MASIH ada kasta di Bali? Dalam Karya Agung di Pura Besakih, Bali, akhir Maret lalu, sulinggih dari tiga warga (Warga Pasek, Warga Pande, dan Warga Bhujangga Waisnawa), yang mewakili sekitar 80% umat Hindu di Bali, tak diikutsertakan. Padahal, upacara besar keagamaan yang hanya berlangsung setiap 100 tahun itu adalah upacara yang bertujuan menyejahterakan alam dan isinya, yang mestinya melibatkan seluruh umat Hindu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh ketiga warga ini agar panitia Karya Agung (artinya upacara besar) melibatkan mereka. Misalnya, sebulan sebelum Karya Agung berlangsung, Jro Mangku Gde Ktut Subandi, koordinator ketiga warga itu, mengirim surat permohonan untuk berdialog dengan panitia. Tapi tak ada tanggapan. Lalu mereka minta tolong ke Parisadha Hindu Dharma Indonesia. Hasilnya tak memuaskan ketiga warga ini. Mereka dipersilakan hadir di Pura Besakih, tapi sebatas di depan bangunan suci. Artinya, pendeta tiga warga tersebut memuja di bawah para pendeta Brahmana itu. ''Itu keputusan yang sangat merendahkan,'' kata Subandi. Adapun panitia Karya Agung merasa tak membeda-bedakan. Mereka hanya berpegang pada tradisi yang berlaku selama ini. Menurut tradisi di Bali, kata Ida Bagus Gde Agastia, ketua panitia, yang juga Ketua Parisadha Hindu Dharma Pusat, pengantar upacara selama ini hanyalah pendeta Tri Sadaka: Syiwa, Budha, dan Bhujangga, yang ditunjuk. Kebetulan, pendeta-pendeta wakil tiga warga itu tak terpilih. Nah, di sinilah muncul prasangka-prasangka yang mengacu pada masih dipegangnya sistem kasta di Bali. Menurut Ketut Wiana, wakil sekjen Parisadha Hindu Dharma, dan Ida Bagus Punyatmaja, bekas ketua organisasi Hindu tersebut, dua di antara warga yang tak terwakili itu, yakni Warga Pasek dan Pande, ''sering disebut sebagai jaba.'' Harap maklum, jaba ini berarti golongan di luar kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Dari kenyataan ini memang mudah orang menuduh bahwa tak terpilihnya para pendeta dua warga ini karena mereka mewakili warga yang kebanyakan anggotanya bisa digolongkan jaba. Kalau tuduhan itu benar, memang panitia Karya Agung telah membuat diskriminasi. Sebab, itu bertentangan dengan ajaran Hindu sendiri. Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama, I Gusti Agung Gde Putra, pernah mengatakan, ''Di tubuh agama Hindu sama sekali tak dikenal pembagian kasta.'' Istilah kasta yang selama ini dikenal di masyarakat (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra), adalah warna atau fungsi tiap-tiap anggota masyarakat yang tak mengacu ke derajat. Lebih tegasnya, ''siapa pun dia, tak peduli anak siapa dan berasal dari mana, bisa masuk kategori brahmana (kaum ulama), ksatria (pemerintah), waisya (petani dan pedagang), maupun sudra (pelayan dan buruh),'' kata Gde Putra. Dan uraian ini ada dalam kitab Weda, kitab suci umat Hindu. Memang, tafsiran soal warna itu berkembang. Raka Santeri, budayawan Bali, dalam buku Kesalahpahaman Kasta di Bali (akan terbit), kasta baru muncul setelah Bali ditaklukkan Majapahit pada masa Mahapatih Gajahmada. Persisnya, pada masa Sri Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja Bali yang baru. Sejak itulah, sistem warna (lapangan pekerjaan) perlahan-lahan berubah menjadi sistem wangsa, yang secara umum dapat disebut sebagai ''sistem kasta khas Bali''. Waktu itu kasta-kasta tingkat tinggi dimonopoli oleh elite Majapahit. Sedangkan untuk masyarakat Bali, keturunan raja dan kesatrianya yang menolak kasta dikelompokkan sebagai sudra, kasta terbawah. Belakangan mereka ini menyebut dirinya sebagai jaba, yang berarti golongan di luar kasta. Berbagai upaya dilakukan untuk menghapus tradisi kasta ini. Parishada Hindu Dharma, misalnya, mengangkat anggotanya dari berbagai golongan. Meskipun demikian, seperti diakui Raka Santeri, di beberapa tempat, terutama di pedesaan, yang masyarakatnya belum begitu ''terbuka akan kemajuan'', membicarkan soal kasta harus hati- hati. Soalnya, masih ada yang berpendapat bahwa status sosial yang pernah diraih para leluhur mereka dahulu harus dilestarikan, dengan memberikan status sosial yang sama untuk keturunannya. Tapi benarkah panitia Karya Agung dalam memilih pendeta untuk upacara besar ini terpengaruh soal kasta? Kata Ida Bagus Gde Agastia, salah seorang ketua panitia, memilih pendeta untuk membawakan upacara tak bisa sembarangan. Kata dia, yang menentukan pilihan itu adalah sebuah tim khusus pendeta, antara lain beranggotakan nabe, guru para calon pendeta. Jadi, anggota Tri Sadaka tak asal ditetapkan. Malah dalam beberapa kasus, kata Agastia lagi, ada pendeta yang menolak diikutsertakan untuk membawakan sebuah upacara karena merasa tidak mampu. Masalah dalam Karya Agung kini, menurut Agastia lebih lanjut, karena masing-masing pihak memandang dari sudut yang berbeda. Ketiga warga yang kecewa itu, katanya, memandang dari segi politis, sedangkan panitia melulu menganut tradisi dan mengambil jalan spritual. Bila tradisi dan masalah spiritual membawa masalah, tampaknya memang ada yang perlu dibenahi. Dan itu dijanjikan oleh Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Ia berharap dalam Karya Agung Eka Bhuwana tahun 1994, kelanjutan dari rangkaian upacara seratus tahun ini, pendeta dari ketiga warga yang tersisihkan itu bisa dilibatkan. Julizar Kasiri (Jakarta) dan Putu Fajar (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini