Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan belatung menggeliat di antara plastik. Daun berlumpur terlihat di balik kaca. Bau busuk menusuk indra penciuman para pengunjung di lobi Gedung A, Galeri Nasional Indonesia. Tisna Sanjaya mendatangkan satu truk besar sampah langsung dari asalnya, Sungai Citarum, salah satu sungai yang mengalir membelah Kota Bandung. Karya ini berhubungan dengan karya lain di bagian dalam sayap kiri gedung tersebut: sebuah patung menyerupai Tisna, berbaju gamis dengan kepala memakai ikat, serta tangan menggenggam kuas dan palet. Patung setinggi manusia itu berdiri di sebuah perahu yang diletakkan di tumpukan kelapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari perahu, yang di dalamnya terisi lumpur, tumbuh padi. Perahu dan lumpur itu juga diambil dari badan Sungai Citarum yang menjadi urat nadi manusia di sekitarnya. Separuh bagian dinding ruangan itu diisi etsa yang memperlihatkan lukisan dengan elemen padi, tanah, manusia, sampah, dan pepohonan dalam karya berjudul Takbir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman yang juga pengajar di Institut Teknologi Bandung itu sedang menggelar karya-karyanya dalam pameran bertajuk "Potret Diri sebagai Manusia Munafik". Pameran yang dibuka oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid ini dihelat pada 9-21 Juli 2018.
Tisna ingin mengajak untuk merenung, mengoreksi setiap kesalahan yang terjadi, seperti yang berlangsung di Sungai Citarum dan alam pada umumnya saat ini. Berkaca diri, begitu ia mengingatkan. Ia seperti ingin menampar: banyak yang menyebut diri beriman tapi terus mengotori badan sungai.
Karya-karya itu kental akan romantisme masa kecil Tisna. Citarum adalah arena bermainnya. Ia berkisah, Citarum dulu masih bening dan kedalamannya mencapai 9 meteran. Airnya menghidupi sawah dan masyarakat sekitar. Tapi kini kedalamannya tak lebih dari 2 meter, airnya keruh, menghitam seperti sekarat dijejali aneka sampah.
Tak hanya karya itu yang menyentil. Lihatlah 33 sajadah yang dilukis dengan arang, kunyit, kayu manis, dan lem pada pembukaan Museum Macan, November 2017. Karya itu berjudul Potret Diri sebagai Kaum Munafik. Karya yang memperlihatkan betapa banyak orang sangat rajin beribadah (disimbolkan dengan sajadah dan gerakan bersujud), tapi perbuatannya tak mencerminkan ibadahnya. Kemunafikan menggerogoti iman, seperti belatung yang menggerogoti sampah-sampah itu.
Sepuluh tahun silam, Tisna berpameran dengan karya etsa yang dicetak menggunakan asphalt. Kini dia menyuguhkan etsa yang dicetak dengan sugar aquatint. Cairan ini dipakainya untuk melukis di atas pelat. Sebanyak 99 pelat dengan beragam corak melingkari ruang kaca yang berisi mesin pencetak. Karya sebanyak itu berjudul Suju, satu per satu diberi judul kecil Asmaul Husna (Nama-nama Indah Allah). "Sambil membuat itu, saya menderaskan nama indah itu dalam doa," ujar Tisna.
Butuh waktu panjang untuk membuat karya tersebut. Tisna pun memperlihatkan prosesnya dalam sebuah video. Dari melapisi tangan dan kakinya dengan sugar aquatint, lalu "melukis" di atas pelat dengan telapak kaki, bersujud, menggoreskan cairan itu dengan tangan, lalu mencelup pelat ke dalam cairan kimia lain, hingga mencetaknya pada kertas Hahnemuhle. Seniman ini memang dikenal membuat karya berbasis desain grafis dan instalasi.
Yang cukup menohok adalah karya lukisan berjudul IBU, Ibu Limpahan Sumber Kehidupan, Bukan Bom Kematian. Sebuah lukisan arang pada kanvas dengan latar lingkaran putih. Terlihat seorang perempuan tubuhnya terbungkus rapat, kecuali mata dan dadanya yang terlihat sedang diisap dua bayi yang digendongnya. Di sebelah lukisan, Tisna meletakkan sebuah sekop. Perempuan, sekop-mengingatkan pada sebuah kehidupan. Perempuan yang selalu berusaha mencari dan memberikan kehidupan bagi anak-anak, keluarga, dan sekitarnya. Sekop, perlambang alat untuk menumbuhkan kehidupan. Tapi suatu saat malah muncul seorang ibu yang tega menyertakan anak-anaknya dalam bom bunuh diri. "Karya ini terinspirasi kejadian bom bunuh diri di Surabaya," ujarnya.
Pameran yang digagas Lawangwangi Art Space dan Galeri Nasional Indonesia ini dikuratori oleh Hendro Wiyanto dan Rizki A. Zaelani. Rizki, yang juga mengikuti proses karya pameran Tisna 10 tahun lalu, melihat Tisna tetap konsisten. "Tidak ada kebaruan, tapi Tisna terus bergerak, bergulir ke berbagai arah," ujar Rizki. Dengan semangat kepeduliannya, ia terus konsisten melakukan pembelaan terhadap yang kalah dan terabaikan. Seperti saat ini, ia masih membela soal lingkungan dan sikap keberagaman. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo