Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 1970-an, film Indonesia sedang terkena wabah pornografi. Rahayu Efendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang (1974). Suzanna tampil sebagai bintang film berani di adegan ranjang dalam film Bernapas dalam Lumpur (1970).
Serbuan film jenis ini membuat Misbach Yusa Biran geram. Dia memprotes keras, seraya memutuskan berhenti menyutradarai film. Tapi aksi ini ternyata tidak sanggup menahan laju film-film berbau porno. Tema kekerasan dan seks masih menjadi arus utama hingga dua dekade selanjutnya, bahkan masih menjadi konsumsi masyarakat hingga saat ini. Kini, tiga dasawarsa setelah itu, Misbach melukiskan perannya saat itu: ”Arus utama tetap dominan, tapi perlu ada figur idealis.”
Misbach, Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo termasuk kaum idealis. Mereka yakin film ikut mengantar penontonnya berpikiran maju, punya hati nurani, punya cita rasa. Misbach menilai masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan film sehingga bisa menakar kualitas film. Lihat Iran.
Kubu idealis memang kecil, sanggup bergerak dari festival ke festival dan mendapat tempat terhormat dalam peta film internasional.
Di mata Misbach, pembuatan film bermutu harus dibangun dari awal sekali: penulisan skenario. Dan dia pun membuat Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Misbach mengumpulkan materi kuliah sinematografi sewaktu menjadi dosen di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada 1972 hingga 1996. Diktat itu pula yang menjadi pegangan Mira Lesmana dan Riri Reza sewaktu menjadi mahasiswa Misbach.
Dalam kata pengantarnya, Misbach mengajukan asumsi yang selalu menjadi perdebatan panjang: perlu-tidaknya bakat. Misbach percaya calon penulis skenario harus lebih dulu mempunyai bakat mengarang. Dia menganalogikan penulis skenario dengan penyanyi. ”Biar belajar pada guru nyanyi paling hebat di ujung langit, kalau tidak ada bakat tidak bakal jadi pandai menyanyi,” katanya.
Tentu saja Misbach, misalnya, berbeda dengan Elizabeth Lutters. Sosok yang menulis Kunci Sukses Menulis Skenario ini merasa tidak punya bakat menulis. Elizabeth hanya punya kebiasaan menulis buku harian sejak masa sekolah menengah pertama.
Bakat juga bukan menjadi persoalan bagi Enang Rokajat Asura, penulis buku Panduan Praktis Menulis Skenario, dari Iklan sampai Sinetron. Menurut dia, kunci sukses penulis skenario adalah latihan. Bukan mengandalkan pemberian alam. ”Alam memang telah memberi talenta. Tapi talenta tidak akan menjadi apa-apa kalau tanpa proses latihan,” kata Enang dalam bukunya.
Misbach termasuk penulis skenario yang otodidaktik. Dia pertama menulis skenario dengan judul Kroncong Kemayoran pada tahun 1955, tanpa belajar teori dan teknik. Misbach hanya mengandalkan pengalaman mengetik ulang skenario karya S. Sumanto dan menjadi asisten sutradara Usmar Ismail. Studio Persari membeli naskah Misbach, yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).
Misbach terus menulis skenario tanpa pijakan pemahaman teknik dan teori. Dia mampu merampungkan karya Istana yang Hilang, Matjan Kemajoran (1965), dan Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966). Misbach mengerjakan semua skenario itu dalam tempo yang cepat dan tanpa kesulitan. Hanya, dia tidak bisa menganalisis kesalahan konstruksi dramatik skenarionya. Misbach akhirnya berpendapat, bakat tetap harus mendapat polesan dengan teknik dan teori penulisan skenario.
Skenario merupakan desain penyampaian cerita dengan media film. Cerita asalnya bisa berupa karya tulis seperti novel atau cerita pendek. Dalam bab awal, Misbach memberi bekal bagi calon penulis skenario soal cerita yang bisa dijadikan skenario. ”Sebuah karya sastra yang bagus belum tentu bagus dituturkan dalam bahasa film,” ujarnya.
Misbach juga memberi landasan pemahaman yang mendalam mengenai detail skenario. Menurut dia, penulis skenario yang baik harus menguasai prinsip kerja kamera, penataan visual, komposisi, editing, ilustrasi musik, dan akting. Misbach pun memerinci unsur media visual dan audio dalam skena-rio. Media visual terdiri dari aktor, tempat kejadian, properti, dan cahaya. Sementara audio berupa dialog, efek suara, dan ilustrasi musik. Misbach pun memberikan contoh karya film klasik seperti The Godfather.
Dalam setiap pembahasannya, Misbach selalu memberikan penekanan soal hak cipta. Bahkan dia memberikan ruang khusus pada halaman akhir. Menurut dia, penjiplakan adalah kejahatan dalam dunia seni. Misbach mencontohkan karya filmnya Ayahku yang diilhami naskah drama Jepang Cici Kaeru, atau Irisan-irisan Hati (1988) dari film Italia Sunflower (1960). Setelah menjadi film, ternyata produser tidak mencantumkan titel kreditnya. ”Ada produser yang dengan ringan menugaskan penjiplakan,” katanya.
Penulis skenario adalah sebuah profe-si. Untuk itu, Misbach mengharapkan calon penulis harus menguasai konsep dasar penulisan skenario. Dia pun berharap penulis pemula punya pemahaman soal tanggung jawab sosial sebuah skenario. ”Jangan orientasinya selalu uang. Kalau mutunya sudah terjamin, hal itu pasti menyusul,” ujarnya. Tapi, soal tanggung jawab sosial ini juga yang membuat Misbach bingung saat mendapat order menulis skenario yang menampilkan konflik keluarga secara berlebihan.
Yandi M.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo