Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Roro Mendut Masih tanpa Rokok

Retno Maruti, bekerja sama dengan perupa Nindityo Adipurnomo, menampilkan karya lawasnya, Roro Mendut, dalam pembukaan Indonesia Dance Festival. Ekspektasi bahwa kolaborasi itu akan menghasilkan tontonan lain tidak terpenuhi.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Roro Mendut mencabut keris Tumenggung Wiroguno yang menancap di tubuh Pronocitro, kekasihnya. Ia mengayun-ayunkan keris itu. Tumenggung Wiroguno, lelaki tua panglima Mataram itu, berusaha meminta kerisnya. Terjadi perebutan. Dan tragedi pun terjadi. Keris itu menancap di perut Roro Mendut.

Tirai kain merah meluncur. Panggung semburat cahaya merah mengandaikan darah dan dukacita.

Tapi klimaks kematian Roro Mendut malam itu terasa kurang liris. Dan tak terasa sebagai sebuah ujung dramaturgi yang menyentak. Biasanya Retno Maruti, yang menampilkan karya lawasnya, Roro Mendut, empu dalam pengujung. Kita ingat bagaimana adegan terakhir pementasan Sekar Pembayun, beberapa tahun lalu, di Gedung Kesenian Jakarta. Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati, dan kekasihnya, Ki Ageng Mangir, sang pemberontak, bersimpuh di kaki Panembahan. Dalam gerakan cepat, kepala Mangir ditetak oleh Panembahan. Cahaya merah muncrat membasuh ruangan. Seketika pertunjukan usai. Terasa perasaan kita sendiri yang terpancung. Kita tercenung, Raja Mataram yang agung itu ternyata memiliki sisi jiwa kerdil.

Itu yang tak terjadi kali ini. Retno mengajak Nindityo Adipurnomo berkolaborasi. Atas kerja sama dua tokoh ini, tak salah bila ada yang berekspektasi tinggi. Nindityo perupa yang dikenal sering mengolah idiom Jawa. Ia suka bereksperimen menjadikan bentuk sanggul sebagai obyek instalasi kontemporer. Salah satu karyanya yang sukar dilupakan adalah tatkala ia menggantung sebuah patung bentukan abstraksi sanggul, yang jika kepala penonton disurukkan ke sanggul itu akan terdengar suara riuh aneka macam.

Keterlibatan perupa atau bahkan arsitek dalam tari klasik akhir-akhir ini cukup memberi sumbangan. Jay Subiyakto membikin panggung miring dalam pentas Matah Ati. Koreografi yang biasa-biasa saja menjadi menarik karena faktor panggung itu. Terakhir, perupa Sri Astari membuat instalasi gelung konde raksasa dalam pentas Pulung Drupadi. Gelung konde yang diletakkan di tengah menjadi fokus dari pergerakan koreografi. Iring-iringan para Pandawa mangkat ke surga dalam adegan terakhir menjadikan gelung itu simbol gerbang surga.

Sesungguhnya kisah Roro Mendut memiliki potensi visual yang menantang. Sosok Mendut dalam cerita rakyat dikenal sebagai perempuan cantik yang dibesarkan di kampung nelayan Kadipaten Pati, pantai utara Jawa, yang menolak cinta Wiroguno, panglima perang Sultan Agung. Wiroguno, yang marah, mengharuskan Roro Mendut membayar pajak kepada Mataram. Untuk itu Mendut menjual rokok yang pernah diisapnya (sebagai tanda kemuakan) dengan harga mahal. Nindityo, misalnya, bisa memvisualisasi perlawanan Mendut ini dengan membuat instalasi puntung rokok raksasa di panggung.

Namun skenografi demikian tak bakal terjadi karena Retno Maruti tetap mempertahankan Roro Mendut tanpa imaji rokok atau puntung. Karya ini pertama kali dipentaskan Retno pada 1979. Ketika itu dia melawan tafsir kebanyakan. Selain sikap pembangkangannya, sosok Roro Mendut dalam kisah rakyat sering diasosiasikan dengan erotisme pesisiran. Mendut dikenal suka melinting rokok dengan lem dari jilatan lidahnya. Sesuatu yang bisa ditarik ke arah yang sensual. Namun Roro Mendut di tangan Retno Maruti bukan seorang perempuan "pemberontak" bertipe demikian. Retno sengaja memilih Roro Mendut sebagai sosok lembut, teguh hati, anggun, dan keras.

"Saya memang memilih Roro Mendut yang punya kekukuhan hati. Itu terwujud dalam adegan saat ia berdialog dengan Nyi Menggung," katanya kepada Tempo. Dialog ini muncul saat Nyi Menggung Wiroguno (diperankan Retno Maruti) berusaha membujuk Roro Mendut agar mau diperistri Wiroguno. Nyi Menggung berjanji menjadikannya perempuan terhormat. Bagi Mendut, menjadi wanita utama adalah berbakti, kukuh, dan tangguh merengkuh cita-cita luhur. "Saya bersumpah, lebih baik mati merengkuh martabat cinta sejati," begitu diucapkan Mendut.

Retno pun tak menunjukkan Tumenggung Wiroguno yang dalam kisah rakyat sering dipersonifikasikan sebagai sosok mata keranjang, tua-tua keladi. Dia memunculkan panglima Mataram itu tetap gagah, tegar, dan tak larut ketika Roro Mendut tewas. "Saya menghormati Wiroguno sebagai sosok panglima perang, bukan orang tua yang giginya tinggal dua dan mata keranjang," ujarnya.

Pilihan ini, menurut Retno, muncul setelah ia berdialog dengan Djadug Jayakusuma (almarhum), sutradara teater dan film yang memiliki perhatian besar pada seni tradisional. Retno saat itu bertanya kepada Djadug apakah lebih baik ia menampilkan Mendut konvensional yang mengisap rokok atau Mendut dalam bentuk lain yang kukuh hati. Djadug, menurut Maruti, menyokong pilihannya: Roro Mendut yang bukan seorang putri boyongan rokok.

Lima kali mementaskan Roro Mendut, Retno kukuh tak melakukan pembacaan ulang. Ia tak tergoda menghidupkan sosok perempuan pesisiran. Ia juga tak mengikuti tafsir novel Roro Mendut dari Romo Mangunwijaya (almarhum), yang lebih menampilkan figur Mendut sebagai perempuan trengginas yang berani mengungkapkan pikiran-pikirannya. "Secara content, Retno selalu memilih bentuk yang tidak vulgar atau norak, tapi interpretasinya jelas," ujar pengamat tari Sal Mugiyanto.

Koreografi dibuka dengan sorotan animasi garapan Nindityo. Layar menampilkan gambar goresan seperti seperti mikrofon yang berubah menjadi bonggol tulang lalu tusuk konde. Dalam beberapa adegan­, untuk menunjukkan konteks pesisiran, Nindityo memasang properti berbentuk seperti cangkang keong. Properti itu sekaligus digunakan sebagai perwujudan harta rampasan. Dari langit-langit panggung, kemudian Nindityo menurunkan empat pilar bercahaya sebagai asosiasi saka guru pendapa kadipaten. Lalu tirai-tirai untuk backdrop.

Secara keseluruhan, penanganan visual Nindityo hanya sebatas aksen. Obyek dihadirkan sebagai ilustrasi semata. Dia tidak menampilkan sebuah obyek yang menjadi sentral dramaturgi di panggung. Ia tak menempatkan suatu obyek yang mempengaruhi gerakan blocking koreografi. Tampak ia terasa tak ingin mengganggu pakem. Ia terlalu berhati-hati. Porsinya terlalu kecil untuk sebuah pertunjukan yang mengatasnamakan kolaborasi, sesungguhnya.

Yang patut dipuji adalah penampilan Sentot Sudiharto sebagai Wiroguno. Berusia hampir 70 tahun, ia masih energetik. Ia tak terlihat ngos-ngosan. Adegan adu jago juga memikat. Para penari dalam dua sisi bersila dalam formasi diagonal. Di tengahnya, penari Luluk Ari Prasetyo dan Sentot Erwin dengan menggunakan sayap-sayapan beradu. Dari atas trap yang lebih tinggi, Sentot Sang Wiroguno menyaksikan pertarungan mereka. Akan halnya adegan perang-perangan masih semacam ulangan pada setiap karya Retno Maruti. Adegan "gojegan" Djoko S.S. dan Sri Mulyadi, yang menjadi tokoh Blendung dan Jagung, memang bisa memancing tawa penonton, tapi cenderung klise dalam sebuah struktur pertunjukan tradisi. Sal Murgiyanto menilai koreografi Roro Mendut semakin rapi, penari perempuan yang menari dengan dasar bedaya dari posisi bersama kemudian bergerak sendiri-sendiri.

Mendekati akhir, Roro Mendut dan Pronocitro disajikan melampiaskan kerinduan. Penari Rury Nostalgia dan Agus Prasetyo memperlihatkan keintiman sejoli yang lembut. Sampai akhirnya mereka diimpit dua arah oleh pasukan Mataram. Tangan Pronocitro dibekap dan badannya diarahkan ke Wiroguno. Dan Wiroguno pun melompat menghunjamkan kerisnya ke dada Pronocitro. Betapapun demikian, dipilih sebagai pembukaan dari perhelatan prestisius Indonesia Dance Festival, kolaborasi ini kurang menggedor.

Seno Joko Suyono dan Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus