Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU dupa menguar. Sepuluh lelaki mengelilingi bangunan pendapa. Mereka yang berkostum pangsi hitam dan celana selutut serta berikat kepala biru itu memainkan kendang dan angklung. Di dalam pendapa, seorang lelaki tua berpakaian pangsi hitam mulai menari bersama tiga perempuan berkebaya putih. Mereka semua berselendang putih, merah, dan merah-putih. Musik dari gesekan rebab dan petikan kecapi khas kesenian Tarawangsa asal Sumedang, Jawa Barat, mengiringi bersama tepukan tangan.
Kelompok penonton dari Eropa, yang berjumlah 20 orang, satu per satu menghampiri, lalu menari bersama. Mereka menari di sela karya-karya Toni Kanwa Adikusumah, yang dikurung dalam empat kotak berkaca, Selasa siang pekan lalu. Sebuah patung kayu setinggi kira-kira tiga meter dipasang di ruang terbuka amfiteater.
Sepanjang 13-16 Maret lalu, Tonikini menetap di Belgiamenggelar pameran tunggal berjudul "Pamor" di Bale Handap, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Setahun sekali, Toni pulang ke Tanah Air. Selain berpameran, kepulangan dia kali ini diikuti 20 turis asal Belanda, Jerman, Prancis, dan Belgia. Mereka adalah murid Toni di Belgia, tempat tinggal Toni bersama istri sejak 2000. Di sana, ia melatih berkarya seni seperti yang dilakoninya, termasuk pelatihan jiwa.
Empat kotak kaca itu berukuran panjang 1 meter dan lebar 60 sentimeter. Di dalamnya, ada dua jenis karya Toni. Pertama, logam tempaan berbentuk seperti artefak kujang dan keris, serta kedua adalah patung-patung kecil yang terhimpun dalam judul Soul Drops buatan 2017-2018. Pada setiap kotak kaca itu, terpasang kaca pembesar. Alat bantu itu berguna untuk melihat karya Toni secara rinci, khususnya pada karya patung yang berukuran sangat kecil.
Patung-patung Toni ada yang sekecil kutu kucing dan semut. Sangat kecil. Figurnya sosok berkepala lancip dan berbadan jarum. Bentuk lain misalnya ukiran benda tradisional dan totem. "Paling kecil berukuran satu milimeter, itu bukan debu kerikil," ujarnya. Lelaki kelahiran Tasikmalaya pada 1959 itu mengukir batu dengan pisau khusus buatan sendiri.
Toni banyak memakai batu meteorit untuk karya patungnya. Sepotong pecahan batu luar angkasa seukuran kerikil berwarna hitam diletakkan di tengah kotak dikitari patung ukirannya. "Batunya berasal dari Badui (Banten), umumnya berukuran kerikil seperti yang dipajang itu," tuturnya. Jenis batu meteorit, menurut Toni, ada tiga jenis, yaitu batuan penuh, bercampur logam, dan murni logam. Dia hanya memakai jenis pecahan meteorit logam murni. Batuan meteorit itu banyak tersebar di bumi. Selain di Badui, ada di sekitar Gunung Galunggung dekat kota kelahirannya, Belitung, gurun pasir Mesir, Meksiko, dan hutan Amazon.
Secara fisik, Toni mengungkapkan, batu meteorit mirip dengan batuan di bumi. Hanya, ketika dipegang, terasa lebih berat dan keras. Di tangan Toni, permukaan batu meteorit terasa sehalus benang sutra. "Saya bisa merasakan itu bukan batu biasa. Saya belajar sama alam." Bagi Toni, pengetahuan seperti itu telah dimiliki leluhur negeri ini. Ia pun belajar dari benda-benda koleksinya yang kuat berunsur alam, seperti keris dan kujang. "Batu meteorit dan pasir besi dari tanah di pantai selatan Jawa Barat serta campuran baja," ucapnya.
Bentuk-bentuk patung Toni tampak sederhana. Kurator pameran Chabib Duta Hapsoro, dalam pengantar pameran, menulis, karya Toni adalah hasil abstraksi atau penyederhanaan bentuk makhluk hidup, terutama manusia. Dia menilai benda seni bukan dari keindahan bentuk, melainkan fungsinya dalam menghadirkan tenaga spiritual yang transenden. "Seni kemudian menjadi sarana penyatuan manusia dengan daya-daya kosmik alam semesta," ucap Chabib.
Sejak duduk di kelas I Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tasikmalaya, Toni kepincut pada akar tradisi. Ia pergi ke Badui seorang diri dengan menumpang bus. Ongkosnya hasil mengumpulkan uang jajan. Dari Tasikmalaya ke Bandung, Bogor, Rangkasbitung, hingga Badui. Niatnya semula ingin belajar ilmu kebatinan.
Hingga kuliah di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1979, Toni aktif bertualang ke kampung-kampung adat. Selain ke Badui, ia mengunjungi suku-suku asli di Sumatera, Nias, Enggano, dan lama-lama merambah hingga Papua. Ia secara khusus juga belajar mengenal keris hingga membuatnya ke beberapa empu di keraton Surakarta dan Yogyakarta. Salah satunya ke Empu Jeno Harumbrojo.
Dalam proses pembuatan karya, Toni biasa mengawalinya dengan latihan kejiwaan yang menuntunnya ke rasa damai. Di alam terbuka pilihannya, Toni merentangkan tangan, menengadahkan muka, dan memejamkan mata. Posisi itu bisa bertahan lama sampai semua indrawinya terasa lebih peka daripada biasanya. Setelah menyatukan pikiran dan hati, ia lalu mematung.
Selain mematung, Toni melakukan performance art dalam acara Asian and European Art Festival Bali 2000. Ia juga beberapa kali melakukan pertunjukan di Padepokan Lemah Putih, Surakarta, Jawa Tengah, pada 2008-2010. Pada 2009, ia ikut tampil dalam acara Light Inside Light di Times Square, New York, Amerika Serikat, kemudian dalam acara Pillar di Menara Eiffel Paris pada 2010.
Adapun pameran tunggal karya seni komtemporernya di Indonesia antara lain berjudul "Mukamuka" di Museum Nasional Jakarta (2001), "Bardo" di Galeri Edwin Jakarta (2015), dan di Selasar Sunaryo (2016). Sedangkan pameran tunggal karya tribal atau kesukuannya antara lain "Blontang" di Museum Denpasar, Bali (2003), serta di Museum Sri Baduga, Bandung (2007). Setelah bermukim di Belgia, Toni berpameran tunggal tribal art berjudul "Jurung" (2003), "Silih" (2004), dan "Blontang" (2005)semuanya di Nodebais, Belgia. Hingga tahun lalu, ia masih menggelar pameran tunggal di sana. "Karya-karya patung Toni lebih sebagai artefak yang menandai sikap atau posisi spiritual," kata Chabib Duta Hapsoro.
Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo