KASUS Sulastri, pembantu rumah tangga di Jakarta yang dikabarkan dinista majikannya, dan disidangkan mulai Oktober 1989, menyentuh rasa keadilan kita. Ini menunjukkan bagaimana masih kurangnya penghargaan hak asasi manusia di antara kita. Paul S. Baut mencatat, berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, yang digambarkan aman tenteram kerta raharja, adil, dan makmur ini, tergolong memprihatinkan. Dalam Remang-Remang Indonesia (RRI), buku yang melaporkan keadaan hak asasi manusia pada kurun 1986 hingga 1987 ini, Paul memang tidak menampilkannya dalam sebuah potret lengkap yang memuat seluruh detail. Namun, fokus yang diarahkannya cukup menampilkan kemasan persoalan, sekaligus kritik kritis yang berani. Selain lantang membicarakan proses depolitisasi yang dalam lima tahun terakhir mengedepan sebagai ciri pokok sistem politik nasional, Paul juga mengusik peniadaan hak rakyat atas sumber daya strategis. Secara khusus ia juga memaparkan tuntutan keadilan atas sumber daya ekonomi, pembangunan politik dan hak-hak rakyat atas sumber daya politik, serta soal hukum dan bayang-bayang hukuman. Hukum dan bayang-bayang hukuman, demikian Paul mengungkapkan, bukan hanya soal penangkapan dan penahanan, tapi juga masalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, peradilan dan ganti rugi, hak atas lingkungan hidup, dan soal hukuman mati. Masalah tanah, yang belakangan makin sering mencuat, mendapat porsi cukup besar dalam RRI. Dalam RRI, citra pergolakan tenaga kerja pun diusik. Misalnya, di sektor tenaga kerja formal masih banyak penindasan terhadap kaum wanita -- baik tenaga kerja wanita, pembantu rumah tangga, maupun penjualan istri dan anak -- juga penipuan calon tenaga kerja, pemutusan hubungan kerja, dan masalah upah. Sedang di sektor informal, nasib pedagang asongan, pedagang kaki lima, serta pedagang pasar, tampil sebagai potret kusam hak asasi manusia Indonesia. Perlakuan tidak simpatik, yang merupakan manifestasi dikesampingkannya hak asasi manusia di Indonesia di sektor pendidikan, juga disinggung. Masalah putus sekolah dan nasib para pengajar -- terutama guru SD -- yang jauh dari memadai merupakan bagian esensial di bidang ini. RRI menyimpulkan bahwa kita masih belum bisa berlaku adil. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini