Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Museum, Setelah Dullah 100 Tahun

Museum Dullah di Solo menyimpan benda artistik dan historis yang bukan main nilainya. Publik ingin museum ini dibuka setiap saat.

7 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Museum Dullah di Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.
Penulis buku Dullah 100 - Pelukis Istana Presiden Sukarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dullah (1916-1996) pada 19 September lalu genap berusia 100 tahun. Tidak seperti 100 tahun Affandi, Sudjojono, Basoeki Abdullah, dan Hendra Gunawan yang dihebohkan dengan perayaan, seabad Dullah justru hening. Tidak ada seremoni untuk menjunjung jasanya yang luar biasa. Padahal Dullah adalah pelukis besar yang benar-benar sebanding dengan nama-nama tersebut. Bahkan Dullah tersohor sebagai pelukis Istana Presiden Sukarno pada era 1950-1960 sebelum kedudukannya digantikan oleh Lee Man Fong dan Lim Wasim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiadaan seremoni tentulah tidak apa-apa, karena keramaian seperti itu bukan keharusan. Apalagi di tengah keheningan itu terselenggara acara selamatan di kediaman Ir Sawarno, putra tunggalnya, di Surabaya, dan di Museum Dullah, Solo. Menyusul acara khidmat itu, akan diterbitkan buku Dullah 100 – Pelukis Istana Presiden Sukarno (susunan Agus Dermawan T.), juga Bung Karno: Pemimpin, Presiden, Seniman – Dari Kumpulan Surat-surat Pelukis Dullah kepada Istrinya, Bibi Fatima (susunan Eka Buana Gapoer). Buku ini berisi artikel Dullah yang dimuat di koran Merdeka Minggu edisi Maret 1982-Mei 1983.

Meski demikian, masyarakat seni rupa Indonesia tetap mengharapkan peringatan “Seabad Pelukis Dullah” ini merupakan momentum dibukanya kembali Museum Dullah, yang terletak di Jalan Cipto Mangunkusumo 15, Solo. Sebab, sesungguhnya museum ini sudah diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Fuad Hassan pada 1 Agustus 1988. Namun masyarakat melihat museum yang selalu terpelihara apik sejak 20 tahun lalu itu “seperempat buka dan tiga perempat tutup” bagi publik. Hanya rombongan yang mendaftar yang bisa berkunjung. Padahal Museum Dullah memiliki materi yang bukan main nilai artistik dan historisnya.

Dullah mulai membangun gedung museum itu pada 1985. Pada tahap awal, luas museum hanya 300 meter persegi. Setelah memiliki cukup uang, ia meluaskan ruangannya menjadi 1.200 meter persegi, dalam bentuk tiga bangunan yang menyimpan 15 ruangan. Di sini, ratusan lukisan Dullah yang berukuran sejengkal sampai dua depa dengan rapi dan rapat terpajang. Jajaran lukisan itu ditemani oleh karya pelukis Indonesia yang menggores sejarah, dari Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, Sudjojono, Basoeki Abdullah, Ernest Dezentje, hingga Lee Man Fong. Bahkan ada karya Bung Karno, sang presiden.

Selain itu, terdapat aneka patung klasik Bali, lukisan klasik Bali dan Jawa, ukir-ukiran Bali dan Jawa, serta topeng-topeng kayu. Tak terkecuali karya-karya anak didikan Dullah di Sanggar Pejeng, yang sebagian bertema perang revolusi. Tema yang gemuruh ini mengurung puluhan lukisan Mohamad Toha, Sri Suwarno, dan Sardjito, para bocah yang merekam suasana perang Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 1948. Tak lupa, manuskrip artikel dan puisi-puisi Dullah yang ditulis sejak zaman Jepang. Di dinding museum Dullah juga terpajang jajaran lukisan ciptaan seniman Argentina, Meksiko, Belanda, Mesir, India, Filipina, dan Tiongkok yang dia koleksi.

Presiden Sukarno (kiri) dan Dullah (tengah) di Istana Presiden.

“Sebagian lukisan dari mancanegara itu saya dapat ketika saya menjadi pelukis Istana Presiden Sukarno,” ucap Dullah, sambil menunjukkan lukisan yang dibelikan oleh Agoes Moesin Dasaad, pengusaha yang diberikan predikat “bank berjalan” (tempat berutang) Bung Karno untuk urusan lukisan.

Ayal, Museum Dullah adalah sebuah rumah seni yang komplet dan bisa menjadi aksentuasi bagi Kota Solo, Jawa Tengah, bahkan Indonesia. Dullah cinta benar kepada museumnya. “Setiap sisi museum ini adalah dinding jiwa saya,” kata dia. Itu sebabnya ia marah besar ketika pada 1990 karyanya yang istimewa, Kakek Paras Bawa Tongkat dan lukisan Raden Saleh, Musafir, dicuri.

“Saya mengumpulkan sak imit sak imit selama puluhan tahun, maling tinggal nyomot sekali jalan. Bajindul. Ora iso iku!” Akhirnya, dengan bantuan detektif dan polisi, si begundal dapat dibekuk setelah melewati proses tembak-menembak.

Lukisan Dullah, tentang rakyat jelata.

Dullah dan istri, Bibi Fatima.

Dullah terus menyempurnakan museum yang sudah diresmikan itu. Ia aktif pergi ke Bali untuk mencari karya seni yang bisa melengkapi museumnya. Tarikh menunjukkan pertengahan Juli 1993. Syahdan, saat di Bali, Dullah mendapat kabar bahwa Bibi Fatima, istrinya, mendapat serangan jantung di rumah putranya di Surabaya. Dullah pun bergegas berangkat ke Surabaya. Belum selesai kesusahan ini berjalan, Dullah memperoleh kabar mengejutkan dari Solo. Lewat telepon diberitakan bahwa sebuah patung singa yang terpasang di sudut plafon museumnya ambrol dan menimpa beberapa keramik kesayangannya. Dullah panik bukan main.

Setelah membereskan urusan sakit sang istri, Dullah memaksakan diri berangkat ke Solo menggunakan mobil bersama seorang sopir. Delapan jam ditempuh dengan sedih, kemrungsung, dan perasaan mendua: antara istri dan museumnya. Namun, sesampai di museum, Dullah mendadak lunglai. Tangan dan kakinya susah digerakkan. Bibirnya beku. Dullah terkena stroke, kemudian koma selama 10 hari. Sementara itu, di Surabaya, sang istri yang masih dalam masa perawatan tidak diberi kabar ihwal musibah yang dialami Dullah ini.

Syahdan, Bibi Fatima, sang istri yang menemani suka-duka Dullah sejak era pra-kemerdekaan, sembuh dari sakitnya. Berselang enam bulan kemudian, Dullah juga mencapai kesembuhan. Meski tubuh sebelah kanannya belum pulih benar, dia mencoba melukis dengan tangan kirinya atas dorongan Bibi. Ketika tangan kanannya mulai mampu bergerak, ia melukis kembali dengan tangan kanan, dengan bantuan tangan kiri. Dullah menggunakan kursi roda setiap kali menyusuri ruang demi ruang museum.

“Sak kabehe wong kudu ndelok museum iki (Semua orang harus melihat museum ini),” kata dia lirih kepada saya pada awal 1995.

Dullah baru menyerah kepada penyakitnya pada 1 Januari 1996. Sambil berjalan menuju nirwana, ia mewariskan Museum Dullah yang sangat menarik dan patut dibuka lebar-lebar pintunya untuk siapa saja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus