Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Awalnya ada sekitar 50 pelukis jalanan di Kota Tua, kini tinggal 20-an.
Pandemi menghantam para pelukis jalanan.
Selain pandemi, ancaman datang dari penutupan akses akibat pembangunan MRT.
Bagong Surono sedang duduk menatap layar gawai ketika Tempo menghampirinya pada Senin, 27 Februari 2023. Di sekelilingnya, terpajang beragam lukisan, baik hitam-putih maupun warna-warni. Lukisan wajah tokoh terkenal, seperti Jean Paul Sartre, Nietzsche, hingga Chairil Anwar, digantungnya di dinding beton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu menunjukkan pukul 16.00 kala itu. Sesekali, ia menyeruput kopi yang diletakkan di bangku kecil bersama sebungkus kretek. Setelah beberapa helaan asap rokok, ia menuturkan alasan mengapa hanya duduk santai, "seharian belum ada pelanggan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surono merupakan pelukis yang menggelar dagangan di emperan ruko dekat Kota Tua. Tak sulit menemukan lokasi lapaknya. Hanya perlu berjalan kaki sejauh 300 meter dari Stasiun Jakarta Kota. Ia berangkat dari rumahnya di Pademangan, Jakarta Utara, pada pukul 09.00 dan kembali pukul 17.00.
Dia tak sendiri. Pria yang tergabung dalam kelompok pelukis Perspektif itu ditemani sekitar sepuluh pelukis lainnya yang menggelar dagangan berjejer di emperan yang sama.
Sejak 2007, ia sudah menjadi pelukis di sana. Mulanya, ada 50 orang yang menjadi anggota komunitas lukis Kota Tua tersebut. Mereka melapak dagangannya di sepanjang ruko jalan Kota Tua menuju kawasan Glodok. “Sekarang tinggal 10-20 orang,” kata dia.
Lapak-lapak itu mulai ditinggalkan sejak pandemi melanda. Ketika gelombang Covid hampir mereda dan pembatasan dilonggarkan, pemerintah kota membangun stasiun Mass Rapid Transit (MRT) tepat di depan ruko tempat ia meletakkan dagangan.
“Dulu di sini ramai, penjual, pembeli juga,” kata Surono. Galeri pinggir jalan itu kini tersembunyi di balik pagar sementara proyek MRT. Ia juga harus berbagi trotoar dengan sepeda motor milik para pekerja proyek yang terparkir.
Ari Budaya, pelukis di Blok M Plaza. Tempo/Ilona Esterina Piri
Ketika berbincang, suara alat berat saling bersahutan dengan knalpot sepeda motor dan Bajaj yang lewat bergantian. Surono mengatakan sejauh ini ia hanya berfokus menjajakan karya di lokasi itu meski platform digital mulai beragam. Ia mengaku lebih berharap pada pelanggan tetap serta orang yang lewat dan tertarik dengan goresan-goresan warna di kertas serta kanvas buatan tangannya.
“Pernah mencoba jual di Twitter, tapi hanya laku satu-dua,” kata dia. Instagram pribadinya yang diharap mengangkat jumlah penjualan gambar dan lukisannya juga tidak membantu. “Malah enggak laku. Mungkin karena sudah banyak yang bagus-bagus.”
Pandemi, pembangunan MRT, hingga pesatnya perkembangan digital dia sebut berpengaruh terhadap penurunan jumlah pembeli lukisannya. Untungnya, Surono mempunyai pelanggan tetap yang menyimpan nomor kontaknya. “Kalau mereka mau pesan, tinggal menghubungi,” kata dia. Pelanggan yang datang tak menentu, terkadang satu atau dua dalam seminggu.
Untuk lukisan, pelukis jalanan itu menghargai Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. “Sketsa bisa lebih murah,” kata dia.
Para pelanggan tetap didominasi oleh mereka yang berusia 40 tahun ke atas. “Anak muda biasanya lebih tertarik pada karikatur,” ujar Surono.
Muhammad Shobir, 59 tahun, merasakan hal yang sama. Ia tidak mencoba menjual lukisannya di lokapasar dengan alasan gaptek. Ia sempat menjajal media sosial pribadi, seperti Facebook dan Instagram, tapi tidak dilanjutkan. “Banyak yang lebih bagus-bagus dijual di situ,” kata dia.
Kini, pelukis yang berkarya di jalanan sejak 1999 itu hanya berharap pada pelanggan tetap dan pengunjung yang lewat. Warga Citayam ini mengatakan, meski pembeli berkurang, ia merasakan kebutuhan hidupnya masih tercukupi dari hasil menjual jasa melukis tersebut.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo