Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINGAPURA, 11 Desember 2022. Perupa Sri Astari Rasjid meninggalkan dunia yang fana, melanjutkan perjalanan ke level berikutnya. Menyaksikan tempatnya yang sangat tersendiri di tengah “gurun” hijau pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, terkesan suasana lonely dan surreal, seakan-akan Astari Rasjid kini memilih tidak mau diganggu oleh kebisingan dunia. Ia ingin menyendiri dan membenamkan diri dalam intimacy dengan Sang Khalik.
Astari yang lahir di Jakarta pada 26 Maret 1953 ini telah melalui semua tingkatan kehidupan manusia, dari gadis yang menaati pelajaran ibunya mengenai adat Jawa hingga tumbuh menjadi perempuan yang berani mendobrak konvensi patriarkal.
Perupa yang pernah mengenyam pendidikan seni di University of Minnesota, Amerika Serikat, dan Royal College of Art, London, Inggris, ini kemudian menjadi pencipta karya dan instalasi seni kontemporer yang berakar pada budaya leluhur tapi berwujud dalam sifat kekinian. Ia menciptakan gaya sendiri dalam seni rupa kontemporer Indonesia.
Dia juga menjadi duta besar perempuan Indonesia pertama dari kalangan seni rupa. Astari menjadi duta besar untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara. Ia menjalani misi diplomatiknya dengan memilih jalur budaya untuk mendekatkan Indonesia dengan ketiga negara itu.
Sebagai seorang perempuan perupa, selama lebih dari tiga dekade, Astari membaca kultur Jawa dan merumuskannya dengan kacamata sekarang untuk karya yang mengikuti perkembangan masa kini.
Perjalanan hidup pribadinya berkembang bersamaan dengan majunya kematangan talenta seninya—yang sesuai dengan teori psikologi Gordon Allport mengenai “becoming”.
Astari yang wafat pada 11 Desember lalu dalam usia 69 tahun tersebut sudah berbuat banyak dalam memajukan seni rupa Indonesia. Salah satu yang penting ketika dia duduk sebagai eksekutif pameran gerakan Non-Blok, “Contemporary Art of the Non-Aligned Countries”, di Galeri Nasional, Jakarta, pada 1995. Dalam pidatonya dia menekankan pentingnya budaya dalam seni rupa.
Lalu, saat menjadi direktur pameran Jakarta Biennale IX, dia memberi izin kepada kurator Jim Supangkat untuk memperkenalkan karya instalasi pada bienial tersebut. Langkahnya itu menjadi catatan penting dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Seni rupa dan budaya memang hal penting dalam hidup Astari. Selama menjalani perawatan dan terapi di Arizona, Amerika Serikat, ia pun tetap berkarya dan menghasilkan patung Sarinah untuk dipamerkan pada pembukaan pameran pertama gedung Sarinah baru di Jakarta.
Perhatiannya terhadap kejadian-kejadian penting selalu menggerakkan hati dan karyanya. Jadi, mengamati karya Sri Astari adalah pengalaman yang mendalam, seakan-akan kita ikut merasakan detak jantung dirinya perihal zaman, pengalaman dirinya, serta momentum pentingnya dalam berkarya dan pengalaman negeri ini.
Ketika terjadi pemerkosaan dalam kerusuhan yang meletus pada 1998, ia merasakan kengerian yang tak terhingga. “Saya tidak dapat mengungkapkan perasaan pada sebuah kanvas, karena kanvas tidak cukup untuk ungkapan demikian,” katanya.
Maka ia pun membuat patung. Ini untuk pertama kalinya ia membuat patung sejak memulai karier sebagai perupa profesional. Lahirlah patung Prettified Cage, sebuah karya patung yang tampak manis tapi terbuat dari bahan baja yang keras dan dingin.
Sejak saat itu kebaya, baju tradisional perempuan, menjadi metafora Astari yang menandai berbagai kejadian. Kebaya juga menjadi suatu barometer yang mengungkapkan mood-nya ketika hal-hal buruk terjadi, baik di dalam maupun luar negeri, serta dalam hidup pribadinya.
Lewat instalasi Abandoning Virility (2002)—patung besar kedua mengenai kebaya yang bersifat sangat personal—ia secara dramatis merenungkan hidup dan mati serta kekeliruan anggapan “make believe”.
Dari idenya tentang jimat untuk melindungi dirinya, Astari kemudian menciptakan karya berjudul Armors for the Soul (2011). Ini karya instalasi lima kebaya yang terbuat dari aluminium abu-abu. Setiap kebaya dihiasi kembang yang bermakna khusus yang dimaksudkan untuk melindungi jiwa.
Kendati berbahan keras seperti aluminium, Astari berhasil memberi sentuhan feminin yang mengalir dengan menambah selendang bermotif kebisingan dunia. Ini sebagai metafora sentuhan feminin di tengah dunia yang keras.
Pada akhir 2015, ketika beredar kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan menunjuk ia sebagai duta besar untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara, Astari menciptakan patung kebaya raksasa setinggi 2,5 meter. Patung kebaya itu dihiasi dekorasi sebuah bros besar berupa kupu-kupu sebagai metafora perubahan. Karyanya ini diberi judul Armor for Change.
Karya-karya Astari juga visioner dan memiliki sensitivitas terhadap beberapa kejadian dunia. Karya Home, misalnya, adalah instalasi raksasa dari tas merek Kelly berbentuk seperti kandang tempat seorang perempuan terkunci. Tadinya instalasi itu bermakna kritik gender mengenai anggapan bahwa tempat perempuan adalah di rumah saja. Kini, di masa pandemi Covid-19, ternyata karya itu menjadi simbol seluruh umat manusia untuk berdiam diri di rumah.
Sensitivitasnya terhadap masa depan juga terasa ketika ia melukis The Contestants. Karya ini seakan-akan memprediksi kekuatan ekonomi Cina, Indonesia, dan India. Lukisannya berupa tiga perempuan yang masing-masing berbusana cheongsam, kebaya, dan sari—mewakili Cina, Indonesia, dan India—berlatar belakang The Wall Street Journal dengan gambar Candi Borobudur dan catatan indeks bursa efek.
Kemudian ketika dunia porak-poranda dilanda pandemi Covid-19 dan berbagai bencana, Astari meruwat dengan karya epikal berupa instalasi pertunjukan Sembilan Mutiara dari Surga. Karya instalasi ini terdiri atas dua patung wayang golek mewakili perempuan yang dianggap memiliki kekuatan suci dan sakti dari berbagai latar belakang budaya lokal dan dunia internasional serta berbagai agama, yang semuanya diselimuti rasa pluralisme dan dibalut kain yang berasal dari Nusantara.
Masih banyak lagi kiprah Astari sebagai pegiat seni rupa. Termasuk berbagai prakarsa dan pameran di tempat penting, seperti di 798 Art Zone, Beijing, Cina; Venice Biennale Arte yang ke-55 sebagai peserta Pavilyun Nasional Indonesia Sakti; serta Spoleto International Festival yang ke-56. Lalu, pameran di Korea Selatan, Hong Kong; Art 14 London; dan ENVISION Sculptures di Garden City, Singapura (2016).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menjadi eksekutif yang penting dalam pameran seni rupa kontemporer gerakan Non-Blok pada 1995, dia berpartisipasi pada pameran “Women in the Realm of Spirituality” di Gregoriana, Vatikan, pada 1998. Dia juga terseleksi sebagai peserta pameran “Infusions into Contemporary Art” di Galeri Nasional Indonesia pada 2022.
Kini teman dan mitra yang inspiring itu sudah beranjak ke dunia Ilahi. Namun seperti yang ia ungkapkan belum lama ini: “Seseorang bisa saja meninggal, tetapi spirit dan jiwa ciptanya tidak akan pernah sirna”. Dan demikianlah adanya.
Selamat beristirahat dalam keabadian teman tercinta, kami akan selalu mengenangmu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo