Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sejumlah penerbit indie menilai pembajakan buku merupakan masalah terbesar mereka.
Lemahnya pengawasan pemerintah dan platform pasar digital membuat praktik pembajakan terus subur.
Rendahnya kesadaran masyarakat menghindari buku bajakan ikut merugikan penerbit indie.
SEJUMLAH penerbit buku indie mengaku resah atas masifnya peredaran buku bajakan. Menurut mereka, aksi pembajakan buku menjadi momok terbesar dalam dunia penerbitan, termasuk bagi penerbitan buku yang berkategori independen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerbit indie asal Bantul, Basabasi, mengaku pernah beberapa kali menjadi korban pembajakan buku. Salah satunya adalah buku berjudul Aristoteles Retorika Seni Berbicara pada beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editor penerbit Basabasi, Reza Nufa, mengatakan buku bajakan menggembosi penjualan buku asli. Bahkan penjualan buku bajakan kerap lebih besar ketimbang aslinya. Maklum, buku palsu itu dijual dengan harga jauh lebih murah.
Menurut dia, perwakilan penerbit Basabasi pernah menegur para pembajak buku. Bahkan, aksi serupa pernah dilakukan secara kolektif bersama penerbit buku lain. "Tapi hasilnya nihil. Satu pembajak hilang, lahir dua lainnya," kata Reza ketika dihubungi, Jumat, 23 Agustus 2024.
Pengalaman miris juga pernah dialami pendiri penerbit Komunitas Bambu. JJ Rizal, pendiri penerbitan itu, pernah disodori buku berlabel Komunitas Bambu untuk ditandatangani. Dia segera mengenali buku itu adalah barang palsu. Mirisnya, ketika diberi tahu, sang pemilik berkeras mengatakan bukunya asli. Alasannya, ia membeli buku itu dari toko tepercaya di salah satu marketplace.
"Masih banyak pembaca kita yang tidak bisa membedakan buku asli dan bajakan. Bahkan ada yang berpikir semua buku yang dicetak itu asli," kata Rizal kepada Tempo di kediamannya di kawasan Beji, Depok, Jawa Barat, pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Buku "Mustikarasa Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno" terbitan Komunitas Bambu di Beji, Kota Depok, Jawa Barat, 23 Agustus 2024. TEMPO/ Nita Dian
JJ Rizal memberikan contoh lain, yakni buku Mustikarasa Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Buku tersebut mulanya dicetak oleh Kementerian Pertanian pada 1967, lalu pada 2016 dicetak ulang oleh Komunitas Bambu. Buku setebal 1.123 halaman itu berisi sekitar 1.600 resep masakan nusantara.
Komunitas Bambu menjual kitab tersebut seharga Rp 400 ribu. Namun, di berbagai marketplace buku bajakannya bisa dibeli seharga kurang dari Rp 200 ribu. "Buku bajakan Mustikarasa bisa terjual lebih dari 800 eksemplar dalam setahun," kata sejarawan Universitas Indonesia itu.
Rizal menyesalkan pengabaian masalah ini, baik oleh pemerintah maupun platform pasar digital. Padahal keberadaan pembajakan buku ibarat lintah yang bisa menyedot energi dan keberlangsungan para penerbit resmi. Lebih-lebih penerbit indie yang modalnya tak sekuat penerbit besar.
Karena itu, Rizal berharap pemerintah bergerak menindak para pelaku pembajakan buku. Aksi nyata diperlukan untuk melindungi keberlanjutan usaha para penerbit, termasuk golongan indie yang menyajikan bacaan alternatif dengan menomorduakan keuntungan.
Rizal cemburu melihat industri film dan musik yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Ia menyebutkan beberapa kementerian dan lembaga yang menaruh perhatian serta bantuan kepada industri film dan musik. "Padahal industri buku tujuannya juga mulia, mencerdaskan bangsa," katanya.
Rizal juga meminta penyedia marketplace lebih menaruh perhatian pada produk yang beredar di pasar mereka. Caranya, dengan tidak memberi ruang pada penjual buku bajakan.
Gudang penerbitan Komunitas Bambu di Beji, Kota Depok, Jawa Barat, 23 Agustus 2024. TEMPO/ Nita Dian
Satu suara dengan Rizal, Penerbit Qaf berharap penyedia marketplace bisa bekerja sama untuk memberantas para pelaku pembajakan buku. Sejauh ini Qaf melaporkan sejumlah akun yang menjual buku bajakan dari produk mereka. "Kami berharap pemerintah atau pihak terkait, seperti Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), lebih maksimal memberantas pembajakan buku," kata Kepala Marketing Penerbit Qaf Muhammad Thoyyib kepada Tempo, Jumat, 23 Agustus 2024.
Ketua Ikapi Arys Hilman Nugraha menyebutkan maraknya pembajakan buku terjadi pada semua lini, dari penerbit mayor, indie, sampai pribadi. Menurut Arys, suburnya pembajakan buku di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kesadaran tentang hak kekayaan intelektual. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tapi juga di kalangan terdidik dan pemerintah.
Arys juga menyebutkan platform pasar daring terlalu permisif terhadap penjualan buku bajakan. "Sehingga ikut menyediakan ekosistem yang tidak sehat," katanya kepada Tempo.
Menurut dia, para pelaku pembajakan buku selalu menggunakan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 untuk berkelit dari delik hukum serta cukup menarik buku bajakan yang diadukan penerbit. "Kebijakan semacam ini tidak mendidik masyarakat untuk menghargai hak ekonomi para pencipta yang melekat pada setiap karya ciptanya," ujar Arys.
Adapun Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 menggolongkan pembajakan ke dalam delik aduan. Walhasil, jika pemilik hak cipta buku tidak mengadukan kasusnya, boleh dibilang tak ada kejahatan.
Menurut Arys, situasi ini memberatkan penerbit, terlebih penerbit indie yang tidak memiliki kekuatan ekonomi dan energi yang besar untuk secara terus menurun memantau pembajakan buku. "Apalagi membawanya ke ranah hukum," katanya.
Sampul buku “Bisik Bintang” karya Naguib Mahfouz terbitan Marjin Kiri (kiri) dan Sampul buku “Kampung” karya Naguib Mahfouz terbitan Basabasi. Dok. Marjin Kiri, Basabasi
Ronny Agustinus, pendiri Penerbit Marjin Kiri, keberatan dengan pernyataan Penerbit Basabasi tentang ancaman pembajakan buku untuk para penerbit indie. Ronny mengatakan Basabasi menerbitkan Whisper of Stars secara ilegal. Sebab, hak penerbitan novel karya Naguib Mahfouz dari Mesir itu dipegang oleh Marjin Kiri.
Tempo berupaya mewawancarai Ronny Agustinus, namun dia menolak dengan alasan sudah membuat surat terbuka soal sengketa lisensi tersebut. Pada 10 Agustus lalu, Ronny menulis di media sosialnya soal penerbitan ilegal oleh Basabasi.
Dalam pernyataannya itu, Ronny mengatakan mendapat permintaan maaf dari editor Basabasi yang mengaku teledor dalam penerbitan buku Naguib Mahfouz. "Saya menjawab bahwa saya tidak percaya ini keteledoran. Penerbitan tanpa izin resmi oleh penerbit ini sudah di call-out berulang kali oleh banyak pihak dan kasus serupa sudah pernah terjadi sebelumnya dengan kami," kata Ronny. Perwakilan dari Penerbit Basabasi tidak memberikan pernyataan ketika dikonfirmasi oleh Tempo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Catatan Redaksi: Tempo memperbarui artikel ini dengan menambahkan keterangan soal keberatan Ronny Agustinus, pendiri penerbit Marjin Kiri, di tiga alinea terakhir pada Ahad, 25 Agustus 2024 pukul 18.55 WIB.