BONEKA DARI INDIANA Pemain: Meriam Bellina, Didi Petet, Lidya Kandouw, Eeng Saptohadi Sutradara/Skenario: Nya' Abbas Akup Produksi: Parkit Film EGI (Didi Petet) takluk pada istrinya (Lidya Kandouw). Karena ia merasa mendapat hidup dari mertuanya yang konglomerat. Ia jadi boneka, yang harus menurut, mesti selalu bilang ya. Kehadiran seorang tetangga cantik, Eya (Meriam Bellina), membuat istrinya cemburu buta. Egi sempat dikunci dalam kamar, karena ditakutkan akan main belakang. Tapi justru karena dikekang, Egi menerobos genting rumah dan bertandang ke tetangga dengan santai. Tetangga lain meneror dengan mengirimkan potret Egi bersama Eya. Istri pun naik pitam dan lapor pada orangtua (Ami Prijono dan Ida Kusuma). Anehnya, sang mertua malah meminta Egi meneruskan hubungan gelap guna mendapatkan surat izin penampungan limbah berbahaya dari luar negeri. Karena wanita di sebelah itu adalah peliharaan seorang babe gede (Bob Sadino). Akhirnya Egi berhasil mendapatkan izin. Tetapi ketika mertuanya bergembira-ria dan tidak menghiraukan pesan bahwa limbah itu bisa berbahaya pada masyarakat, Egi terpanggil. Ia naik ke kursi dan merobek surat itu. "Saya sudah bosan disuruh-suruh dan mengatakan ya," katanya, lalu pergi. Demikianlah pemberontakan Nya' Abbas Akup (almarhum) dalam filmnya yang terakhir: Boneka dari Indiana. Sebuah film yang bertaburan sentilan halus pada kehidupan sosial, tetapi juga lucu. Kali ini yang ditembak adalah kelas pemburu duit dengan tokoh-tokoh yang karikatural. Sambil memamerkan Egi sebagai simbol boneka Indonesia yang hanya pintar mengangguk-angguk. Almarhum juga menampilkan tokoh-tokoh sampingan yang merupakan fenomena sosial. Karikatur pelayan yang berontak dari kaidah umumnya pelayan. Ia tampil genit dan pecicilan. Seakan berebut fokus dengan majikannya yang menjadi peran utama. Muncul juga tokoh pegawai menengah (Eeng Saptohadi) yang suka membohongi istri dan kencan dengan orang lain. Tapi satu saat KO karena istrinya membalas telak: pulang larut dengan alasan persis sebagaimana yang biasa diucapkan suaminya. Nya' Abbas lewat film ini terasa meledak. Ia tak dapat lagi menahan diri untuk tidak menyemburkan semuanya. Tetapi, sementara itu, humornya tak kehilangan gigitan. Setiap ada peluang, tak henti-hentinya ia menampilkan anekdot-anekdot kecil yang jeli. Tentang si konglomerat yang mengeluh terhadap anak muda yang dianggapnya sudah tidak bermoral lagi, sementara di tangannya tergeber majalah Playboy. Contoh yang khas almarhum: ketika Egi mencatat pesan-pesan istrinya di telapak tangan. Setelah seabrek pesan, Egi memperlihatkan catatan itu pada penonton: ternyata gambar kepala yang bagai menyala-nyala. Kita langsung teringat film Mat Dower, ketika tokoh yang dimainkan S. Bagio memperlihatkan peta yang sedang dibacanya: ternyata hanya sobekan teka-teki silang. Sejak Tiga Buronan, Mat Dower, Bing Slamet Koboi Cengeng, Inem Pelayan Seksi, Rumah Susun, dan kini Boneka, Nya' Abbas teguh pada kubunya. Ia menampilkan gagasan -- yang terpenting dalam sebuah film adalah gagasan. Ide. Masyarakat adalah sumber dan sekaligus sasaran, karena itu filmnya jadi komunikatif. Dikemas dengan anekdot-anekdot, kritik yang jeli dan tajam itu menjadi ramah. Mampu mendarat baik pada masyarakat bawah maupun atas. Buat saya, ini hebat. Karena biasanya, bila orang tak jelas memihak, risikonya bisa fatal. Ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, almarhum diterima. Seperti yang diucapkan oleh K.H. Zainuddin M.Z., yang berceramah sebelum acara preview Boneka ini, Ahad pekan lalu, Nya' Abbas Akup adalah seorang penari yang lihai merespons suara gendang. Ia tahu situasi. Ia melenturkan dialognya sehingga teradaptasi oleh situasi, tanpa bisa dicap sebagai pelacuran. Almarhum adalah seorang pemberontak yang santun. Kritiknya keras dan lantang tetapi penuh seloroh dan hangat. Dalam Boneka, Nya' Abbas memperlihatkan betapa rakusnya manusia memburu uang. Tak peduli limbah dapat merusakkan kehidupan (digambarkan dengan anak sekolah dan bayi yang terpaksa pakai masker) asal bisa membuat lebih kaya. Lewat Egi, Nya' Abbas memekikkan kebebasan. Cabut dari kehidupan mengangguk itu. Orang harus berani mengambil risiko dan memilih jalan yang dibenarkan oleh hati nuraninya. Almarhum mengakhiri filmnya dengan optimistis. Manusia yang gemar mengangguk itu pada suatu saat akhirnya akan merdeka dan bebas. Masalahnya hanya soal waktu. Sayang sedikit, cerita sampingan yang sebenarnya justru menambah warna gebrakan ini sempat mengganggu karena banyak pemain kurang terkontrol. Tokoh pelayan, misalnya, bermain amat mentah. Memang ada pemain berkelas seperti Didi Petet, Meriam Bellina, Lidya Kandouw, dan Eeng. Mereka sebenarnya sebuah tim yang kuat. Tetapi almarhum ketika mengerjakan film ini agaknya begitu memanjakan ide-idenya yang datang deras dan tak sempat memperhatikan pertukangannya. Maklum, kondisi fisiknya tidak seprima ketika ia menghasilkan Inem Pelayan Seksi. Film ini tidak untuk dinilai, tetapi dinikmati sebagai peninggalan terakhir almarhum. Sebagai sebuah dialog, ia utuh, lantang, memikat, dan amat khas Nya' Abbas. Hal itu membuat kita merasa bertambah kehilangan lagi. Seorang pengamat sosial yang mampu menyampaikan kritik dengan senyum tapi "membunuh" telah tiada. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini