Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Awal Tekor Kabinet Kerja

Pemerintah Jokowi dihadang seretnya penerimaan pajak dan cukai, yang berpotensi kurang (shortfall) Rp 86 triliun. Defisit anggaran terancam melebihi batas.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat tertutup itu berlangsung di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin pekan lalu. Dipimpin langsung Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, rapat dengan 18 kepala kantor wilayah pajak dari Kalimantan dan Jawa ini membahas penerimaan pajak yang hingga akhir Oktober lalu masih tersendat. Dari dua wilayah itulah pemerintah menjala pajak paling besar.

Dalam pertemuan yang digelar sejak pagi hingga malam itu, Bambang meminta para kepala kantor pajak menjelaskan kendala penagihan di lapangan. Mereka juga diminta merumuskan cara untuk melakukan optimalisasi penerimaan. Meskipun sudah mengotak-atik strategi untuk mengejar setoran, hasil rapat tak begitu menggembirakan. Hitungan penerimaan pajak tetap meleset dari target.

Hitungan ini penting karena beberapa hari sebelumnya Bambang diminta Presiden Joko Widodo menjawab soal yang sama di hadapan rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di Istana. "Kami ingin memastikan shortfall penerimaan pajak bisa lebih kecil," kata Bambang pada malam sehabis persamuhan tersebut.

Dilantik menjadi Menteri Keuangan pada akhir Oktober lalu, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini langsung mewarisi tanggungan berat: pembengkakan defisit anggaran. Meskipun bukan orang baru di Kementerian Keuangan—sebelumnya menjadi Wakil Menteri Keuangan—ia toh tetap harus putar otak agar defisit anggaran tak melebihi batas yang diizinkan Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 2,5 persen dari produk domestik bruto.

Saban hari dia terus mengawasi pergerakan realisasi penerimaan yang secara real time bisa langsung diketahui Menteri Keuangan. Pimpinan dan eselon satu Kementerian Keuangan sudah beberapa kali dikumpulkan pada dua pekan pertama masa jabatan Bambang sebagai menteri, khusus mengenai hal ini. Lagi-lagi belum ditemukan solusi jitu.

Dari proyeksi Direktorat Jenderal Pajak, pendapatan yang berpotensi hilang memang tak sedikit: Rp 76 triliun, dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan sebesar Rp 1.072,3 triliun. Kondisi ini juga tecermin dalam realisasi penerimaan pajak hingga akhir Oktober lalu, yang masih mencapai Rp 773,3 triliun.

Melesetnya target penerimaan sebenarnya sudah diperkirakan sebelum Susilo Bambang Yudhoyono lengser. Angka-angka asumsi makro bahkan sudah tak bersahabat sejak awal tahun ini. Ketika pemerintahan beralih ke tangan Joko Widodo, kondisi tak banyak beranjak. Pertumbuhan ekonomi terus terkoreksi. Laporan dari Badan Pusat Statistik, pada kuartal ketiga, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,01 persen, jauh di bawah target 5,5 persen.

Selain karena ekonomi global, seretnya penerimaan pajak disebabkan oleh persoalan klasik yang tak kunjung beres: minimnya informasi dan kurang akuratnya data perpajakan. Menurut Bambang, hal itu juga terjadi di kantor wilayah di Kalimantan dan Jawa. Mereka, misalnya, mengaku kesulitan menindaklanjuti temuan Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai perusahaan tambang yang bermasalah dalam pembayaran pajak. Sedangkan untuk wilayah Jawa, yang banyak terdapat industri pengolahan dan manufaktur, kepatuhan perusahaan untuk membayar pajak masih rendah.

Agar kejadian tersebut tak berulang dan target penerimaan untuk tahun depan bisa diamankan, Bambang mengatakan pemerintah akan memberi dukungan penuh kepada semua kantor wilayah pajak. "Jika diperlukan dukungan, apakah berupa aturan, dukungan data, dukungan informasi, dan segala macam, akan kami berikan pada kesempatan pertama."

Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany tak membantah kemungkinan kurangnya penerimaan pajak Rp 76 triliun. Menurut dia, penyebab paling dominan ialah kondisi ekonomi dan kinerja ekspor-impor yang terus merosot. Tapi ia tak mau buru-buru menyerah. "Teman-teman di DJP bekerja maksimal dalam dua bulan terakhir. Mudah-mudahan lebih rendah shortfall-nya."

Menurut Fuad, ada sebelas langkah yang disiapkan direktoratnya untuk menutup kekurangan itu. Di antaranya dengan intensifikasi di sektor ekonomi non-tradable, seperti properti, juga sektor perdagangan, jasa keuangan, dan bidang sumber daya alam dan perkebunan. Potensi wajib pajak pribadi berpendapatan tinggi dan menengah-atas juga akan dibidik.

l l l

Seperti halnya Ditjen Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga megap-megap. Dari target Rp 173,7 triliun, pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai tahun ini diprediksi hanya bisa digali Rp 161 triliun. Padahal tahun-tahun sebelumnya penerimaan dari sektor itu selalu melebihi patokan. Dalam rapat koordinasi semua kepala kantor wilayah bea-cukai pada Kamis pekan lalu, Bambang juga mewanti-wanti agar ada usaha ekstra untuk menggenjot perolehan di sisa waktu dua bulan mendatang.

Seorang pejabat di Kementerian Keuangan mengatakan anjloknya penerimaan bea-cukai sebenarnya sudah terasa sejak Juli lalu. Dalam pembahasan APBN Perubahan, Direktorat Bea dan Cukai sudah meminta Dewan Perwakilan Rakyat mengoreksi target, karena indikator ekonomi makro yang terus berubah. "Bukannya dikurangi, target malah ditambah dari sebelumnya Rp 170 triliun menjadi Rp 173,7 triliun."

Jebolnya penerimaan paling parah terjadi pada bea keluar. Dari sini, tadinya pemerintah berharap bisa mengantongi Rp 20,6 triliun. Tapi harga komoditas yang terus ambles di pasar dunia dan larangan ekspor mineral mentah sejak awal tahun lalu mengakibatkan realisasi bea keluar paling banter hanya di kisaran Rp 11,6 triliun.

PT Freeport, misalnya, hanya bisa merealisasi ekspor 681 ribu ton, dengan setoran bea Rp 1,2 triliun. Padahal pemerintah mematok ekspor dari perusahaan itu 940 ribu ton konsentrat. PT Newmont Nusa Tenggara sama saja. Dari kuota ekspor 304 ribu ton, hanya bisa tercapai 152 ribu ton, dengan nilai bea Rp 264 miliar.

Pasar crude palm oil (CPO) juga berat. Sejak tiga bulan lalu, harga rata-rata di bawah US$ 750 per ton, jauh dari rata-rata harga Januari yang mencapai US$ 920 per ton. Rendahnya harga ini kemudian membuat Kementerian Perdagangan memastikan ekspor CPO periode Oktober 2014 tidak akan dikenai bea keluar 7,5 persen.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223 Tahun 2008, bea keluar itu hanya berlaku jika harga referensi terendah US$ 750-800 per ton. Di bawah itu, bea keluar CPO otomatis nihil. "Ini memang kondisi yang kritis. Tiga bulan tidak ada penerimaan sama sekali dari CPO. Padahal 70 persen sumber penerimaan bea keluar tahun ini bertumpu pada CPO," kata pejabat tersebut.

Berbagai akrobat pun dibuat. Penindakan dan audit terhadap eksportir digeber di sana-sini. Tapi proyeksi tambahan penerimaan yang bisa dikejar Bea-Cukai hingga akhir tahun tak lebih dari Rp 2,1 triliun. Maka total pendapatan diperkirakan Rp 163,3 triliun alias masih tekor sekitar Rp 10 triliun. "Semua extra-effort sudah dilakukan, angkanya mentok segitu," pejabat ini menambahkan.

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Susiwijono Moegiarso, mengakui keadaannya cukup berat. Namun dia optimistis dan memastikan terus melakukan optimalisasi penerimaan. "Kami terus melakukan koordinasi agar target tetap bisa tercapai."

Angga Sukmawijaya, Maya Nawangwulan, Sundari


Banyak yang Belum Bayar

Di tengah berbagai program yang dijanjikan, pemerintah baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla tak punya keleluasaan untuk mewujudkannya. Seretnya penerimaan negara dari sektor pajak dan cukai menjadi salah satu sandungan pertama yang harus dibereskan. Dalam rapat kabinet terbatas yang digelar pada Kamis dua pekan lalu, Presiden Jokowi meminta penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak ditingkatkan.

Menurut dia, selama sepuluh tahun terakhir, kenaikan pendapatan pajak rata-rata hanya 0,1 persen. Itu pun selalu meleset dari target yang ditetapkan dalam APBN. Padahal, kata Presiden, potensi yang bisa digali dari sektor pajak untuk sumber pembiayaan anggaran negara masih sangat besar.

Menurut Presiden, tax coverage ratio (perbandingan antara penerimaan pajak yang berhasil dipungut dan potensi yang ada) baru mencapai 53 persen. Khusus untuk pajak pendapatan (PPn), bahkan cuma berkisar 50 persen. Selain itu, dari 24 juta wajib pajak potensial, hanya 17 juta yang menyerahkan surat pemberitahuan pajak. Dari angka itu, hanya 10 juta atau 60 persen yang benar-benar membayar pajak. Artinya, lubang setoran bukan tak mungkin ditambal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus