Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Perth - Gina Williams, penyanyi Australia keturuan asli Suku Aborigin selalu berupaya melestarikan budayanya melalui bahasa. Ia tak ingin kebudayaan asli Suku Aborigin punah. "Saya percaya dengan mengingat lima kata saja dalam sehari oleh satu orang di dunia ini, bahasa kami yang hampir punah ini akan tetap hidup ," ujar Gina Williams dalam acara malam keakraban Australia Awards Scholarship program di The Quarry Amphitheatre, Perth, Jumat 14 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Williams merupakan perempuan dari klan Ballardong,satu dari 14 klan bangsa Noongar atau sebutan asli suku Aborigin. Ia memulai karier bermusiknya sejak tahun 2000 dan 1 tahun kemudian memenangkan penghargaan musik tertinggi di Australia Barat. Memulai karier sebagai penyanyi solo, 11 kemudian Williams membentuk duo bersama Guy Ghouse.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Williams melantunkan lagu dengan gaya bermusik barat dengan menggunakan bahasa asli Aborigin. Williams banyak menceritakan kisah anak anak Aborigin yang harus terpisah dengan orang tua kandung mereka di awal abad ke 20 atau dikenal dengan era Stolen Generation.
Salah satu lagu duet Williams dan Gauss yang dirilis pada 2018 adalah Koorlangkar yang merupakan lagu pengantar tidur bagi anak anak suku Aborigin. Lagu ini dibuat Williams untuk menjawab kegelisahan anak anak Noongar yang harus terpisah dengan orang tua mereka di era kolonialisasi Inggris.
Masa kolonialisasi Inggris merupakan salah satu era tergelap bagi anak anak Aborigin. Musababnya, dengan mengatasnamakan perlindungan anak, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan pengalihan pengasuhan anak suku Aborigin kepada orang orang kulit putih. Anak anak berusia 6-8 tahun dipisahkan dari orang tua kandung mereka untuk dimasukkan ke sekolah seminari di bawah asuhan gereja.
Di sekolah seminari tersebut anak anak Aborigin tidak boleh menggunakan bahasa asli mereka, harus bersikap layaknya orang kulit putih, kedinganan, kelaparan, dan tertekan. Akibat kebijakan tersebut, banyak anak dan orang tua yang tidak pernah bertemu kembali. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap psikologis dan tumbuh kembang anak anak Aborigin. Tidak hanya itu, beberapa anak Aborigin mengalami eksploitasi yang berujung pada perburuhan anak, kekerasan seksual dan penggunaan obat obatan terlarang.
Banyak anak dari Stolen Generation yang akhirnya tidak dapat melanjutkan hidup mereka. Ini pula yang menyebabkan berkurangnya populasi suku Aborigin di Australia. Saat ini warga Aborigin hanya sebesar 3 persen dari seluruh penduduk Australia.
Lantaran itu di tahun 1998 pemerintah Australia mengajukan rekonsiliasi dengan mengesahkan peringatan hari permintaan maaf sebagai hari nasional setiap 26 Mei. Sejak saat itu pemerintah Australia mengakui perlakuan buruk terhadap orang-orang Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres yang dipindahkan secara paksa dari keluarga dan komunitas mereka.
CHETA NILAWATY | RECONCILIATION
Baca juga: 10 Tokoh Asia Tenggara Bicara tentang Budaya
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.