Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Kedutaan Hijau di Menteng

Pemerintah Austria membangun gedung kedutaan ramah lingkungan dan lestari. Postur sederhana, dan tidak menggunakan mesin penyejuk udara.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Romo Adolf Heuken, 82 tahun, mungkin akan terkejut oleh kehadiran gedung Kedutaan Besar Austria di antara langgam arsitektur bergaya Indische bouwstijl di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Penulis buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia (2001) itu kecewa karena bangunan karya arsitek Belanda, P.A.J. Moojen, yang bergaya tropis abad ke 19 terkontaminasi oleh deretan bangunan asal jadi yang bergaya campur aduk di kawasan Menteng.

Kedutaan Besar Austria di Jalan Diponegoro akan muncul berbeda sama sekali. Bangunan yang akan selesai Mei nanti itu berbentuk satu kotak besar, diapit dua kotak berukuran lebih kecil. Tapi, jika Heuken tahu prinsip pembangunan kantor berlantai dua yang berdiri di lahan seluas 1.136 meter persegi itu, dia pasti tak kecewa. Sebab, setiap elemen bangunan berprinsip hemat energi dan ramah lingkungan.

Mulai lantainya, karya arsitek Austria, Fritz Oettl, dari biro arsitek POS Architekten itu dibuat berbeda dengan bangunan biasa yang hanya memakai satu lapis beton. Bangunan ini memakai dua lapis beton pada lantai, yang bagian tengahnya dialiri pipa closed circuit berisi air dingin. Jendela dipasang tidak hanya berfungsi untuk pencahayaan alami, tapi juga sebagai alat buat memanfaatkan panas udara luar menjadi dingin di dalam ruangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya gas argon di tengah lapisan kaca.

Kedua sistem tersebut dapat membuat suhu di dalam bangunan terjaga pada 25 derajat Celsius, dengan kelembapan 60 persen. Dinding dindingnya memakai sistem insulasi suhu dan udara sehingga tidak ada yang terbuang ke luar bangunan sia sia. Jadi bangunan ini tidak membutuhkan penyejuk udara. ”Kami dibilang gila karena tidak memakai AC di Jakarta,” ujar Konselor Kedutaan Besar Austria di Jakarta, Michael Jan Swoboda, Selasa pekan lalu.

Demi menghemat listrik, gedung ini memakai panel surya seluas 96 meter persegi. Penghematannya bisa mencapai 22 persen dari konsumsi listrik bangunan konvensional. Lampu lampu diletakkan dengan memakai sensor pendeteksi. Ketika cahaya matahari cukup menerangi ruangan, lampu mati secara otomatis.

Penghematan juga diterapkan pada pemakaian air. Tidak ada air yang terbuang sia sia. Sumur resapan ditempatkan di sekeliling bangunan untuk menampung air hujan (harvest rainwater). Sebagian air hujan juga masuk ke tempat pengolahan air sehingga bisa dipakai buat menyiram tanaman dan toilet.

Oettl menghitung desainnya bisa menurunkan penggunaan energi hingga 85 persen dari standar bangunan kantor serupa di Jakarta. Angka tersebut setara dengan 73 ton per tahun emisi gas karbon dioksida. Arsitek itu memanfaatkan jajaran pohon bambu pada bagian luar bangunan yang berfungsi sebagai penyerap gas karbon dioksida. Letak bangunan yang menghadap ke barat laut menjadi tantangan tersendiri bagi arsiteknya. Jendela jendela pada muka dan belakang bangunan dipa­sangi kisi kisi kayu supaya cahaya matahari tidak terlalu banyak masuk ke dalam bangunan.

Bangunan kotak sederhana itu sengaja dipakai Oettl supaya terkesan ramah dan terbuka terhadap siapa pun. Arsitek itu juga ingin menghadirkan kesan hening ketika orang masuk, dengan tidak menggunakan banyak perabot serta memakai warna dominan putih dan abu abu.

Desain bangunan ini merupakan hasil sayembara renovasi kantor kedutaan di Jakarta yang diadakan pemerintah Austria pada 2008. Konsepnya harus bangunan ramah lingkungan. Pemerintah Austria ingin menjadi negara yang pertama menerapkan model bangunan seperti itu di Asia Tenggara.

Dua arsitek Indonesia menjadi juri di Austria dalam sayembara tersebut. Salah seorang juri, Budi Sukada, menyatakan tak banyak yang mengikuti sayembara ini karena syaratnya harus arsitek muda berumur 20 40 tahun. ”Sekalian ajang promosi arsitek muda asal Austria,” katanya.

Menurut Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia itu, hasil rancangan POS Architekten unggul dibanding yang lain karena bisa memberikan rasa aman dan privasi kepada orang di dalamnya. Namun privasi ini tidak dihasilkan dari desain yang tertutup terhadap sekitarnya. Malah sebaliknya, bangunan terasa menyatu dengan alam dan lingkungan. Oettl juga berhasil menghitung suhu dan kelembapan yang pas untuk bangunan tersebut.

Konsep mendinginkan atau memanaskan bangunan di negara empat musim sudah awam dilakukan karena mereka memiliki teknologi untuk menghitungnya. Karena itu, Jatmika Suryabrata, partner arsitek dalam proyek pembangunan kantor Kedutaan Besar Austria itu, sedikit khawatir dengan keberhasilan sistem mendinginkan bangunan yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia ini. ”Di atas kertas bisa,” ujarnya.

Jatmika juga mengakui proyek pekerjaan pembangunan tersebut berjalan lambat. Sebab, detail dan perhitungan bangunan dilakukan dengan sangat hati hati. ”Dalam proses pembangunan biasa, gedung 20 lantai bisa selesai dalam setahun,” katanya.

Ongkos konstruksi, menurut Swoboda, lebih mahal 30 persen dibanding bangunan biasa. Beberapa material, terutama untuk sistem mekanik dan kelistrikan, masih diimpor. Namun, dengan penghematan energi yang dihasilkan, dalam empat lima tahun ditaksir semua itu terbayar. Ia berharap pada Mei 2011 bangunan ini sudah dapat digunakan. Bahkan, akhir Februari ini, bangunan sudah dinyatakan selesai. Para pekerjanya tampak tengah memasang kisi kisi kayu pada bagian mukanya. Tahap pengecoran lantai dan rangka bangunan juga telah rampung.

Arsitek Bambang Eryudhawan, yang hadir saat Duta Besar Austria melakukan presentasi untuk memperkenalkan calon kantornya, menyambut baik bangunan ramah lingkungan itu. ”Walaupun berbeda dengan Menteng yang diidamkan. Kita perlu contoh bangunan yang ramah lingkungan seperti itu,” ujarnya.

Ketua Konsil Bangunan Hijau Indonesia Naning Adiwoso menyatakan bangunan Kedutaan Besar Austria sesuai dengan prinsip green ship–kriteria dalam konsep gedung hijau ala Indonesia. Bangunan itu diberi peringkat gold, satu tingkat di bawah platinum. ”Kami berharap bisa diikuti kedutaan lain.”

Ahmad Taufik, Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus