Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pintu Galeri Nasional Masih Tertutup untuk Yos Suprapto

Pembukaan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional dibatalkan. Ada ketidaksepakatan antara Galeri, seniman, dan kurator.

 

21 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Yos Suprapto menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”.

  • Pembukaan pameran tersebut batal dilakukan karena ada ketidaksepakatan antara galeri, seniman, dan kurator soal lukisan tentang Jokowi.

  • Pihak Galeri Nasional membantah bahwa penundaan pameran itu sebagai pembredelan.

PAMERAN tunggal perupa senior Yogyakarta, Yosef “Yos” Suprapto, bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”, yang diharapkan akan menjadi pameran penting pada Desember ini, ternyata tidak jadi berlangsung. Penyelenggaranya, Galeri Nasional Indonesia, menyebutnya “ditunda”. Yos menyebutnya “disensor”. Padahal, sekitar 30 lukisan plus sebuah instalasi sudah dipajang di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada Kamis, 19 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedianya pameran dibuka pada pukul 18.30 hari itu. Sekitar 60 pengunjung sudah berada di Ruang Serbaguna Galeri Nasional, tempat upacara pembukaan akan dilangsungkan. Mengapa hanya sekitar 60 orang untuk sebuah acara yang diharapkan dihadiri 150 orang sesuai dengan kapasitas ruang? Rupanya, sekitar pukul 18.00 ada pemberitahuan melalui WhatsApp dari panitia bahwa pembukaan ditunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran itu digadang-gadang oleh panitia akan menyadarkan kita untuk mengembalikan kondisi lahan yang rusak akibat pupuk sintetis untuk bisa kembali ditanami padi. “Dengan demikian, upaya meraih kedaulatan pangan tercapai,” kata Jarot Mahendra, Penanggung Jawab Unit Galeri Nasional Indonesia, pada Jumat, 20 Desember 2024.

Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, melihat lukisan Yos Suprapto selalu mengandung pemikiran yang menarik dan didukung oleh “riset yang memadai”. Untuk pameran yang dikurasinya ini, cetusan pemikiran Yos relevan dengan tajuk yang disepakati, yakni “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”.

Menurut Yos, karya-karyanya itu dibuat berdasarkan riset selama 15 tahun tentang lahan yang rusak oleh pupuk sintetis, tapi sesungguhnya lahan tersebut masih bisa diperbaiki dengan kebijakan lokal. Pameran ini, kata dia, mencerminkan hal itu dan dengan demikian kedaulatan pangan bisa tercapai karena lahan yang bisa ditanami dengan hasil yang bagus meluas. “Dengan tercapainya kedaulatan pangan, kita bisa menjadi bangsa yang besar,” kata Yos pada Jumat, 20 Desember 2024.

Tapi, sebagaimana sudah disebutkan, harapan ketiga pihak tersebut tidak terwujud karena pameran tak kunjung bisa ditonton publik. Pintu Galeri Nasional terkunci dan menunggu “ada kesepakatan antara kurator dan senimannya”.

Pada hari pembukaan, sejak siang sampai sore berlangsung pertemuan antara Suwarno, Yos, dan pihak Galeri Nasional. Ini gara-gara dua-tiga hari sebelumnya Suwarno mengundurkan diri sebagai kurator. Ketika itu 30-an lukisan sudah terpajang di Gedung A Galeri Nasional, tempat seharusnya pameran berlangsung. Suwarno melihat ada dua lukisan yang merupakan opini pelukisnya tentang “praktik kekuasaan” dan lukisan ini dia nilai tidak sesuai dengan tema pameran yang soal kedaulatan pangan.

Yos, pencipta lukisan tersebut, sulit menerima tafsir kurator. Sebab, menurut Yos, perubahan benih padi, cara menanam, juga adanya pupuk sintetis untuk mengejar panen yang cepat tapi berakibat rusaknya lahan itu tak mungkin terjadi tanpa cawe-cawe kekuasaan. Singkat kata, dua lukisan tersebut juga relevan dengan tema pameran.

Mudah ditebak. Tidak terjadi kesepakatan antara kurator dan senimannya. Namun kedua pihak ternyata bisa berkompromi. Dua lukisan itu akan ditutup dengan kain hitam. Namun, kurator, menurut Yos, ketika itu sudah menyatakan akan mengundurkan diri sebagai kurator pameran ini.

Lalu Galeri Nasional berinisiatif mengadakan pertemuan dengan harapan bisa menjembatani ketidaksepakatan antara seniman dan kurator. Yang terjadi, bukan hanya dua lukisan yang diminta ditutup kain hitam, melainkan lima. Yos mempertanyakan tambahan tiga lukisan yang diusulkan untuk ditutup itu, tapi tidak ada jawaban. Pada saat itu kurator sudah menyatakan mengundurkan diri secara resmi karena dalam pertemuan ini hadir pihak Galeri Nasional, yang dulu menyodorkan kurator kepada seniman.

Meski demikian, dua jam menjelang rencana pembukaan pameran, pertemuan yang tanpa dihadiri kurator itu mencapai suatu kompromi. Sebagai “solusi”, lima lukisan itu akan ditutup kain hitam ketimbang diturunkan. Tambahan “solusi”, setelah pembukaan akan digelar diskusi tentang kelima lukisan tersebut.

Yang terjadi kemudian, setelah lewat dari waktu pembukaan yang sudah disepakati, pintu Gedung A Galeri Nasional tetap tertutup dan dijaga satuan pengamanan. Eros Djarot, sutradara film yang seharusnya membuka pameran itu, menelepon Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menyampaikan masalah ini. Menurut Eros, Fadli sedang berada di Padang dan belum memberikan perintah apa pun kepada Kementerian Kebudayaan perihal pameran Yos.

Esoknya, Jumat, 20 Desember 2024, Menteri Fadli menyatakan kepada wartawan bahwa, tanpa kurator, pameran tak bisa digelar. Dia juga mengaku mendapat informasi bahwa ada lukisan yang “vulgar” di situ. Dan pintu Gedung A tetap terkunci.

Pelukis Yos Suprapto memberikan keterangan pers soal pameran tunggalnya yang bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” batal diselenggarakan, di Gedung Galeri Nasional, Jakarta, 20 Desember 2024. TEMPO/Subekti

“Saya sampaikan kembali, kami menunggu seniman dan kurator. Semoga mereka segera berkomunikasi dengan sebaik-baiknya,” kata Zamrud Setyanegara, Ketua Tim Museum dan Galeri Indonesian Heritage Agency, di Galeri Nasional Indonesia pada Jumat, 20 Desember 2024.

Menurut Zamrud, Galeri Nasional mempercayai seniman dengan rekam jejak kekaryaan dan kurator yang mempunyai pengalaman. Galeri Nasional juga memfasilitasi pameran ini sejak awal, termasuk mengunjungi studio dan membuat video untuk kelengkapan karya. Menurutnya, tema pameran itu bagus dan didukung riset yang kuat.

Zamrud juga menyatakan bahwa ia menghargai kerja kurator Suwarno Wisetrotomo dan kuratorialnya dalam persiapan pameran tersebut. Kurator dan seniman sudah intensif berkomunikasi, tapi di tengah persiapan itu mereka tidak mencapai kesepakatan mengenai karya yang akan ditampilkan. Dia berharap keduanya bisa kembali berkomunikasi dan bersepakat sehingga pameran bisa dibuka untuk umum.

Zamrud membantah bahwa penundaan pameran itu sebagai pembredelan. Menurut dia, syarat pameran yang baik tentu didampingi kurator, sehingga misinya tercapai sesuai dengan kesepakatan awal. “Bukan pembredelan, melainkan menunda pembukaan dan pelaksanaan pameran. Pameran tetap dilaksanakan dengan syarat silakan dibenahi dulu komunikasi dengan kurator, diperbarui dari awal, sebenarnya konsepnya seperti itu,” tuturnya. Zamrud juga menjelaskan bahwa Galeri Nasional tidak menurunkan karya-karya Yos yang telah terpasang di Gedung A yang sedianya akan berlangsung selama 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025.


***

YOS Suprapto lahir di Surabaya, 26 Oktober 1952. Kepintaran menggambar potret membuat dia kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri, Yogyakarta, pada 1970-1974. Kuliahnya tidak tuntas karena meletus peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974, unjuk rasa besar mahasiswa yang memprotes kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Saat itu Jepang dianggap mewakili modal asing yang menguasai perekonomian Indonesia. Yos disebut-sebut sebagai salah satu provokator Malari, sehingga dicari aparat keamanan. Teman-temannya kemudian membantu menyelamatkannya untuk kabur ke Australia.

Yos muda, yang juga menyukai musik, memang sudah tertarik pada masalah sosial-politik dan budaya. Sebelum peristiwa Malari, Yos sangat peduli pada peristiwa 1965, pembantaian anggota atau yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ia pernah menyatakan bahwa jumlah korban kekejaman penjajah Belanda kalah banyak dibanding korban pembantaian setelah peristiwa G30S. Penyandang gelar master bidang sosiologi budaya dari Southern Cross University di Lismore, New South Wales, Australia, ini menulis disertasi tentang “tumpas kelor” setelah G30S.

Kepeduliannya kepada korban dan masyarakat tertindas tecermin dalam lukisan-lukisannya. Lukisannya biasanya bertema sekitar keadilan, penindasan, dan korupsi yang mengusik ketentraman kita. Itu semua direpresentasikan dengan figur-figur gundul dengan garis meliuk-liuk.

Yos ikut aktif membuat sampul Suara Independen, majalah bawah tanah yang dibikin para aktivis dan jurnalis setelah majalah Tempo dibredel pada Juni 1994. Ia kembali ke Indonesia pada 2000.

Pamerannya di Galeri Nasional ini bukan yang pertama kali. Pada 2001, ia diundang oleh Kepala Galeri Nasional Watie Moerany untuk berpameran tunggal bertema "Barbarisme, Pengalaman Anak Bangsa". Pada 2017, di tempat yang sama dia menggelar pameran ”Arus Balik Cakrawala”.

Selain masalah sosial, politik, dan budaya, Yos memperhatikan masalah ekologi. Pameran pertamanya di Jakarta digelar di Taman Ismail Marzuki pada 1994 dengan tajuk “Bersatu dengan Alam”. Hal “alam” inilah yang juga tecermin dalam pamerannya pada 2017 yang menggambarkan Indonesia sebagai negeri bahari dan rencana pameran pada tahun ini, yang batal itu, mengangkat tema tentang lahan yang kerontang karena salah urus oleh pupuk sintetis. Meskipun bertema ekologi, tetap ada kritik sosial dalam karyanya.

Salah satu lukisannya pada 1994 yang hari-hari ini sering disebut adalah Tangga-tangga. Lukisan itu menggambarkan tumpukan figur hijau yang dijadikan anak tangga oleh figur oker kemerahan yang naik menjadi penguasa. Lukisan itu kembali disebut-sebut karena, menurut Yos, mirip salah satu lukisan yang akan dipamerkan pada tahun ini tapi diminta diturunkan.

Lukisan itu juga yang jadi alasan Yos untuk tetap mempertahankan lukisannya dipamerkan. Menurut dia, mengapa dulu Tangga-tangga aman-aman saja dipamerkan, sedangkan Konoha II dimasalahkan, padahal dulu Tangga-tangga dipamerkan pada masa Presiden Soeharto—masa ketika kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi. “Apakah sekarang lebih dibatasi?” tanya Yos.

Penderitaan dan sejenisnya dalam lukisan Yos tampak dari figur-figur yang meliuk tidak nyaman. Tubuhnya melengkung, wajahnya tertekuk, dan mulutnya melolong. Siapa pun kurator pameran Yos semestinya sudah menyadari kecenderungan ini dan bersiap melihat figur-figur yang tidak cantik, tak nyaman, dan dalam posisi yang “sulit”. Maka, ada batas tipis pada lukisan Yos antara pornografi dan masalah seksual, kevulgaran, serta bentuk yang buruk.

Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bambang Bujono

Bambang Bujono

Kurator dan penulis ulasan seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus