Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tromarama, seniman multimedia terkenal dari Bandung, memajang beberapa layar monitor yang menayangkan gambar ribuan kancing. Lewat koneksi elektrik, ribuan kancing itu terus bergerak simultan di setiap layar, mengikuti musik Rock N Roll Mafia yang tak henti bersuara nyaring.
Ingsutan kancing itu dalam setiap detik terkomposisi menjadi gambaran adegan lelaki dan perempuan, yang kadang saling mendekatkan diri, kadang menjauhkan jarak. Kadang lekat, kadang saling menolak. Video yang jenaka dan penuh warna itu diberi judul Zsa Zsa Zsu. Orang modern zaman now yang mengenali kehidupan Sex and the City paham bahwa zsa zsa zsu adalah istilah untuk perasaan yang menggeletar dalam benak dua insan. Galau.
Video art Tromarama yang berdurasi 4 menit 42 detik itu digelar dalam pameran "Cinerama: Art and the Moving Image in Southeast Asia". Pertunjukan unik yang diikuti sepuluh seniman cinerama Asia Tenggara ini digelar di SAM at 8Q (Singapore Art Museum di Queen Street No. 8), Singapura, hingga 18 Maret ini.
Sebagai wakil dari Indonesia, Tromarama didampingi Oomleo (Narpati Awangga), seniman multimedia asal Jakarta yang juga dikenal sebagai aktor, pemusik, serta penyiar radio. Karyanya berjudul Maze Out, berupa layar monitor yang menayangkan "video game" 3 menit 45 detik dengan piksel jadul tahun 1980-an. Konten videonya seru: penangkapan buaya hijau. Di sekeliling layar video lebar membentang itu Oomleo menggubah instalasi stiker yang menggambarkan segala hal yang berkaitan dengan game.
Bersinergi dengan "video game", instalasi gambar tempel itu tampil memikat mata siapa saja yang lewat. Itu sebabnya karya ini dipajang di dalam ruang kaca yang berdiri hampir di tepian jalan. Siapa pun yang lewat di depan SAM at 8Q akan sejenak terhenti untuk kemudian tergiring masuk menikmati.
"Biasanya, setelah melihat karya ini, penonton berhasrat masuk ke gedung utama untuk menyaksikan semua seni cinerama, dengan membeli tiket enam dolar," kata penjaga pameran di ruang Maze Out.
SAM at 8Q memang harus mengatur "siasat" untuk menarik penonton. Pertunjukan seni rupa cinerama belum sepenuhnya diapresiasi seperti seni lukis dan seni patung. Sebab, selama ini, sebagian besar masyarakat masih menganggap cinerama semata-mata teknik proyeksi bioskop yang menghasilkan citra tiga dimensi yang dipancarkan ke layar besar melengkung. Selebihnya, cinerama masih dianggap sebagai pengembangan konvensional dari temuan Frederic Walter pada 1939, yang dirilis secara komersial pada 1952 lewat film This Is Cinerama. Dengan begitu, cinerama dianggap sebagai bioskop layar gede seperti IMAX, dengan film umum seperti Mad, Mad, Mad, Mad World, dan Star Wars.
Padahal seni rupa cinerama sangat berbeda. Seni rupa cinerama adalah perluasan dan terjemahan bebas dari bioskop cinerama. Maka seni rupa cinerama sesungguhnya adalah seni instalasi yang menggunakan komponen utama film dan video, seperti dalam pameran ini.
Jeremy Sharma (Singapura) "hanya" menampilkan kotak besar berwarna putih bersih. Kotak yang terbagi menjadi 12 bagian ini selalu mengeluarkan cahaya, bayangan, disertai musik. Judul karya ini A White, White Day. Kita sesungguhnya hanya putih, dan tak pernah ada, begitu karya itu berbicara. Victor Balanon (Filipina) menghadirkan The Man Who. Di dua sisi dinding, ia menayangkan film perjalanan proses menggambar arsitektural, sampai akhirnya gambar itu menjadi wujud tiga dimensi. Filosofi karya ini: segala sesuatu selalu diawali dari halaman kosong. Karya Sarah Choo Jing (Singapura), Wear You All Night, menyuguhkan film tentang dua sejoli yang kesepian lantaran hidup berjauhan, dalam sebuah malam. Mereka membuka baju pelan-pelan dengan imajinasi seksual masing-masing.
Cinerama Amy Lee Sanford (Kamboja) sungguh sederhana lantaran hanya memvideokan proses fotokopi surat-surat lapuk dan tua. Dari video berjudul Scanning itu, kita disadarkan bahwa ada masa lampau yang selalu hendak dibunuh, tapi senantiasa ada yang ingin mengabadikannya. Karya kolaboratif Korakrit Arunanondchai (Thailand) dan Alex Gvojic (Amerika Serikat) berupa film yang merekam kedigdayaan alam yang sulit dilawan manusia. Cinerama Hayati Mokhtar (Malaysia) memakai beberapa kamar untuk karya instalasi-film Falim House: Observations. Karya ini menceritakan rumah Falim yang kuno, angker, dan seperti berhantu. Sarang laba-laba tampak bergerak di sudut-sudutnya.
Selain karya dua seniman Indonesia, yang paling menarik dari pameran ini adalah cinerama Ming Wong (Singapura), Making Chinatown. Wong memparodikan film Chinatown karya Roman Polanski yang kejam itu. Adegan-adegan miris diunggah sepotong-sepotong dan ditayangkan di tengah setting yang digubah dalam ruang luas nan remang.
Tapi puncaknya adalah kreasi The Propeller Group, AK47 vs M16. Cinerama berdurasi 2 menit 48 detik ini menggambarkan secara slow motion peluncuran dua peluru bedil di dalam sebalok es. Peluru itu akhirnya bertumburan dan meledak, kemudian melebur menjadi cairan yang dikurung dalam bekuan es. Di kemudian hari, cairan peluru AK47 (senjata Vietnam) dan M16 (senjata Amerika) menjadi fosil ketidakberadaban. Penjabaran atas karya itu disampaikan di ruang sebelahnya, yang memutar kompilasi film perang Vietnam, perang sepanjang 1961-1975 yang membinasakan jutaan orang Vietnam serta membunuh puluhan ribu tentara Amerika.
Dibandingkan dengan cinerama lain, cinerama Indonesia nyata paling segar dan lucu, sehingga terasa sebagai karya seni yang lahir dari negeri tenteram, makmur sentosa, sangat gembira dan bahagia, tanpa persoalan suatu apa.
Agus Dermawan T., pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo