Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Realitas Fiksi

Cecil Mariani menggarap kertas, mempertanyakan sumber pemikiran manusia dalam realitas fiksi.

7 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Desain Ruang Lokakarya / Kerja Paralaksis Institut dalam pameran Paralaks Fiksi oleh Cecil Mariani di Galeri Kertas Studio Hanafi, Depok,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaki biru itu dipegang erat oleh tangan sesosok makhluk. Makhluk dengan mulut bertaring seperti alien itu siap mencaplok kaki biru. Kengerian lain tersirat dari bentuk goresan membentuk tubuh-tubuh terpotong. Lukisan lain menggambarkan sosok setengah badan dengan wajah tirus. Matanya terpejam dan mulut mengatup rapat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya lain dibikin dari coretan-coretan yang kuat bertenaga, membentuk semacam tubuh yang tak utuh dengan rambut berkibar-kibar. Ada pula karya dengan coretan, goresan, dan guratan dalam medium kertas berlipat-lipat dengan sentuhan warna merah, seperti memotret pikiran, laku, ketakutan, dan kemarahan yang mencuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya-karya itu merupakan bagian dari 22 karya Cecil Mariani dalam judul One Dream Collectively and Wakes Up in Individualized Nightmares. Ini adalah sebuah seri lukisan yang dipajang dalam pameran bertajuk "Paralaks Fiksi" di Galeri Kertas pada 8 Desember 2018-7 Januari 2019.

Pada karya berbeda, pengajar di Institut Kesenian Jakarta ini menuangkan mimpinya mempunyai sebuah sekolah ideal. Ia membuat sebuah kelas di galeri tempat ia mengadakan workshop melukis. Kelas tersebut terlihat berantakan dengan beragam benda, seperti kertas yang berserakan, struk belanja, dan spidol.

Di dinding terpasang beberapa kotak pembungkus kecil, sejumlah lidi hio, struk pembayaran di sebuah restoran Padang, dan tempelan kertas dari buah pikiran beberapa peserta workshop yang dinamai "Kelas Paralaks" tersebut. Workshop berlangsung beberapa kali dengan mengubah letak meja yang memiliki beragam bentuk sudut.

Di ruangan lain, Cecil membeberkan semua ide, pikiran apa itu paralaks, apa itu fiksi, serta bagaimana cara kerja dengan konsep paralaks fiksi dan nilai filosofi yang membentuk pemikiran itu. Dia menuliskan pemikirannya di dinding dan kertas yang berlipat atau origami berwarna oranye, cokelat, dan putih. Karya ini membentang sepanjang bidang dinding dalam judul Meringkus Paralaks Fiksi.

Karya berjudul Meringkus Paralaks Fiksi dalam pameran Paralaks Fiksi oleh Cecil Mariani di Galeri Kertas Studio Hanafi, Depok, 03 Januari 2019.

Karya itu, menurut Cecil, adalah elaborasi konteks gagasan kuratorial pameran dan sekolah yang belum selesai dikembangkan dari gagasan pameran. "Karya ini belum selesai. Di situ saya jabarkan peta pikiran dan gagasan serta konsep di belakang itu," ujar Cecil. 

Di bidang dinding lain, Cecil mencoba menyampaikan trauma dalam arti yang lebih positif dan luas. Menurut dia, karya ini justru muncul sebagai gagasan awal, bagaimana kertas menjadi teknologi dan material seni tanpa harus ada unsur materi lain.

Dalam karya berjudul Traumatic Folds ini, terlihat sembilan lembar kertas plano putih ditempel di dinding. Kertas itu kosong, hanya terlihat bekas lipatan-lipatan yang dimaknai sebagai bahasa dan pola baru: geometri, abstraksi pemisahan, bidang, ruang, kesinambungan, geseran bentuk bayangan, pemisahan, struktur dan proporsi, serta makna-makna baru.

"Sekali dilipat, kertas polos tak akan kembali sama. Pencanggihan dan kemunculan fiksi terjadi karena trauma peristiwa lipatan, pemotongan, pemisahan," ujar dia. Cecil juga menyertakan karya-karya para peserta workshop yang merespons konsep Paralaks Fiksi di bidang dinding lain. Beragam bentuk kertas dengan ide-ide tulisan yang muncul pun ikut tertulis di dinding. Karya mereka merupakan bagian dari tiga rangkaian konsep karya yang dipamerkan. 

Cecil membagi pameran menjadi tiga bagian, yakni pameran lukisan, kelas, dan pemetaan pikiran di bagian bawah. Seniman dengan latar desain grafis ini menyebut lukisan yang dipamerkan sebagai kedok fiksi pameran. "Karena realitas fiksi, ada fiksi yang bekerja bersama," kata dia menyebut pameran yang bagi orang lain adalah pameran dalam ukuran normatif. Bagi dia, realitas yang ada adalah fiksi. 

Lalu, kelas adalah impian, prototipe sekolah ideal yang ia inginkan. Selanjutnya, bagian ketiga, pemetaan pikiran. Ia mengakui karya-karyanya adalah upaya mempertanyakan sumber sesuatu yang absolut, cara kognitif berpikir manusia yang cenderung memberi pemaknaan tunggal pada suatu kebenaran.

Hal itu pula yang ia tangkap dari beragam respons dari karyanya. Ia tak mau terjebak dan menjelaskan karyanya. Biarlah para pengunjung melihat goresan, garis, dan guratan lukisannya, seperti ekspresi kemarahan, ketakutan, atau sesuatu yang menakutkan, respons jijik dan menyakitkan, atau mengatakannya sebagai suatu karya yang bagus dan menarik.

Menurut dia, proses itu mengalir begitu saja sebagai sebuah intuisi. Ia mengatakan tak bisa bertanggung jawab ketika goresan itu memperlihatkan kondisi marah, trauma, atau ketakutan. Sebab, menurut dia, hal itu akan selalu meleset. Ada kesenjangan atau pengalaman individu tiap orang yang melihat sebuah obyek. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus