Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah-kisah ’Ojo Lali’

Fotografer Suriname, Matte Soemopawiro, bercerita tentang kehidupan orang-orang keturunan Jawa di Suriname yang setia menjaga tradisi leluhur.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas selembar tikar, perempuan dan laki laki itu duduk berselonjor kaki. Tiga perempuan setengah baya sibuk membaluri tubuh keduanya yang hanya tertutup selembar kain batik itu dengan ramuan tepung beras bercampur kunyit. Senyum lebar terlukis di wajah sang lelaki saat juru rias mengolesi punggungnya. Dua sejoli itu adalah sepasang calon pengantin. Ritual ini menjadi salah satu bagian dari rangkaian upacara pernikahan yang harus dilewati mereka sebelum bersanding di pelaminan.

Momen bersejarah itu tertangkap kamera Matte Soemopawiro, fotografer kelahiran Suriname yang lama menetap di Belanda. Dengan kameranya, dia mengikuti seluruh rangkaian upacara pernikahan dengan adat Jawa yang kental itu. Lihatlah bagaimana kedua orang yang sudah didandani rapi dengan pakaian pengantin lengkap itu dipertemukan dalam upacara panggih. Juga ketika mereka makan bersama di ranjang pengantin. ”Momen momen unik hanya hadir satu kali,” kata Matte, yang kelihatan telaten mengikuti momen demi momen.

Matte bukanlah juru foto spesialis perkawinan. Lelaki yang tiga tahun belajar fotografi di Amsterdamse Academie ini mengaku tertarik oleh apa yang disebutnya fotografi kebudayaan. Foto foto ritual pernikahan itu menjadi istimewa karena terjadi nun jauh di negeri seberang, Suriname. Dalam pameran foto bertajuk Migrasi Warisan Budaya: Cerita cerita Orang Jawa di Suriname, Indonesia, dan Negeri Belanda, yang digelar di Pusat Kebudayaan Belanda (Erasmus Huis) sejak 20 Januari hingga 18 Februari 2011, foto foto itu dipamerkan bersama 20 karyanya yang lain.

Melalui foto foto itu Matte mengungkapkan identitas dan budaya orang orang keturunan Jawa yang tinggal di Suriname dan Belanda. Meskipun lebih dari seratus tahun meninggalkan tanah air, mereka tetap teguh memegang tradisi. Tradisi tradisi yang biasa kita lihat di Jawa nyatanya juga dilakukan di sana—tradisi yang mewarnai kehidupan, dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.

Matte, misalnya, menghadirkan foto yang menggambarkan ritual memandikan calon ibu ketika usia kandungannya tujuh bulan, yang dikenal dengan istilah mitoni. Sang calon ayah harus membelah kelapa dengan golok yang telah disiapkan hanya dengan sekali tebas. Air buah kelapa ini kemudian ditumpahkan ke pangkuan sang calon ibu.

Tak hanya berbagai upacara ritual, kesenian Jawa seperti tari serimpi dan tari jaran kepang (tarian kuda) serta pencak silat tak luput dari bidikannya. Di salah satu foto, misalnya, tampak kerumunan orang menyaksikan pertunjukan tari jaran kepang yang digelar di jalan raya, di antara gedung gedung megah. ”Iki ben kowe ojo lali asalmu soko ngendi (pameran foto bertujuan agar kamu jangan lupa dari mana asal usulmu),” Matte menjelaskan makna pameran fotonya.

Matte adalah generasi muda keturunan orang Jawa yang datang ke Suriname lebih dari seratus tahun silam. Sepanjang 1890 1939, lebih dari 30 ribu orang Jawa diangkut menggunakan kapal ke Paramaribo, Suriname. Kisah perjalanan orang orang Indonesia ke Suriname ini terekam dalam sejumlah foto yang turut dipajang dalam pameran yang dibuka oleh Wakil Duta Besar Kerajaan Belanda Annemieke Ruigrok dan Wakil Duta Besar Republik Suriname Toekiman Saimbang ini. Salah satu foto milik Koninklijk Instituut voor Taal , Land en Volkenkunde (KITLV) atau Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia memperlihatkan orang orang Indonesia yang baru saja turun dari kapal yang tiba di Suriname. Mereka kemudian dipekerjakan di perkebunan perkebunan milik Belanda di Suriname.

Setelah menyelesaikan kontrak kerja, para buruh kontrak Jawa dari Hindia Belanda itu diberi pilihan: kembali ke Jawa atau menetap di Suriname. Sebagian besar memilih menetap di Suriname, yang akhirnya menjadi tanah air kedua. Ketika Suriname merdeka dari Belanda pada 1976, sebagian orang Indonesia di sana tetap tinggal di Suriname, tapi ada juga yang kemudian memutuskan pindah ke Belanda.

Saat ini, populasi orang Jawa Suriname di Belanda sekitar 30 ribu jiwa. Meskipun populasi orang Jawa di Belanda terbilang kecil jika dibandingkan dengan warga keturunan lainnya, komunitas ini sangat dinamis. Hingga saat ini, komunitas keturunan Jawa di Belanda tidak terlalu mendapat sorotan media dan publik secara umum. Kelompok seni, seperti pemain gamelan dan penari Jawa serta grup musik yang kerap membawakan lagu lagu pop Jawa, juga bertebaran di berbagai kota besar di Belanda.

Meski tak ingat lagi silsilah keluarganya, Matte mengaku orang tuanya berasal dari Jawa Timur. Pada 1975, sewaktu berumur enam tahun, dia dibawa bibinya ke Belanda. Selain berbahasa Inggris dan Belanda, dia fasih berbahasa Jawa, walaupun bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa yang biasa dipakai dalam percakapan antarteman. Matte sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. ”Rasane mak deg (rasanya berdebar debar),” begitu kata Matte saat foto fotonya tentang kebudayaan Suriname terpilih untuk dipamerkan di Erasmus Huis.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus