Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Peristiwa Situjuah, Babak Sejarah yang Terlupakan

Peristiwa Situjuah pada 15 Januari 1949 merupakan tragedi paling berdarah sepanjang perjuangan PDRI. Cenderung terlupakan.

9 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peristiwa Situjuah adalah penyerangan Belanda yang menewaskan sembilan petinggi PDRI di Desa Situjuah Batua, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, pada 15 Januari 1949.

  • Salah satu korban adalah Chatib Sulaiman, pendiri Kepanduan Muslim Indonesia dan ikut membentuk pasukan sukarela Jepang yang menjadi cikal bakal TNI di Sumatera Barat.

  • Seperti kegiatan tujuh belasan, masyarakat Situjuah Batua rutin mengibarkan bendera Merah Putih sepanjang Januari.

Ini adalah sepenggal sejarah yang nyaris dilupakan, meski berperan dalam menjaga kelangsungan negara kita: Peristiwa Situjuah. Peristiwa Situjuah adalah serangan militer Belanda yang menewaskan sembilan pejabat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, pada 15 Januari 1949.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah kelam tersebut tak bisa dilepaskan dari PDRI dan perang kemerdekaan. Setelah Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim tertangkap saat Agresi Militer Belanda pada 19 Desember 1948, Yogyakarta—ibu kota Indonesia saat itu—jatuh ke tangan Belanda. Namun Indonesia tetap berdiri lewat PDRI yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Bukittinggi dikuasai Belanda pada 22 Desember 1948, pemerintahan darurat ini berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain. Belanda mengolok-olok PDRI sebagai "Pemerintahan dalam Rimba Indonesia" dengan lokasi "Somewhere in the Jungle".

PDRI berlokasi di Koto Tinggi, desa berjarak sekitar 40 kilometer di arah barat laut Payakumbuh, salah satu kota tersibuk di bagian tengah Sumatera. Untuk memperkuat kedudukan PDRI, Gubernur Militer Sumatera Barat Sutan Mohammad Rasjid memutuskan menjadikan Situjuah Batua sebagai basis pergerakan mereka.

Posisi Situjuah dianggap strategis sebagai pembuka jalan menuju Payakumbuh, bagian dari Afdeling (Kabupaten) Lima Puluh Kota. Sejarawan Fikrul Hanif Sufyan mengatakan desa yang berjarak sekitar 5 kilometer di arah selatan Payakumbuh itu dipilih karena bentang alam yang berupa perbukitan sehingga dianggap menyulitkan akses tentara Belanda. 

Pada 14 Januari 1949, sejumlah petinggi PDRI menggelar rapat di rumah Mayor Makinuddin H.S., wedana militer Payakumbuh Selatan, di Kampung Lurah Kincia. "Agendanya membangun basis militer yang disebut Badan Pengawal Nagari dan Kota atau BPNK," kata Fikrul kepada Tempo, Jumat, 5 Januari 2024. Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Abdi Pendidikan, Payakumbuh, itu mengatakan rapat dipimpin Chatib Sulaiman, yang namanya kini menjadi jalan utama di Padang.

Prasasti Sembilan di Situjuah Batua, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 5 Januari 2024. Di lokasi ini berlangsung serangan Belanda yang menewaskan Chatib Sulaiman dan sejumlah petinggi PDRI pada 15 Januari 1949. TEMPO/Fachri Hamzah

Chatib merupakan pendiri Kepanduan Muslim Indonesia yang pada masa penjajahan Jepang membentuk pasukan sukarela atau Giyugun, cikal bakal TNI di Sumatera Barat. Di PDRI, Chatib menjabat Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD). 

Rapat tersebut dihadiri sekitar 30 orang, di antaranya Bupati Militer Lima Puluh Kota Arisun Sutan Alamsyah dan Letnan Kolonel Munir Latief, komandan militer dari Painan. Pertemuan itu juga memutuskan rancangan serangan ke Payakumbuh untuk membuktikan Indonesia masih berdiri. Kurang-lebih sama dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Sayangnya, pertemuan itu terendus Belanda, yang menguasai Payakumbuh sejak 23 Desember 1948, sehari setelah menduduki Bukittinggi—kota besar kedua di Sumatera Barat. Saat itu mereka sedang mengejar anggota Kabinet PDRI yang baru terbentuk di Desa Halaban, sekitar 25 kilometer di arah selatan Payakumbuh. "Belanda yakin PDRI ada di sekitar Payakumbuh berdasarkan informasi dari mata-mata mereka," kata sejarawan Feni Efendi dalam bukunya yang berjudul Jejak yang Terlupakan (2019).

Rapat PDRI di Situjuah itu selesai lewat tengah malam. Fikrul mengatakan Chatib Sulaiman dan rekan-rekannya tidur di lokasi rapat di rumah Mayor Makinuddin, sebagian lainnya beristirahat di surau. Pada Kamis dinihari, 15 Januari 1949, saat hendak menunaikan salat subuh, mereka diserang pasukan Belanda.

Di tengah rentetan tembakan dalam kegelapan pada pagi buta itu, Chatib, yang mengenakan sarung, berupaya berlari. Tangannya menggenggam senapan dan setumpuk dokumen tentang strategi perang PDRI. Namun peluru menembus dadanya. Pria 42 tahun itu roboh. "Belanda lalu menikam jantungnya dengan bayonet," kata Fikrul.

Bersama Chatib, delapan tokoh PDRI tewas dalam penyerangan tersebut dan dimakamkan di lokasi, termasuk Arisun Sutan Alamsyah serta Munir Latief. Dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 (1992) yang ditulis Kolonel Ahmad Husein, disebutkan total korban mencapai 69 orang, termasuk warga sipil. Tentara Belanda disebutkan membunuh setiap warga laki-laki yang mereka temui dalam perjalanan menuju Payakumbuh.

Lapangan Monumen Situjuah di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 5 Januari 2024. TEMPO/Fachri Hamzah

Dugaan Pengkhianat dalam Peristiwa Situjuah

Peristiwa Situjuah menjadi pukulan besar bagi PDRI dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pasca-tragedi tersebut, muncul kecurigaan adanya pengkhianat yang membuka jalan bagi kedatangan Belanda ke rapat yang seharusnya bersifat rahasia tersebut.

Kecurigaan terpusat pada Letnan Satu Tambiluak Kamaluddin asal Padang Panjang. Kolonel Ahmad Husein, pemimpin Divisi Banteng dalam perang kemerdekaan di Sumatera Barat, menuliskan Kamaluddin membawa pasukannya menjauh dari lokasi rapat sekitar pukul 03.00 dengan alasan mencegat kedatangan pasukan yang dikabarkan datang sekitar pukul 07.00. Namun kabar itu tidak dia sampaikan ke peserta rapat.

Hal inilah yang menjadi dasar masyarakat Situjuah menaruh kecurigaan kepada Kamaluddin. Masyarakat menganggap pengarahan yang dilakukan oleh Kamaluddin itu merupakan sebuah strategi agar barisan pengawal menjadi lengah dan Belanda dengan mudah masuk ke lokasi rapat.

Dalam buku lain, Tambiluak: Tentang PDRI & Peristiwa Situjuah (2008) yang ditulis jurnalis Fajar Vesky, dituliskan kesaksian Syamsul Bahar, peserta rapat yang selamat. Kamaluddin disebutkan bergembira mendengar kabar kemenangan Belanda serta banyak merenung di depan surau seusai rapat pada malam itu. 

Dalam bukunya, Ahmad Husein menceritakan masa lalu Kamaluddin yang menguatkan kecurigaannya. Sebelum Agresi Militer II, Kamaluddin tertangkap Belanda ketika hendak menjual getah karet ke Singapura untuk pendanaan perang. Namun dia dilepas begitu saja.

Meski demikian, fakta-fakta tersebut sebatas kecurigaan. Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang dalam bukunya, Somewhere in the Jungle, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, menyatakan tak ada bukti kuat soal tudingan terhadap Kamaluddin dalam Peristiwa Situjuah.

Haji Khairuddin Makinuddin, putra Mayor Makinuddin H.S., tuan rumah rapat yang berakhir dengan tragedi tersebut, menampik kecurigaan terhadap Kamaluddin. Dalam buku Tentang PDRI & Peristiwa Situjuah (1997), dia mengatakan Belanda memang telah mengendus keberadaan pasukan Republik di sana. Buktinya, ada helikopter hilir mudik sebelum rapat berlangsung.

Gerbang Monumen Peristiwa Situjuah di Situjuah Batua, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 5 Januari 2024. TEMPO/Fachri Hamzah

Mengenang Peristiwa Situjuah

Peristiwa Situjuah memang tak masuk dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Namun, bagi masyarakat Lima Puluh Kota dan Payakumbuh, 15 Januari terus dikenang sebagai hari kelam. Setiap tahun, pemerintah dan sebagian warga mendatangi Lurah Kincia, Situjuah Batua, untuk menghormati puluhan pahlawan yang gugur demi mempertahankan republik ini.

Di tengah pasar yang sibuk di Situjuah Batua, menjulang Monumen Peristiwa Situjuah. Di sebelahnya, berdiri Masjid Pahlawan 15.1.49 yang memampangkan nama 30 peserta rapat di gerbangnya.

Lokasi tragedi Situjuah dicapai dengan menyusuri jalan menuruni tebing, sekitar 800 meter dari monumen. Rumah tempat rapat itu telah dibongkar dan dijadikan monumen yang disebut Prasasti 9. Di sebelahnya, Chatib Sulaiman dan rekan-rekannya beristirahat selamanya. Mereka terus dikenang, setidaknya oleh warga Situjuah, yang sepanjang Januari mengibarkan bendera Merah Putih layaknya merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia.

FACHRI HAMZAH (PAYAKUMBUH, LIMA PULUH KOTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus