Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ramayana, wayang menari

Lakon ramayana dalam wayang kulit bali jarang dipergelarkan, maka dalam festival wayang kulit (festival ramayana) di bali, para peserta diwajibkan membawa lakon ramayana.

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKON Ramayana menghadapi ancaman. Di Bali, para dalang wayang kulit lebih suka mempergelarkan Mahabharata ketimbang yang sebuah itu. Itulah sebabnya festival wayang kulit di Denpasar, 10 Desember sampai 3 Januari ini, mewajibkan para peserta membawakan Ramayana. Tentu saja festival ini disebut Festival Ramayana. "Padahal Ramayana tak kalah menariknya dengan Mahabharata," kata l Gusti Pandji, Ketua Yayasan Pewayangan Daerah Bali. Bahkan dari segi pergelarannya sendiri sebenarnya lebih menarik --lebih pvnya banyak segi untuk ditonton. Tokoh-tokoh kera menurut aturan wayang kulit Bali diharuskan lebih dulu mempertunjukkan ketangkasan menari. Dan ini adegan yang ditunggu-tunggu penonton, apalagi kalau dalangnya terkenal trampil. Tapi justru di situlah terkandung penyebab kesulitan --dalam pelaksanaan. dalam pergelaran Mahabharata hanya dibutuhkan iringan 4 gender --sementara Ramayana masih menuntut tambahan kendang, kempur, suling dan cengceng. Memang tak sedap, misalnya, tokoh kera sakti Anoman dengan tariannya yang gagah hanya diiringi suara gender. Itu sebab pertama. Yang kedua, ternyata para dalang wayang kulit di Bali khli jarang yang masih trampil menarikan wayang kulitnya. Menurut I Gusti Pandji, hanya beberapa saJa yang masih ingat cara menarikan beberapa tokoh, misalnya Sugriwa atau Subali. Dalang yang cekatan menggerakkan semua tokoh yang harus menari belakangan ini hanya tercatat seorang: Madera, dari Sukawati, Gianyar. Tapi ia pun sudah meninggal tahun lalu. Maka, festival yang diikuti para dalang dari 8 kabupaten ini, salah satu kriteria penjuriannya ialah tetikasan -kecakapan menarikan wayangnya. Yang lain, misalnya dharma pewayangan (bagaimana dalang mulai menyalakan lampu, membuka kotak wayang, mengeluarkan wayang). Lantas reragragan (humor), abah (kecocokan penampilan watak tokoh), juga kelenggutan cerita (seberapa dalam cerita disajikan). Pergelaran wayang kulit Bali memang sudah agak jarang. Tapi kekhawatiran akan punah sebenarnya tak ada. Tak seperti wayang kulit Jawa, di Bali pergelaran wayang masih erat hubungannya dengan upacara keagamaan. Sesudah itu baru fungsinya sebagai hiburan. Festival ini pun dikaitkan dengan upacara Hindu-Bali. Pemenang pertama, yang namanya akan diumumkan 3 Januari, mendapat kehormatan mempertunjukkan kemahirannya dalam upacara Cilawatri, "malam peleburan dosa," dua hari kemudiannya. Tentu saja tak mengambil lakon Ramayana. Hari tersebut seperti biasanya diisi dengan lakon Lubdhaka karya Empu Tanakung. Mengisahkan seorang bodoh akhirnya menjadi arif dan bijaksana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus