suka hura-hura dan serba ada. Ternyata lebih susah tinggal di desa negeri sendiri. Gatot Triyanto, Liston P. Siregar, (Jakarta), dan Achmad Novian (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus