Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gundukan pasir hitam keabu-abuan menggunung di sekitar kawasan pesisir selatan di Desa Bago, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pekan lalu. Melalui sebuah conveyor, sedikit-demi sedikit pasir tersebut diangkut menuju roda magnetic separator yang memisahkan butiran bijih besi dari pengotor yang tidak bersifat magnet.
Beberapa mesin yang sama tersebar di sejumlah tempat di kawasan Dampar, Kajaran, dan Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang. "Total ada sembilan magnetic separator yang beroperasi," kata Agus Amir, Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS), kepada Tempo.
Pemisahan pengotor ini merupakan langkah awal. Bahan yang bersifat magnet lantas dimurnikan, sehingga menghasilkan konsentrat pasir besi (Fe3O4) dan titanium dioksida (TiO2). Konsentrat besi ini nantinya masih harus diproses lagi dalam smelter (tungku pelebur) bersuhu 6.000 derajat Celsius untuk mendapatkan pig iron, bulatan-bulatan kecil besi sebesar kelereng.
Itulah kesibukan baru di pesisir selatan Lumajang kini. Kabupaten di tenggara Pulau Jawa yang dikenal sebagai Kota Pisang itu kini menyandang gelar baru sebagai "Iron City". Kawasan pantai selatan Lumajang dan daerah sekitarnya konon memiliki deposit pasir besi terluas dan terbanyak di Indonesia. Gumuk pasir besi itu menghampar sepanjang pesisir selatan seluas 60 ribu hektare. Potensinya lebih dari satu juta ton. "Kualitasnya juga paling baik," kata Kepala Bagian Perekonomian Kabupaten Lumajang Nurul Huda.Â
Hasil survei memperkirakan kadar besinya mencapai 40-60 persen, dengan kadar titanium kurang dari 8 persen. Angka yang membuat banyak investor berlomba-lomba segera mengeruknya. "Kalau banyak mengandung titanium, pembeli kurang suka," kata M.J. Isnanto, direktur perusahaan tambang PT Padmanaba Putra Mandiri. Ia membandingkan pasir besi Cilacap yang kurang dilirik karena kadar titaniumnya terlalu tinggi.
Satu dekade lalu, PT Aneka Tambang melakukan eksploitasi 504 hektare lahan di Wotgalih, Lumajang. Hanya bertahan sebentar tambang itu ditinggalkan, menyusul pasar pasir besi waktu itu yang lesu. Perusahaan pelat merah itu memilih berfokus pada emas dan mineral lainnya, sementara tambang besi diserahkan kepada anak usahanya, PT Antam Resourcindo, yang kemudian pada 2008 menggandeng investor lokal, Padmanaba Groups, sebagai operatornya.
Tapi hingga saat ini Padma belum berani menyentuh Wotgalih lagi, menyusul penolakan keras dari warga sekitar. Masyarakat merasa keberadaan tambang tidak memberikan banyak kemaslahatan. Selain itu, tidak ada reklamasi. Antam (1998-2004) meninggalkan begitu saja lubang-lubang besar di pesisir, yang tidak hanya merusak pandangan tapi juga mengundang abrasi.
"Sementara Wotgalih belum digarap, kami produksi dulu di Jember," kata Bambang Pramukantono, Presiden Direktur Padmanaba Groups. Bambang punya izin tambang 496 hektare di wilayah Kabupaten Jember. Area ini dengan Wotgalih hanya dipisahkan oleh Sungai Bondoyudo. Total perusahaan mengelola 1.000 hektare dengan produksi 30 ribu ton per bulan. Harga pasir besi sedang moncer. Pada 2009 hanya dihargai US$ 25 per ton, tapi sekarang Cina, Korea, dan Jepang berani membeli US$ 75 per ton (free on board).
Satu lagi pemodal yang mendapat izin eksplorasi dan eksploitasi PT IMMS. Menurut Agus Amir, perusahaannya merupakan konsorsium 15 investor (termasuk pemodal Cina) dalam eksplorasi lahan seluas 8.000 hektare tambang mineral galian B di Lumajang, dari sisi timur Kecamatan Yosowilangun hingga Kecamatan Tempursari.
Mereka kini berniat membangun pabrik baja dengan nilai investasi hingga Rp 3 triliun. Itu menyusul Peraturan Menteri Energi Nomor 7 Tahun 2012, yang mewajibkan semua pemilik izin tambang melakukan proses pengolahan, tak boleh lagi mengekspor bahan mentah. "Kami akan membangun beberapa smelter, dengan modal minimal per smelter Rp 50 miliar," kata Agus.
Ihwal rencana pendirian pabrik pengolahan pasir besi, pemerintah Lumajang berharap segera ada realisasi. "Rencananya memang ada. Namun masih belum jelas berapa yang diinvestasikan. Proposalnya saja belum masuk," kata Nurul Huda. Sumber Tempo menyebutkan lokasi pabrik masih jadi rebutan. Ada dua opsi lokasi pendirian pabrik pengolahan pasir besi—yang diklaim sekelas PT Krakatau Steel—yakni di pesisir selatan Lumajang atau di Paiton, pesisir utara Kabupaten Probolinggo. Pemerintah Provinsi merekomendasikan Paiton.
Hal yang sama dilakukan Padmanaba, yang memilih membangun smelter di Banyuwangi. Bambang Pramukantono beralasan, Banyuwangi dipilih karena alasan efisiensi. "Pabrik itu tak cuma pasang mesin, tapi terintegrasi dengan handling system. Bicara tentang transportasinya, man power, utility management. Semua harus terintegrasi," kata Ketua Asosiasi Pertambangan Kadin Jawa Timur ini.Â
Hitungan kasarnya, dengan kapasitas produksi saat ini, truk-truk pengangkut harus jalan setiap lima menit. Bisa dibayangkan berapa besar biaya operasionalnya, belum lagi infrastruktur jalan dan lainnya. Lebih murah menyiapkan jetty di tepi pantai, yang lantas dengan tongkang diangkut menuju pelabuhan di Banyuwangi. Terlebih, kata Bambang, Banyuwangi memang menjadi titik sentral transportasi pasir besi Indonesia timur. Bukan hanya dari Jawa Timur, pasir besi dari Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat transitnya di sini.
Lumajang sebagai pemilik sumber daya alam terancam cuma jadi penonton. Karena itulah mereka berharap pabrik pengolahan bisa dibangun di Lumajang, agar daerah memperoleh manfaat. Nurul Huda menyatakan persaingan bisnis sangat terbuka. Apalagi sejumlah investor besar sudah antre untuk bisa menambang gumuk pasir di pesisir selatan Lumajang itu. Dengan bahasa halus, pemda bisa saja memberikan izin ke perusahaan lain. "Hanya, saat ini Pemerintah Kabupaten masih menyetop mengeluarkan izin usaha baru," kata Nurul.
Ia juga menyebutkan masih adanya perlawanan penduduk lokal terhadap rencana penambangan karena alasan lingkungan. Pendapat yang melandasi penolakan itu, kata Nurul, sah-sah saja. "Lha wong pendapat, ya silakan saja," katanya. "Tinggal bagaimana pendekatan yang dilakukan pengusaha dengan pemilik lahan."
Agus Supriyanto | David Priyasidharta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo