Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rindu Janet, Rindu Jacko

Janet Jackson menggelar konser di Jakarta. Penonton histeris saat mendengar ia berduet dengan rekaman suara sang kakak, Michael Jackson.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peluh mengucur deras dari dahinya. Berbutir butir menetes ke telinga, jatuh ke leher, lalu meresap ke kostum ketat warna cokelat gelap. Kostum terusan mirip seragam Power Rangers itu khas, ada tonjolan di bagian bahu. Bersama enam penyanyi latar dengan pakaian warna militer padang pasir kecokelatan, ia mampu menjadikan panggung demikian energetik.

Padahal usianya sudah 45 tahun. Ya, Rabu malam pekan lalu, sekitar 4.000 penonton di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, menjadi saksi bagaimana stamina Janet Jackson demikian dahsyat. Entakan vokal dan gerak tubuhnya yang atraktif membuat panggung selebar 50 meter terlihat sempit. Janet sanggup membuktikan bahwa dance music tidak ada matinya.

Tanpa musisi pembuka, konser bertajuk Janet’s Number Ones, Up Close and Personal itu sempat molor setengah jam dari jadwal yang seharusnya mulai pukul 20.00. ”Sebenarnya kita ingin ada artis tuan rumah pembuka konser,” kata Willy Hidayat dari Trilogy Live, promotor konser. Tapi sang adik kandung Michael Jackson tak memberi konfirmasi ide itu. Janet agaknya harus tahu benar sisik melik artis pembuka konsernya. Cemas konser batal gara gara sang biduanita tak berkenan, rencana itu pun dihapus. ”Peralatan panggungnya saja tak boleh disentuh, kok.” Bobot mati peralatan mencapai 11 ton.

Begitu turun di Terminal 2D Bandara Soekarno Hatta sehari sebelum konser, Janet tak bisa diraih publik dan wartawan. Empat bodyguard plus 15 anggota tim sekuriti promotor terus berada di jarak sejengkal dari sang superstar. Kekerasan hati Janet menjelang konser mencair di panggung. Selama dua jam pentas, perempuan kelahiran Gary, Indiana, Amerika Serikat itu berusaha membangun suasana intim dengan para pemujanya.

Tak seperti konser konser sebelumnya di berbagai negara, di Jakarta Janet sering berada dalam posisi terdekat dengan penonton. Beberapa kali dia mengajak penonton turut bernyanyi sambil menggerakkan tangan ke arah publik. Meski sound system terdengar kurang bersih—beberapa kali suara pecah dan cempreng—penonton tak begitu peduli. Mereka hanyut dalam gerakan Janet dan keenam penari latarnya.

Janet adalah bagian dari kejayaan musik R&B. Malam itu ia seolah ingin membuktikan bahwa R&B adalah napas anak muda. Bahwa R&B adalah ruang kegelisahan sekaligus katarsis, penumpahan diri anak muda. Ia setia pada jalur R&B dan dance music. Malam itu ia mempersembahkan lagu All Nite (Don’t Stop) dari album Damita Jo (2004) buat penggemarnya di Jakarta. Lagu itu masuk album kompilasi Number Ones, yang dilempar pada November 2009. Mayoritas dibawakan di Jakarta. ”I love Jakarta,” kata Janet beberapa kali.

Di setiap lagu yang dinyanyikan, gemuruh suara penonton membahana, ikut bernyanyi, hafal di luar kepala. Seperti ketika That’s the Way Love Goes, hampir tak ada penonton yang membisu. Lagu itu di sini pernah demikian populer, sampai sampai grup komedi Padhyangan Project memelesetkan menjadi lagu Nasib Anak Kost. Begitu pula ketika All for You, Nothing, Again, Be Back, Escapade, Black Cat, If I was Your Love, Let’s Wait a While, Nasty, dan Rhythm Nation.

Yang menarik kita lihat adalah betapa dalam aksi panggungnya Janet sangat memperhatikan koreografi tari. Adapun koreografi itu bukan sekadar ilustrasi, karena dia sendiri ikut terlibat. Penampilan Janet boleh dibilang amat prima. Konsistensi mengatur nada dan gerak amat terjaga. Ia bisa mengimbangi gerak para penarinya yang usianya jauh di bawahnya. Koreografi sulit pun terasa ringan dibawakan. Terasa betul persiapan latihan cukup panjang dan matang. Tak terdengar suaranya sumbang atau dengus napas kelelahan. Padahal delapan lagu di penampilan awal hampir tanpa jeda hingga break.

Sementara penyanyi lain yang dalam pentasnya juga mengandalkan koreografi, saat menyanyi sambil menari, sering menggunakan trik backing vocal untuk menutupi kelemahan vokalnya, tidak demikian dengan Janet. Suaranya tetap jelas saat ia bergerak. Yang juga luar biasa, saat perpindahan dari lagu dance music yang bergemuruh ke yang agak mellow, secara vokal, suaranya tidak ngeloyor. ”Itu berisiko sekali, tapi kita lihat Janet Jackson luar biasa, mampu mengatasi,” kata pengamat musik Bens Leo, yang malam itu menonton. Janet juga kita lihat terjaga kewaspadaannya. Ketika topeng bergaris garis yang menutupi wajah seorang penari bergeser dari posisi dan hampir jatuh, hal itu tak mempengaruhi konsentrasi geraknya.

Menuju tengah pentas, sebuah video disorot ke layar raksasa di belakang panggung musisi. Video itu menyuguhkan nukilan peristiwa yang dialami Janet mulai anak anak, remaja, hingga dewasa. Yang paling menohok kita adalah fragmen yang berisi kemarahannya terhadap tim artis musisi pendukungnya. Film itu menyuguhkan Janet mengusir krunya keluar dari rumah sembari membanting dan memecahkan semua perabotan dengan tongkat. Aneka koleksi hiasan kaca, keramik, dan kaca pintu jendela hancur berantakan. Seorang penulis musik pernah mengatakan bahwa lirik lirik lagu Janet sesungguhnya mencerminkan kehidupan personal Janet. Lirik liriknya mengandaikan perjalanannya meredefinisi lagi dirinya. Makin dewasa, bila dicermati, lirik lirik lagu Janet makin seksual.

Setelah video ”penghancuran” itu, panggung mendadak gelap. Janet keluar dengan gaun panjang ungu muda. Bahunya berhias tonjolan perhiasan warna perak. Hiasan dari bahan logam itu terhubung oleh rantai rantai, menempel di tangan hingga melingkar di punggung.

Selama pementasan, Janet dan penari latarnya berganti kostum empat kali. Kostum ketiga yang dia kenakan berupa rompi hitam dengan kerah putih, bercelana panjang hitam. Sepatu lars gaya militer hitam ditambah aksesori logam di sekujur badan membuat panggung bernuansa maskulin. Para penari latar, dengan kostum model baju kasual, mengubah gerakan lebih teatrikal.

Konser ini merupakan bagian dari tur dunia. Selain di Jakarta, digelar di Eropa, Australia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong. Di Indonesia, pertunjukan ini terselenggara atas kerja sama Trilogy Live, Berlian Entertainment, dan Mahkota Production. ”Desakan fan Janet di Indonesia turut membuatnya mau datang ke Jakarta,” kata Willy Hidayat.

Dengan tiket masuk Rp 900 ribu hingga Rp 5 juta, suasana panggung lumayan megah. Tata lampu dan posisi panggung memompa suasana interaktif. Janet terlihat tampil all out, seperti ingin menebus kariernya yang sempat redup. Pencinta kuda yang dipaksa sang ayah menjadi penyanyi seperti kakak kakaknya di Jackson Five itu tahu benar bagaimana pulih dari keterpurukan. Hal itu telah dia pahami sejak usia dini.

Pada 1978, Janet berhasil merilis Love Song for Kids, duet bersama Randy, sang kakak. Pada usia 16 tahun, ayahnya memanajerinya dan membuatnya kian populer. Album perdana pada 1982 meroket, mencapai posisi enam dalam Billboard Hot R&B Album Chart.

Pada 1984, Dream Street diproduksi, melibatkan kakak kakaknya: Marlon, Tito, Jackie, dan Michael Jackson. Sayang, album ini kurang bergema, hanya berada di posisi sembilan dalam Billboard Hot R&B Album Chart.

Pada album ketiga, Janet memisahkan diri dari sang ayah, Joseph Jackson, dan saudara saudaranya. Lalu dia mengangkat John McClain menjadi manajernya. Selama enam minggu, lahirlah album Control, yang langsung berada di posisi Billboard 200 pada 1986. Setelah itu, sukses terus merajalela. Semua album yang dia keluarkan laris manis di pasaran. Pada Mei 1993, Janet merilis album kelima, Janet, dan langsung meraih sukses besar. Single dalam album ini, That’s the Way Love Goes, berhasil meraih Grammy pada 1994, kategori Best R&B Song.

Bagaimanapun, Jackson tetaplah Jackson. Meski sempat retak di awal karier, Janet tak terpisah dengan saudaranya. Terasa benar histeria penonton pada akhir konser, ketika Janet melantunkan Scream, yang dia nyanyikan bersama Jacko, sang kakak. Nukilan klip video Michael Jackson yang disorot ke layar lebar membuat Plenary Hall bagai hendak pecah. Lengkingan khas Jacko membuat sang legenda musik pop itu seperti hidup kembali. Beberapa penonton terlihat menangis ketika melihat adegan itu. ”Ini inti pementas­an menurut saya,” kata Bens Leo.

Kehadiran Janet seolah memenuhi kerinduan publik pada Jacko, yang hingga akhir hayatnya tak pernah berkesempatan pentas di Indonesia.

Dwidjo U. Maksum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus