Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Takut terkutuk

Warga tak sama dengan kasta. sebab lebih dekat artinya dengan garis keturunan yang berbau spiritual. kini, banyak orang luar datang ke bali mencari garis leluhurnya: takut dikutuk.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA bhisama yang menjadi pegangan umat Hindu di Bali. Bhisama atau fatwa itu demikian: ''Bila kamu tak menyembah padaku lewat dari sepuluh hari piodalan, maka hidupmu tak menentu.'' Maksudnya, kurang lebih, bila umat Hindu di Bali tak melakukan pemujaan terhadap leluhurnya ia akan terkena kutukan. Kutukan itu, umpamanya, bisa dalam bentuk sering cekcok di rumah tangga. Atau, rezekinya sempit meskipun ia sudah bekerja keras. Untuk menghindari kutukan leluhur itulah, menurut Raka Santeri, salah seorang sesepuh warga Bhujangga, orang Bali lalu menelusuri garis keturunannya. Menurut Raka pula, akibat penelusuran itu sejumlah orang kemudian menyadari bahwa leluhur mereka sama. Inilah cikalbakal yang kini disebut ''warga'', yakni kelompok masyarakat berdasarkan garis keturunan. Tradisi semacam ini, kata Raka, sebenarnya sudah berjalan sejak zaman Mpu Kuturan, yang hidup di abad ke-11 Masehi. Dan tradisi itu makin berkembang setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada abad ke-16 Masehi. Banyak para ksatria dari kerajaan itu yang lari ke Bali, lalu membentuk Warga Arya. Dalam perjalanan waktu, jumlah warga-warga itu terus berkembang. Sekarang ini, menurut catatan Jro Mangku Gde Ktut Subandi, seorang yang ahli dan hafal soal silsilah, ada 26 warga di Bali. Di antaranya: Warga Brahmana Ciwa, Brahmana Buda, Warga Ksatria Dalem, Warga Ksatria Manggis Gianyar, Warga Ksatria Taman Bali, Warga Sangging, Warga Kayu Selem, Warga Wilis, dan tentunya termasuk juga Warga Pasek, Warga Pande, dan Warga Bhujangga Waisnawa yang merasa dikecewakan pada Karya Agung akhir Maret lalu itu. Soal warga tidak hanya berlaku bagi orang Hindu yang ada di Bali saja. Untuk orang yang berada di luar Bali, misalnya, bila pulang ke Bali ia otomatis masuk warga tertentu sesuai dengan garis keturunan. Itu bisa ditemukan dengan menelusuri silsilahnya. Sampai kini, menurut pengakuan Subandi, masih banyak orang Hindu di Bali yang mengacuhkan ikhwal warganya. Itu terbukti dengan banyaknya orang yang datang ke rumah Subandi untuk menelusuri silsilah warganya. Melihat begitu banyaknya warga di Bali, tentu ada kemungkinan terjadi pindah warga. ''Itu sangat mungkin,'' kata Subandi. Itu terjadi, misalnya, garis keturunan yang sebenarnya baru diketahui setelah ia menjadi warga tertentu. Jadi, kata Subandi, perpindahan itu bukan atas kehendak pribadi atau dilakukan tanpa alasan. Soalnya, kata Subandi, mereka itu takut terkena sanksi yang bersifat spritual itu: kutukan para leluhur. Meskipun berbau primordial, warga tidak bisa disamakan dengan kasta. Soalnya, kata Raka Santeri, warga merupakan kumpulan orang yang berdasarkan garis keturunan, sedangkan kasta pada perbedaan harkat, martabat, dan derajat manusia. Dengan lain kata, kasta itu lebih mengacu kepada kepentingan status sosial, sedangkan warga pada garis keturunan yang berbau spritual. Meskipun sudah jelas perbedaannya, hal itu tidak menutupi terjadinya semacam persinggungan antara kasta dan warga. Umpamanya, pada Warga Arya. Warga Arya, kata Raka Santeri, selalu merasa lebih tinggi kedudukannya daripada Warga Pande. Soalnya, dalam pengamatan Raka Santeri, ada beberapa orang dari warga itu dengan sadar mengakui dirinya keturunan bangsawan Majapahit. Barangkali faktor inilah yang menimbulkan protes dari tiga warga besar di Bali itu pada Karya Agung akhir Maret lalu. JK (Jakarta) dan PF (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus