Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sutan Takdir Alisjahbana pernah menyindir puisi ala pantun dan syair sebagai dreun, ulangan bunyi tiada bermakna.
Sastra Melayu lama itu punya daya hidup yang melampaui zaman.
Pada abad ke-19, syair, pantun, dan gurindam telah menjadi satu bentuk yang mapan.
Pengantar Redaksi
Pantun kini makin populer di kalangan pejabat. Dalam setiap pidato mereka, para pejabat tak lupa menyelipkan pantun, terutama pada awal dan akhir pidato. Tak hanya itu, kegiatan-kegiatan pantun pun makin sering diadakan. Terbaru adalah Festival Pantun Nusantara di Taman Indonesia Indah pada 21-22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena ini menarik perhatian. Untuk itu, Tempo mengundang para penulis untuk mengupas berbagai aspek pantun. Tulisan pertama berjudul Pantun, Cakeeep... oleh Yahya Andi Saputra kami turunkan pada 11 Januari 2025. Tulisan Hasan Aspahani, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2023-2026, berikut ini merupakan ulasan kedua tentang pantun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja ini bukan yang terakhir. Kami membuka ruang bagi para sastrawan, budayawan, praktisi, akademikus, dan peneliti untuk menulis berbagai aspek tentang pantun dalam konteks kekinian. Tulisan bisa dikirim ke alamat e-mail [email protected]. Setiap tulisan yang masuk akan kami seleksi dengan cermat dan yang dimuat akan mendapat sedikit imbalan. Panjang tulisan 7.000-8.000 karakter, sertakan biodata singkat, foto diri, nomor kontak, nomor rekening, dan NPWP (jika ada).
PADA 1934, dalam majalah Pujangga Baru, Tahun II No. 5, Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengatakan selamat tinggal untuk pantun. Tapi, beberapa tahun kemudian, dia mengoreksinya. Ia menulis dalam Puisi Indonesia Zaman Baru, ".... oleh terbebasnya perasaan dari segala ikatan alam kongkongannya dalam puisi Indonesia yang baru, tak adalah tempat lagi bagi pantun-pepatah, bagi syair berukuran dan bertakaran yang penuh dengan kata, kiasan, dan sajak yang pucat-lesi tiada berdarah itu".
Takdir menyindir puisi ala pantun dan syair sebagai dreun, ulangan bunyi yang tiada bermakna. Takdir lantas menunjuk karya Amir Hamzah sebagai puisi baru yang lepas luncas dari jebakan dreun itu. Takdir tampaknya mengambil istilah itu dari bahasa Belanda, yang berarti suara berdentum atau bunyi berdengung berulang-ulang, seperti suara gemuruh atau gema, atau irama atau ketukan yang monoton dan berulang-ulang.
Puisi Amir yang dikutip Takdir adalah "Berdiri Aku". Kita kutip bait kedua:
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun alun di atas alas?
Apa bedanya puisi Amir dengan pantun? Sekilas, secara fisik, sama saja. Ritme dan rimanya sama. Takdir menekankan pada "jiwa baru", puisi baru, harus "menjelmakan perasaan orang". Kini terasa bagi saya Takdir terlalu bersemangat untuk mendesakkan kebaruan. Pilihannya pada soneta yang dicomot dari angkatan 1980-an di Belanda sebenarnya berusia sama atau lebih tua.
Sebelumnya, “gugatan” pada pantun itu juga dilancarkan oleh Armijn Pane. Ia menulis "...kami akui keindahan pantun dan syair, gurindam, tetapi tempatnya ialah zaman yang lalu. Dalam zaman ini tiada pada tempatnya! Begitulah dengan tegas dan lantang Armijn menutup tulisannya, "Sonnet dan Pantun" (Pujangga Baru, I/2, Agustus 1933).
Lalu, setelah seruan itu, matikah pantun, syair, dan gurindam? Tidak. Tapi semangat mencari bentuk-bentuk baru yang digelorakan Pujangga Baru sejak itu menjadi meluas, menjadi obsesi. Armijn dengan artikelnya seakan-akan menjadi juru bicara kelompoknya dan generasinya untuk menyatakan bahwa kesusastraan Indonesia bukanlah—dalam bahasanya—natuurmonument, bukan tugu alam, bukan batu bertuliskan yang beku. "...kesusasteraan Indonesia ialah semangat hidup, yang menimbulkan vorm baru akan menjadi penunjukan dirinya," ujar Armijn.
Apakah vorm baru, bentuk baru, dan jenis puisi baru yang menggantikan bentuk yang hendak dimasukkan lemari masa lalu itu? Pujangga Baru mengemukakan soneta. Bentuk sajak Italia yang memang baru bagi penulis Indonesia, tapi sebenarnya tidaklah sama sekali baru, yang sampai ke mereka lewat puisi-puisi para penyair Belanda. Kenapa soneta? Armijn bicara soal semangat zaman. Semangat baru. Semangat zaman yang baru. Ia bicara soal gelombang rasa, yang dalam soneta bergulung-berkejaran di dua kuatrin, lalu memecah di dua terzina—sajak yang terdiri atas tiga baris seuntai dengan bagan rima a-b-a, b-c-b, c-d-c, d-c-d. Ia mengutip Willem Kloos, salah seorang penyair eksponen angkatan 1880, atau pergerakan '80, di negeri Belanda.
Pantun, kata Armijn, tak bisa mengalirkan gelombang rasa yang demikian. Tak ada klimaks yang seperti itu dalam pantun. Tak ada perasaan yang dituntaskan, yang pecah dan habis diempaskan. Pembagian sampiran dan isi justru meredam perasaan itu. Pujangga Baru tak ingin lagi menahan diri, tak hendak lagi meredam perasaan. Mereka ingin puisi yang bicara lantang. Ini ada kaitannya dengan bangkitnya keberanian dalam bidang lain: pergerakan nasional.
Pilihan itu juga tidak baru, sesungguhnya. Muhammad Yamin sudah lebih dulu menulis soneta. Itu sebabnya ia kerap menyebut diri pendahulu Pujangga Baru dalam hal ini. Dalam puisi-puisinya, Yamin juga mengubah orientasi sikap, dari menyeru solidaritas anak negeri Sumatera ke perhatian pada tanah air yang lebih luas, persatuan Nusantara yang senasib sepenjajahan. Sikap itu pulalah yang menggerakkan Pujangga Baru.
Pujangga Baru ingin mengambil semangat perubahan di Belanda. Tapi berbeda dengan pergerakan '80 yang berubah karena masyarakat yang berubah, Pujangga Baru ingin mengubah masyarakat dengan mengubah sastra, meninggalkan pantun, syair, gurindam, bentuk lama yang bagi mereka tak lagi menggelorakan itu. Menjadi bentuk-bentuk beku yang melenakan, yang hanya didendangkan di kedai ikan sambil menunggu pembeli, kata Armijn.
Pantun: Peleburan Kreatif
Ulasan yang lebih bijak kita baca pada V. Braginsky. Baginya, pantun justru menjadi bahan pokok yang kepadanya para penyair tak bisa melambaikan tangan. Pantun justru mengalami peleburan kreatif dalam puisi Amir Hamzah dan Rustam Effendi (Braginsky, 1998).
Ini adalah bukti bahwa sastra Melayu lama itu punya daya hidup yang melampaui zaman dan bisa melawan upaya menguburkannya atau memutuskan sejarah dan hubungannya dengan perkembangan sastra selanjutnya.
Kenapa? Ini mungkin bisa dikatakan anomali pantun. Sementara kita meyakini sastra lisan itu rapuh, mudah hilang jejak, dan harus diselamatkan dengan upaya menaskahkannya, menjadikannya sastra tulis, pantun justru bertahan karena kelisanannya yang kuat.
Braginsky sendiri memasukkan pantun—yang dia golongkan sebagai folklor lisan Melayu—dalam kajiannya, meskipun dalam "Yang Indah, Berfaedah dan Kamal" (1998), dia berfokus pada peninggalan tertulis dari abad ke-7 hingga abad ke-19.
Bagaimana pantun menjadi inspirasi estetis dan sumber penciptaan puisi yang datang kemudian? Braginsky menyimpulkan bahwa syair—namanya berasal dari bahasa Arab/Parsi sebagai sebutan umum untuk semua jenis puisi di sana—adalah bentuk puisi baru (dengan Hamzah Fansuri sebagai perintisnya) sebagai hasil introduksi lewat hibrida yang disesuaikan dengan pantun yang lebih dulu ada dalam bahasa Melayu.
Syair, dengan demikian, adalah strategi mengucap baru, dengan mengambil atau mengolah bentuk pantun yang dikenal luas. Dan para penyair sufi, Fansuri, serta para murid dan pengikutnya, membedakannya dengan isi yang dimuatkan yang tidak lagi sekadar nyanyi (penghibur hati lara) dan sindir (retorika komunikasi).
kata ini tamsil dan pantun
bukannya nyanyi sindirkan bandun;
jika belum mahbub berkata santun
manakah dapat pagar kaubantun
Nyatanya pantun tidak mati. Soneta memang pernah menjadi jalan dan membawa semangat baru. Tapi perubahan yang besar, cita-cita, dan pekerjaan Pujangga Baru justru kelak dituntaskan oleh Chairil Anwar, yang oleh Jassin disanjung sebagai pelopor angkatan '45. Chairil meneruskan semangat mencari bentuk-bentuk baru yang digelorakan Pujangga Baru.
Prasasti Gurindam 12 karya Raja Ali Haji di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamidah, Pulau Penyengat, Riau, 2009. Dok. TEMPO/ Arif Fadillah
Tapi Chairil tidak sepenuhnya meninggalkan syair dan pantun. Ia menjadikan khazanah sastra lama itu bahan dasar untuk ia "hibridkan" dengan bentuk-bentuk baru, menjadi bentuk lain yang lebih segar. Ia mengolah syair dan pantun. Ia tak terkungkung bentuk. Ia memperbarui bahasa yang ia pakai dalam sajaknya.
Ia, sebagaimana disebut Sapardi Djoko Damono, pada puncak-puncak kematangan karyanya, pada beberapa judul sajaknya, berhasil menaklukkan konvensi persajakan lama itu. Ia menulis sajak bebas, tapi sebenarnya pantun atau syair, tapi sama sekali tak terasa sebagai pantun dan syair. Ia memberi napas baru. Chairil tak menjadikan syair dan pantun sebagai natuurmonument, sebagai tugu batu, juga tak meninggalkannya sebagai masa lalu. Ia meruntuhkannya dan menyusunnya kembali menjadi bagian untuk monumen baru.
Maka, tidak mengherankan, pada 1960-an, pola-pola pantun muncul lagi dalam puisi-puisi penyair kita. Hartojo Andangdjaja mencatatnya dalam majalah Sastra, II No. 6, 1962. Pantun bertahan, sementara bentuk sastra Melayu lama lain, seperti mantra dan syair, makin tidak populer. Pola-pola pengucapan pantun tampak pada sajak-sajak Armjn Pane (Mendalam) dan Sitor Situmorang (Lagu Gadis Itali). Bahkan, menurut Hartojo dalam esainya “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Indonesia Modern”, pola itu terlihat jelas pada sajak Amir Hamzah dan Muhammad Yamin pada zaman Pujangga Baru.
Kenapa pantun bisa bertahan melampaui peralihan zaman? Menembus batas zaman dan masyarakat lama dengan masyarakat baru, sebagaimana digariskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana? Pembagian dua baris pertama dan dua baris kedua sebagai sampiran dan isi, pembayang dan pesan, pengantar dan respons, menciptakan kontras dalam hal ini di antara keduanya. Lalu disiplin struktur dan bunyi menjadi tantangan lain, menciptakan semacam paralelisme, metrum, pola bunyi, irama, dan kompleksitas lain dalam formatnya yang tetap dan tampak sederhana itu.
Melalui irama dan bunyi itulah, ujar Sutan Takdir (dalam “Puisi Lama”, cet. 1. 1946), yang seakan-akan menjadi ralat atas apa yang ia tulis pada 1934, pantun menyediakan dirinya bagi pemuatan pikiran dan perasaan. Dan karena bentuk tetap itu sesungguhnya netral, keluwesannya untuk diberi atau menampung isi itulah yang membuat Sutan Takdir—berbeda dengan atau mempertanyakan dan mengoreksi sikap Armijn—melihat peluang pantun untuk bertahan. “Ketiga alat ini (irama, bunyi, dan isi) tentulah mungkin bermacam-macam sikapnya; … setelah mengaji sifat pantun ini, agaknya dapatlah kita bertanya, betapakah harapan kita tentang pantun di masa yang akan datang? Adakah mungkin ia mendapatkan kedudukan di antara puisi baru?” ucap Takdir.
Takdir seakan-akan menyediakan jawaban sebagai jalan nasib bagi pantun. Ada dua jenis puisi, yaitu puisi kebanyakan dan puisi seni sejati. Untuk jenis yang pertama, karena ketersediaan keasyikan permainan pada bunyi dan iramanya, Takdir yakin di sana pantun akan terus bertahan, menjadi lirik lagu keroncong, misalnya, pantun kanak-kanak, pantun jenaka, ataupun pantun teka-teki.
“Sebaliknya, sebagai seni sejati, terutama sekali yang akan mungkin mendapat tempat di sisi puisi baru, ialah pantun yang kedua baris yang pertama menyediakan irama, bunyi, dan isi kedua baris yang berikutnya, sebabnya ialah yang lebih sempurna memakai alat-alat seni yang diutamakan penyair zaman sekarang. Dalam hal inilah pantun itu yang paling berdekatan dengan puisi baru,” tutur Takdir.
Prediksi dan analisis Takdir kini terbukti benar. Pola-pola pengucapan pantun muncul berulang, tetap menarik, dan terus dikulik oleh para penyair kita hingga hari ini. Ada sesuatu yang menautkan serta tak terpisahkan antara pantun dan bahasa Melayu yang melahirkannya. Peneliti bahasa Melayu tak bisa tidak pasti akan meneliti pantun. Pantun adalah pembuktian potensi dan daya ucap estetis autentik bahasa Melayu. Ketika bahasa Melayu berkembang, dengan demikian bertambah pula daya ucapnya. Kekuatan dan potensi pantun pun berkembang mengikutinya.
Raja Ali Haji Menjelaskan Pantun
Bisa kita yakini bahwa pada abad ke-19, syair, pantun dan gurindam telah menjadi satu bentuk yang mapan. Pada 1858, dalam korespondensinya dengan sahabatnya, Herman van de Woll, Raja Ali Haji melampirkan dokumen tentang pantun, syair, dan gurindam yang ia sebut “timbangan syair”.
Dokumen yang sama ia sebutkan dalam suratnya pada 16 Juli tahun itu yang ia lampirkan pada akhir kitab Bustanul Katibin yang ia tulis. Perlu ditelusuri lebih jauh, tapi setakat ini, barangkali inilah upaya pertama penulis Nusantara merumuskan puitika syair, pantun, dan gurindam, yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi siapa saja yang hendak menggubah bentuk sajak itu. Raja Ali Haji memulai petunjuknya dengan:
Ini satu kaidah memperbuat syair Melayu. Ketahui olehmu hai orang yang berkehendak kepada memperbuat syair Melayu atau pantunnya maka hendaklah mengetahui dahulu kaidah timbangannya dan sajaknya dan cacatnya, karena tiap2 pekerjaan tiada dengan ilmu diperlajarkan kepada ahlinya maka yaitu tidak sunyi daripada tersalah dan cacat. Maka dari itulah aku perbuatkan satu kaidah yang akan boleh menjadi penjagaan siapa2 yang berkehendak pada mengarang syair Melayu.
Bagaimanakah caranya?
Bermula kesempurnaan syair Melayu itu yaitu tiga perkara. Pertama, cukup timbangannya; kedua, betul sajaknya; tiga, tiada cacat dengan sebab berulang-ulang apalagi janggal. Itulah aku perbuatkan tiga pasal.
Raja Ali Haji lalu menjelaskan tiga perkara itu lengkap dengan contoh-contohnya. Ketentuan ini berlaku sama untuk syair dan pantun, kecuali tentu pada rima yang bersilang pada yang kedua itu.
Pertama, syair sempurna (tamam) dengan empat misra’ (larik) yang disebut Raja Ali Haji sebagai empat keping tudung pintu, dan tiap-tiap misra’ ditimbang dengan empat kata, bisa kata kerja (perbuatan), ataupun kata benda (nama) atau kata sambung (huruf). Kata sambung bisa dihitung sebagai satu kesatuan dengan kata yang mengikuti atau diikutinya. Maka dari itu, syair yang sempurna dengan demikian terdiri atas 16 kata.
Lalu penjelasan kedua soal sajak yaitu bunyi yang jatuh di setiap akhir misra’, yang terdiri atas dua: yang terlebih bagus (apabila bunyi konsonan dan vokalnya sama) dan yang kurang sedikit bagusnya, tapi betul juga sajaknya (apabila konsonannya beda tapi vokalnya sama); dan yang ketiga soal syair yang cacat, cacat jumlah kata, cacat sajaknya, dan cacat maknanya.
Tiba pada penjelasan tentang timbangan pantun, Raja Ali Haji menulis:
Bermula adapun pantun yaitu seperti timbangan syair juga, ada juga yang bagus sajaknya, ada juga yang cedera sedikit akan tetapi tidak ketara jika dibacakan, dan jika disuratkan ketara juga.
Contoh pantun yang bagus:
cincin bandu permata sailan
jatuh ke padang pati temu
jika rindu pandangkan bulan
jatuhlah pandang di sana bertemu
Contoh pantun yang kurang sedikit bagusnya, yang tiada berbetulan sajaknya pada akhirnya:
rumah besar tengku di hulu
atapnya batu sisik tenggiling
syaitan siapa datang mengaru
nasi ditelan serasa lilin
Cacat sajak pada pantun ini terjadi pada kata tenggiling dan lilin.
Sampai di bagian itu Raja Ali Haji menutup dengan kalimat: Syahdan inilah kaidah syair dan pantun. Lalu ia jelaskan soal ikat-ikatan dan gurindam. Semua penjelasannya itu ia tujukan sekali lagi kepada orang yang berkehendak memperbuat yang tersebut itu dengan bahasa Melayu supaya jangan jadi janggal dan cacat kepada orang yang mengetahui ilmu itu adanya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo