LAKON Ramayana menghadapi ancaman. Di Bali, para dalang
wayang kulit lebih suka mempergelarkan Mahabharata ketimbang
yang sebuah itu. Itulah sebabnya festival wayang kulit di
Denpasar, 10 Desember sampai 3 Januari ini, mewajibkan para
peserta membawakan Ramayana. Tentu saja festival ini disebut
Festival Ramayana.
"Padahal Ramayana tak kalah menariknya dengan Mahabharata,"
kata l Gusti Pandji, Ketua Yayasan Pewayangan Daerah Bali.
Bahkan dari segi pergelarannya sendiri sebenarnya lebih menarik
--lebih pvnya banyak segi untuk ditonton. Tokoh-tokoh kera
menurut aturan wayang kulit Bali diharuskan lebih dulu
mempertunjukkan ketangkasan menari. Dan ini adegan yang
ditunggu-tunggu penonton, apalagi kalau dalangnya terkenal
trampil.
Tapi justru di situlah terkandung penyebab kesulitan
--dalam pelaksanaan. dalam pergelaran Mahabharata hanya
dibutuhkan iringan 4 gender --sementara Ramayana masih menuntut
tambahan kendang, kempur, suling dan cengceng. Memang tak sedap,
misalnya, tokoh kera sakti Anoman dengan tariannya yang gagah
hanya diiringi suara gender.
Itu sebab pertama. Yang kedua, ternyata para dalang wayang
kulit di Bali khli jarang yang masih trampil menarikan wayang
kulitnya. Menurut I Gusti Pandji, hanya beberapa saJa yang masih
ingat cara menarikan beberapa tokoh, misalnya Sugriwa atau
Subali. Dalang yang cekatan menggerakkan semua tokoh yang harus
menari belakangan ini hanya tercatat seorang: Madera, dari
Sukawati, Gianyar. Tapi ia pun sudah meninggal tahun lalu.
Maka, festival yang diikuti para dalang dari 8 kabupaten
ini, salah satu kriteria penjuriannya ialah tetikasan -kecakapan
menarikan wayangnya. Yang lain, misalnya dharma pewayangan
(bagaimana dalang mulai menyalakan lampu, membuka kotak wayang,
mengeluarkan wayang). Lantas reragragan (humor), abah (kecocokan
penampilan watak tokoh), juga kelenggutan cerita (seberapa dalam
cerita disajikan).
Pergelaran wayang kulit Bali memang sudah agak jarang. Tapi
kekhawatiran akan punah sebenarnya tak ada. Tak seperti wayang
kulit Jawa, di Bali pergelaran wayang masih erat hubungannya
dengan upacara keagamaan. Sesudah itu baru fungsinya sebagai
hiburan.
Festival ini pun dikaitkan dengan upacara Hindu-Bali.
Pemenang pertama, yang namanya akan diumumkan 3 Januari,
mendapat kehormatan mempertunjukkan kemahirannya dalam upacara
Cilawatri, "malam peleburan dosa," dua hari kemudiannya. Tentu
saja tak mengambil lakon Ramayana. Hari tersebut seperti
biasanya diisi dengan lakon Lubdhaka karya Empu Tanakung.
Mengisahkan seorang bodoh akhirnya menjadi arif dan
bijaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini