ANTARA tahun 1969 hingga 1973, arus pelancong memang
menggebu ke Bali. Losmen dan rumah-rumah biasa yang turut
menampung turis-turis itu, ternyata tak cukup menambah daya muat
kamar. Sehingga pada 1973, misalnya timbul masalah, bagaimana
menampung turis yang mencapai 60.000 orang tiap tahun, sementara
hotel-hotel yang layak hanya mampu menyediakan sekitar 450 buah
kamar.
Karena itu, menjelang konperensi PATA (organisasi
pariwisata Asia-Pasifik di Bali pada 1974, hotel-hotel baru
berdiri secara menyolok. Sebab seusai konperensi itu,
diperkirakan para pelancong akan tumpah ke Pulau Dewata. Para
pemilik modal pun berduyun-duyun menumpahkan uangnya membangun
hotel. Bahkan tak ketinggalan penginapan dan berbagai wisma
dipoles. Namun akibatnya segera terlihat: jumlah kamar menjadi
150% lebih bahyak dari perkiraan sauula.
Jumlah kenaikan turis yang rata-rata hanya 3% setahun sejak
1976, tetap tidak mampu mengisi sekian banyak tempat menginap.
Tapi toh di beberapa tempat, seperti Sanur dan Kuta, hotelhotel
maupun wisma baru muncul terus. Lebih dari itu, di Jimbaran
sejak tahun lalu mulai dibangun Jimbaran Bay Hotel. Alasannya,
menurut Kepala Perwakilan Hotel Jimbaran, Ketut Tulis, karena
menurut Bank Dunia sampai 1985 masih diperlukan 1.600 kamar.
"Sedang yang ada sekarang baru 1.414 buah," tambah Tulis.
Dan pengembangan proyek perhotelan di Nusa Dua tetap
menderu. 15 Desember yang lalu Pr>siden Soeharto meresmikan
jalan by pass yang menghubungkan Denpasar dengan Nusa Dua lewat
Tuban. Jalan ini, menurut Presiden, dimaksudkan untuk
memperlancar arus barang dan lalu-lintas wisatawan. Jalan
sepanjang 30 km itu dibangun dengan biaya Rp 2,5 milyar. Yang
mengerjakan kontraktor Jepang, Kumagai Gumi & Co dan separuh
biaya.nya datang dari Bank Dunia. Salah satu tujuan jalan ini,
seperti kata Setyo Suparno BRE, pimpinan Proyek Pembangunan
Jalan Nusa Dua Bali, "untuk membuka kesempatan kepada penanam
modal di daerah Nusa Dua."
Namun sampai iaat ini Nusa Dua bclum banyak digandrungi
para investor. Sementara di wilayah Bali lainnya mulai dilarang
mendirikan hotcl-hotel baru, di Nusa Dua hingga saat ini baru
direncanakan sebuah hotel yang merencanakan 450 kamar -usaha
perusahaan penerbangan nasional Garuda. Beberapa investor asing,
misalnya dari Hongkong, dikabarkan mengurungkan niatnya menanam
modal di Nusa Dua.
Mungkin karena para pemilik modal melihat arus pelancong ke
Bali tak hebat lagi. Lagipula, wilayah yang baik untuk hotel
justru di Sanur dan Kuta.
Maka harapan, misalnya, bahwa proyek Nusa Dua akan
menampung 9000 tenaga kerja, nampaknya masih jauh.
Turisme sendiri selama ini hanya sedikit mcnampung. Sekitar
7000 orang yang terlibat langsung dalam kegiatan perpelancongan
itu, seperti ternyata dari angka resmi kantor gubernur tahun
lalu. Dan ini berarti hanya 0,7% dari seluruh tenaga kerja yang
ada di Bali.
Data-data itu, yang diungkapkan dalam majalah Bulletin of
Indones1an Economic Studies baru-baru ini oleh I.K.G. Bendesa
dan I.M. Sukarsa keduanya dari FE-Udayana memang menarik. Kedua
penulis itu juga mengungkapkan, misalnya, bahwa daerah yang
mendapat income besar dari pariwisata ternyata tidak cukup
banyak mengeluarkan biaya pembangunan. Kabupaten Badung
contohnya. Pendapatannya dari sektor pariwisata melebihi seluruh
anggaran belanja Kabupaten Buleleng, yang "miskin" di sektor
pariwisata. Tapi dalsm tahun anggaran 1972/73 dan 1975/76,
peningkatan pembangunan per kapita di Kabupaten Badung
ternyata hanya 224%, dibanding Buleleng yang 442% atau Klungkung
yang mencapai 2330%. Kenaikan di daerah minus ini nampaknya dari
pemerintah pusat. Badung, karena dianggap cukup kaya, tidak
disubsidi -- dan karena itu tak hendak berkembang.
Bagi mayoritas orang Bali, denga demikian, turisme hanya
menyentuh jauh nasib baiknya. Yang banyak mendapat uang ialah
para pemilik rumah (berkamar satu atau dua) yang biasanya dapat
menerima sampai Rp 500.000 /setahun. Yang lain, sebagian
terbesar penduduk Bali, sesungguhnya tetap seperti dulu
--sebelum bangunan megah hanya mereka bayangkan berdiri di
Kahyangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini