Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekeping uang logam Rp 500 dimasukkan ke dalam lubang pipih kotak putih kecil—jegleng. Musik khas arena permainan di pasar malam pun terdengar seiring dengan berputarnya wahana berbentuk silinder mirip permainan komidi putar.
Kain warna-warni bagaikan tenda arena pertunjukan sirkus menutupi bagian atas wahana itu. Tapi tak ada anak-anak dengan teriakan kesenangan duduk di atas bentuk kuda. Yang ada adalah bayangan dari citraan sosok figur lelaki bertangan gergaji dan gunting bak sedang mengejar citraan mobil sport merah menyala. Di depan citraan mobil itu ada figur lelaki bertelanjang dada dalam warna kuning dengan kepala berbentuk mirip sesisir pisang atau sesuatu yang tumbuh.
Eko Nugroho, pencipta karya seni instalasi itu, bersama konsultan tekniknya, Ignatius Sugiarto, merancang koin Rp 500 yang hanya cukup untuk memutar wahana bertenaga penggerak motor listrik tersebut selama satu menit. Eko memberi judul karyanya Selalu Saja Menyenangkan di Negeri Ini, satu dari sembilan karya yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 17 Maret-18 April. ”Konsep visualisasi untuk pameran ini bersumber dari gagasan tentang pasar malam,” tulis Alia Swastika dalam konsep kuratorialnya.
Tapi kegembiraan yang muncul berbeda dengan sensasi melayang yang dialami anak-anak saat mereka berputar menunggang kuda-kudaan pada wahana komidi putar. Pada karya instalasi itu kegembiraan justru timbul ketika citraan figur manusia dengan organ tubuh imajinatif tadi muncul dalam kualitas rupa sebagaimana aslinya. Seperti dalam pertunjukan wayang kulit, deretan figur imajinatif ini berada di balik kain putih tipis yang membungkus bentuk silinder komidi putar itu.
Berbeda dengan citraan wayang dalam pertunjukan wayang kulit yang hanya dinikmati penonton berupa bayangan monokromatik figur, pada karya Eko penonton bisa sepenuhnya menikmati detail bayangan elemen rupa. Bahkan siraman cahaya dari belakang figur dengan kain putih tipis di depan menimbulkan efek lembut pada garis dan warna. Sebelumnya figur-figur imajinatif karya Eko dimainkan da-lam cerita wayang oleh dalang muda Ki Catur Kuncoro.
Eko Nugroho, 32 tahun, dikenal sebagai perupa yang biasa berekspresi dengan bentuk komik. Ia mengorganisasikan komunitas virtual yang disebut Komik Daging Tumbuh dengan menerbitkan karya komik alternatif dalam format sederhana. Eko memanfaatkan teknologi mesin fotokopi untuk menggandakan komiknya dalam jumlah terbatas. Orang yang tertarik pada karya Komik Daging Tumbuh bebas menggandakannya dengan cara yang sama.
Sebagai komik, karya Eko tidak mengikuti narasi yang tertib pakem komik konvensional. Narasi dalam karya Eko bergerak liar dengan membebaskan imajinasi sebagaimana bentuk-bentuk figur pada karyanya. Imajinasi visual Eko kebanyakan beroperasi pada citraan organ kepala. Ia mengganti atau menutupi bentuk kepala dan wajah dengan bentuk lain. Misalnya figur lelaki berkepala pisang sesisir tadi, atau figur bertangan gergaji dengan kepala yang dikurung bentuk bulat tapi ada dua wajah di dalamnya. Dua kepala itu bak menyiratkan satu tubuh dengan dua kepribadian.
Pada saat lain kepala itu berfungsi sebagai topeng yang menyembunyikan sebagian wajah. Ada yang berbentuk rekaan pesawat ruang angkasa. Ada juga yang berbentuk kotak yang hanya menampakkan mata nyalang atau terpejam.
Besarnya perhatian Eko pada bentuk kepala juga ia tunjukkan dengan perlakuan lebih pada pengolahan bentuk organ tubuh itu. Hanya bentuk kepalalah yang diberi citraan tiga dimensi dengan menekankan pada citraan unsur volume. Sedangkan citraan organ lainnya—tangan, badan, dan kaki—kebanyakan tampil flat (datar), sebagaimana penggarapan bentuk komik pada umumnya.
Bentuk figur yang datar itu memang ada kesamaan dengan teknik wayang. Bahkan kali ini Eko membuat figur-figurnya dari bahan kulit yang dipoles dengan cat akrilik pada satu sisinya untuk menjaga transparansi. Dengan teknik pencahayaan yang diatur Ignatius Sugiarto, figur-figur itu menjadi penuh warna.
Pada karya bertajuk Eat and Fight citraan deretan figur yang ditancapkan di batang pohon pisang terkesan bergerak hanya dengan menggoyang-goyangkan lampu di belakangnya. Eko menempatkan karya ini di gerobak warung angkringan, warung makanan pinggir jalan khas Yogyakarta. Tapi kehadiran gerobak itu tidak mengasosiasikan sesuatu yang berarti. Figur-figur imajinatif itu pun tenggelam dalam ukuran gerobak yang lebih besar.
Dengan mengeksplorasi pencahayaan pula Eko dan Sugiarto menonjolkan karakter figur imajinatif dengan teknik neon box pada karya bertajuk Modern Love dan Awal dan Akhir. Dua karya yang digantung di dinding ini sangat pas menjadi elemen interior, khususnya untuk ruang publik. Ada unsur kemewahan yang atraktif lewat tata cahaya, tapi ada juga kegenitan corak dekoratif pada figur perempuan berkepala kotak yang mengarahkan sepucuk pistol ke kepalanya dan citraan pohon kehidupan. Pada karya ini Eko sangat dekat dengan corak seni tradisi.
Eko memang sering memasukkan elemen dekoratif pada karya komiknya. Misalnya ia sering melakukan pengulangan bentuk sesuatu yang tumbuh pada bagian tertentu figurnya, atau membuat ornamen berupa susunan bentuk melengkung yang mencitrakan sisik ikan, atau garis-garis silang yang mengingatkan orang pada pola batik. Pola ornamen itu bisa berfungsi mengisi bentuk organ tubuh, atau menjadi bentuk imajinatif salah satu organ tubuh.
Tapi kecenderungan menghias pada karya bertajuk Let’s Fight for Nothing menghasilkan bentuk berbeda. Dua figur imajinatif penuh warna menjadi menonjol dengan latar belakang bentuk yang dibangun dari aneka ornamen, antara lain ornamen yang diambil dari bentuk kepiting. Pada karya ini Eko berusaha memasukkan unsur interaktif atau setidaknya kesan interaktif dengan melengkapi karya yang ditempel di dinding tersebut dengan joystick, perangkat permainan PlayStation.
Ketika salah satu tombol ditekan, yang muncul adalah suara musik hasil modifikasi. Sedangkan tombol lainnya menghasilkan suara manusia yang diteriakkan lewat megaphone. Di dinding, dua citraan berbentuk kepiting dan lelaki berkepala pesawat ruang angkasa dengan megaphone di tangan sedang dalam posisi seperti bertarung. Mungkin saja sebelumnya ada yang membayangkan joystick itu menggerakkan dua figur di dinding, bak dalang Ki Catur Kuncoro menggerakkan wayang karya Eko Nugroho.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo