Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, aktor-aktor Teater Payung Hitam itu sudah terlihat akan menggedor penonton dengan imaji tanpa kata. Penampilan terakhir kelompok ini dalam Tiang Setengah Tiang setahun silam juga minim dialog. Temanya sama: kekerasan, meski kini difokuskan pada memori pembunuhan. Di dinding muka Gedung Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dilekatkan foto 16 awak teater yang terpejam seolah mati. Di ruas tengah penonton, terdapat pancang-pancang serpihan tulang yang dibingkai. Ketika cahaya redup, seorang nenek tertatih-tatih melihat pecahan tulang itu, lalu duduk di kursi di depan penonton.
Sutradara Rahman Sabur agaknya ingin membuktikan bahwa tema politik yang menjenuhkan masih memiliki kemungkinan estetis. Kegigihan mencari idiom-idiom baru tanpa kata untuk memvisualisasi kekerasan itu patut diacungi jempol. Dibandingkan dengan pertunjukan Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam, yang terasa hilang dari DOM adalah energi patos dan teror.
Tak ada batu-batu kerikil yang bisa meluber ke penonton atau ayunan bandul batu yang bisa menggegarkan batok kepala aktor seperti dalam pementasan sebelumnya. Tak ada aksi lempar-melempar kaleng penyok, pukulan martil, dan suara anonim loudspeaker yang mempersuasi tubuh untuk melakukan gerakan ganjil. Dalam dua pertunjukan pada 1997 itu, penonton seolah dicemplungkan ke dalam atmosfer yang mencekam.
Malam itu, bangku mayat, nisan, tulang-belulang, sepatu bot, helm, dan senter menjadi kejutan yang apik. Sepuluh garis cahaya yang tegak lurus jatuh di lantai memberikan sebuah imaji pilar yang kukuh. Lima orang laki-laki bertopeng dan bertelanjang dada membawa benda mirip swipoa, alat hitung tradisional Cina, yang rentang kawatnya tercantel oleh tulang-belulang yang menimbulkan bunyi riuh.
Pertunjukan seolah terbagi menjadi serangkaian sekuen. Gagasannya adalah pertunjukan ibarat gambar-gambar orang mati pada album hitam yang dikenang sang nenek. Rahman Sabur menampilkan adegan-adegan papan-papan beroda. Seorang aktor terbujur kaku dalam sebuah dipan beroda yang dikesankan berjalan maju-mundur sendiri. Lalu, di belakangnya terdapat sebuah dekor bergambar wajah tentara. Sungguh permainan bidang yang memanjakan mata. Kali ini, sensibilitas Rahman Sabur bagaikan seorang perupa yang lebih menitikberatkan segi visual dan kejutan mata yang terjaga.
Pertunjukan jauh dari suasana chaos. Hanya ada senter raksasa yang menembak yang membuat penonton geragapan karena silau. Bahkan, ada beberapa adegan yang mengingatkan kita pada koreografi tari, apalagi yang mementaskannya adalah Nur Ananicucu almarhum Sawitri, maestro tari topeng Cirebon. Sabur sering mengganti kata dengan bunyi. Adegan jenderal badut di atas adalah contohnya. Adegan seorang konduktor memimpin perayaan pembantaian menjadi adegan paling meriah. Meski tanpa ocehan, nomor ini terasa sangat naratif.
Ini menandakan Sabur sebenarnya tidak antikata. Ia hanya merasa lelah dengan kata-kata yang mendominasi koran dan televisi yang semakin cerewet. Pertunjukan ini bisa lebih menjadi penuh interpretasi apabila dekornya tak terlalu stereotip. Gambar dekor seorang berpeci tanpa parasmenjuruskan kita ke sosok militer tertentuagaknya sudah terlalu usang. Saat Tony Broer, sang aktor andalan, melakukan ancang-ancang meloncat dan berulang-ulang menjejakkan kaki ke dinding untuk menunjukkan rasa muak, kita malah merasa gerak itu klise.
Kaspar, Merah Bolong, dan DOM sudah dijadwalkan akan dipentaskan di Festival Perth, Februari tahun depan, dan masing-masing dimainkan tiga kali. Ini kehormatan bagi teater Indonesia. Di situ, penonton dunia akan menyaksikan energi keliaran tubuh yang berubah menjadi pesona visual orang-orang mati.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo