BANYAK pelukis menggarap dari kchij dupan rakyat. Dan dalam mengalihkan ihwal ragam nyata menjadi citra, di antara mereka kebanyakan memperhalus dan memperindahnya. Mereka menggayakan kenyataan yang bersengkarut menjadi citra dekoratif yang apik dan tertib. Atau mempermulianya menjadi rupa elok atau rupa garib: yang kelihatan bukan sehari-hari, jarang terdapat, asing, luar biasa, eksotis. Dan untuk maksud tersebut, tentu dipilih yang potensial. Apalagi jika itu sebagai upaya menemui calon pembeli berduit di kota besar, atau orang asing, lalu kebanyakan pelukis membesut dan memoles. Tetapi tidak pada Sudjana Kerton. Yang ia pilih itu malah mengherankan, karena sangat biasa. Bis dengan penumpang berjejal (Angkutan Umum). Seorang bapak bersepeda motor, memboncengkan seluruh keluarga: istri dan-4 orang anak, termasuk balita dan bayi (Hari Minggu Keluarga Bermoor). Sekelompok orang duduk di trotoar, bermain domino (Hiburan di PinggirJalan). Tukang cukur sedang bekerja di bawah pohon (Pasar). Segerombol orang bercakap-cakap di pinggir jalan (Obrolan Pagi). Itu sekadar menyebutkan beberapa contoh. Memang, Kerton juga mengambil ihwal seperti pengantin (Perkawinan) dan kesenian daerah (Jaipongan, Wayang, Cianjuran). Tetapi di sini pun Kerton tidak mencolok berhalus-halus dan berelok-elok. Sebaliknya, Kerton kelihatan melukis seenaknya saja. Sosok-sosok manusia dalam karya-karyanya umumnya tampak terpiuh, buruk, kadang lucu - yang mengingatkan kita kepada kartun atau karikatur. Garis-garis ditarik sekali jadi, santai, leluasa. Semua coretan dan olesan tidak ada penumpakan, peleburan, atau penghapusan tetapi ia lakukan dengan sekali coret atau sekali oles. Dan putih ialah permukaan kanvas yang tak tersentuh cat. Kerton bekerja etisien, terampil. Biarpun warna-warna Kerton tak cemerlang, dan tidak pula memberikan paduan yang manis. Mungkin orang bahkan akan cenderung mengatakannya kusam atau "kotor". Kecuali kalau melihat hasil kerjanya dalam cetak saring (Pagi-Pagi, Women with Fish), yang menyajikan warna bersih dan terang. Semua itu menyebabkan kita, untuk menyifatkan karya-karya Kerton, berpikir tentang hal yang spontan dan "kasar". Tetapi spontanitas dan kekasaran dimaksud itu perpadu dengan yang dicitrakannya. Yaitu rakyat yang bergumul dengan debu (di kota) dan tanah (di desa) yang jauh dari kecanggihan dan kehalusan. Kerton tampak melukiskan rakyat tanpa besutan dan polesan. Ia melihat rakyat itu dengan keluguannya. Kemudian barulah Kerton menawarkan nilai alternatif. Dan itu bukan saja terhadap nilai yang bertalian dengan seni lukis yang semakin canggih dari perguruan-perguruan tinggi seni rupa. Tetapi juga terhadap nilai yang bertalian dengan kecanggihan, formalitas (dan formalisme), serta keterkendalian yang tumbuh dalam masyarakat, khususnya di kota besar. Selain yang tadi, ada segi lain. Terhadap abstraksi lanjut, dan seni lukis abstrak, yang hendak membawa seni lukis semakin diam. Kerton menawarkan seni lukis yang cerewet: bercerita banyak. Lihat saja misalnya pada lukisan Angkutan Umum. Bis penuh sesak. Seorang perempuan berusaha naik. Sementara itu, dari pengeras suara di dalam bis terdengar musik yang bising - yang ia gambarkan dengan rangkaian not balok. Di kaki lima, berdiri seorang penjual bensin 2 tak, dengan jeriken dan embernya, ditemani seekor kucing. Dorongan bercerita Ini membawa Kerton kepada lukisan besar, sekitar 2 x 3 meter. Seperti dalam lukisan Bali, digambarkan berbagai segi kehidupan masyarakat. Sebatang beringin besar menaungi kehidupan itu. Seakan kurang puas bercerita, di dekat lukisan itu, di dinding, Kerton mencantumkan secarik kertas berisi bagan dan catatan keterangan. Misalnya: beringin itu maksudnya kesadaran nasional. Sementara itu, pada kampung, terlukis Pula berbagai adegan kehidupan di kampung. Empat puluh satu karya Sudjana Kerton itu dapat disaksikan di rasmus Huis Jakarta, 15-24 Juni. Lahir di Bandung pada 1922, ia tergolong pelukis senior. Awal seni lukisnya di Yogyakarta, 1945-1949. Pada tahun-tahun itu ia juga bekerja di harian Patriot bersama Usmar Ismail. Kemudian Kerton belajar di Academie de Grande Chaumiere, Paris, Art Student Languague, New York - dan dipilih menjadi anggota seumur hidup. Ia juga belajar di American Schoolfor Design and Advertising, New York, dan Traphagen School of fashion, New York. Di samping itu, Kerton belajar seni patung di Amsterdam dan seni lukis dinding (mural) di Mexico City. Ia telah berpameran di berbagai kota di Eropa dan Amerika. Karyanya, bersama Picasso, Henry Moore, Raoul Dufy, ada yang dipilih untuk Unicef. Pulang ke Indonesia, 1976, dan menetap di Bandung, Kerton membangun Sanggar Luhur di atas Bukit Dago. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini