Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jailolo dan Tubuh-tubuh Biasa

Eko Supriyanto membuat karya tari kontemporer Cry Jailolo. Melibatkan pemuda-pemuda bukan penari.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua tahun lalu, Greatsia Yobel Yunga tak ada bedanya dengan pemuda Jailolo kebanyakan. Pada waktu senggang, sepulang sekolah, yang ia lakukan tak jauh-jauh dari kegiatan yang dilakukan anak-anak remaja lainnya: pergi ke kebun memanjat pohon kelapa sekadar untuk senang-senang. Atau berenang di laut jika hari menuju petang.

Tak pernah terlintas di benak bocah 19 tahun itu menjadi seorang penari. Apalagi turut meramaikan perhelatan bergengsi Indonesia Dance Festival 2014, yang digelar di Jakarta pada 4-8 November ini.

Kedatangan koreografer Eko Supriyanto ke tanah Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, medio 2012 sedikit-banyak mengubah jalan hidup Yobel. Ia turut serta dalam program pelatihan tari yang digelar Eko di sana. Hingga akhirnya, bersama enam kawannya, ia terpilih menjadi penari untuk mementaskan karya terbaru Eko berjudul Cry Jailolo pada hari kedua Indonesia Dance Festival, Rabu pekan lalu.

Cry Jailolo, yang dipentaskan oleh tujuh penari, adalah karya kontemporer yang menuntut stamina, ketahanan tubuh, dan konsentrasi tinggi. Selama satu jam, tak henti-hentinya kaki para penari berderap. Sekencang-kencangnya mengadu telapak kaki dan tumit dengan lantai. Semua gerakannya seragam dan serba dihitung. Eko tak membuka ruang bagi penari untuk melakukan improvisasi.

Perubahan formasi terjadi hampir setiap empat detik sekali, bersamaan dengan gerak tangan dan kaki yang repetitif. Terkadang perubahan formasi tak disertai aba-aba. Penari harus mengingat hitungan di setiap bagian atau mendengar transisi dalam musik pengiring.

Setiap gerakan dalam Cry Jailolo adalah gerak yang bertenaga. Jika melempar kepal, berarti melempar kepal dengan mengetatkan seluruh otot. Jika memekarkan lengan, berarti melakukannya juga dengan sepenuh tenaga. Begitu juga ketika menyerukan pekik berbahasa Maluku, "Marimoi ngone futuru! Ino ngone fo makati nyinga! (Bersatu kita kuat! Mari kita bersatu hati!)". Seruan itu diteriakkan hingga jakun di ujung leher.

Eko membuat koreografi yang jauh dari kesan luwes sebagaimana tarian klasik Jawa. Cry Jailolo adalah tarian yang terinspirasi dari kehidupan masyarakat di tepi laut Teluk Jailolo. Itulah sebabnya energetik dan keras.

Karya Cry Jailolo bermula dari cerita kedatangan Eko ke Halmahera Barat. Pada akhir 2012, ia diundang oleh Bupati Namto Hui Roba untuk meramaikan festival tahunan Sasadu on the Sea yang digelar di Teluk Jailolo. Berbulan-bulan Eko tinggal di lokasi dengan keindahan alam yang luar biasa itu.

Eko diminta urun ide memeriahkan tari-tarian dalam festival. Di sana ia melatih 350 anak untuk menari meramaikan acara. "Sebulan riset, sebulan workshop, setelah itu pentas," katanya saat diwawancarai pada Rabu pekan lalu. Festival akhirnya digelar pada Mei 2013. Acara menjadi semarak dengan kehadiran ratusan penari yang dilatih Eko.

Pada tahun yang sama, Eko diundang untuk mementaskan karya di International Dance Festival: Dancing Across Borders, Kuala Lumpur, Malaysia. Tercetuslah ide membuat koreografi tentang Jailolo. Eko menyortir 350 anak peserta festival Sasadu on the Sea dan memilih enam di antaranya untuk mementaskan sebuah koreografi baru. Seterusnya ia membuat karya tari kontemporer Cry Jailolo. "Yang di Malaysia hanya 20 menit. Untuk di Jakarta dipanjangkan jadi satu jam," kata Eko.

Penari yang dipilih Eko adalah Veyendi Dansa, 17 tahun, Greatsia Yobe Yunga (19), Fernandito Wangelaha (17), Gerry Gerardo Bella (18), Noveldi Bontenan (19), dan Budiawan Saputra Riring (17). Eko juga melibatkan satu penari dari Jakarta, yakni Geri Krisdianto, sebagai asisten koreografer.

Sejak 2012, tak terhitung berapa kali dosen tari Institut Seni Indonesia Surakarta itu bertandang ke Jailolo. Eko mereguk pola hidup warga di sana dengan tinggal bersama selama berbulan-bulan. Ia pun menyempatkan diri belajar menyelam sampai mendapat gelar master diver. Selama di Jailolo, Eko, yang mendapat gelar master tari dan koreografi dari University of California, Amerika Serikat, menggali tari-tarian yang hidup di sana.

"Budaya tari di sana masih hidup walau ada beberapa bentuk yang sudah punah," katanya. Dari ratusan bentuk yang umum dimainkan, Eko memilih mengadopsi tiga tarian: Legu Salai, tarian sukacita menyambut musim panen; Soya-soya, tarian persiapan ke medan perang; dan Sara Dabi-dabi, yang dibuat untuk menghibur anak Sultan Ternate ketika dilanda kesedihan. "Gerakan kaki dalam Cry Jailolo terinspirasi dari tiga tarian tradisional itu," kata Eko. "Sedangkan gerakan tangan bebas karya sendiri."

Setidaknya ada empat gerakan kaki yang menjadi fondasi Cry Jailolo. Pertama entakan beruntun ke lantai menggunakan telapak kanan dan tumit kiri. Gaya itu diambil dari Legu Salai. "Hanya saya persempit gerak kakinya," kata Eko. Yang kedua adalah gerakan menggeser badan dengan menyilangkan kaki yang seluruh telapaknya menyentuh tanah. "Itu juga dari Legu Salai."

Yang ketiga adalah gerakan ritmik antara tumit dan telapak yang dengan kuat ­mengentak bumi sehingga menimbulkan birama yang konstan berbunyi "Jig, duk, jig. Jig, duk, jig". Gerakan itu diambil dari tari Soya-soya. Terakhir adalah gerakan melangkah tegas kiri dan kanan bergantian, yang juga diambil dari Soya-soya.

Persiapan pentas Cry Jailolo berlangsung sebulan. Latihan berlangsung tujuh jam setiap hari, mulai pukul 13.00 hingga 20.00. Sepulang sekolah, para penari berlatih di sanggar yang dibangun oleh pemerintah setempat. Dalam setiap sesi latihan, Eko menitikberatkan pada teknik koreografi, mengingat karya yang ia bikin sangat mengandalkan ketepatan hitungan.

Soal ketahanan fisik, kata Eko, anak-anak Jailolo rajanya. Menari penuh tenaga selama satu jam tak ada apa-apanya bagi mereka. Hal inilah yang tak dimiliki penari-penari di Jawa. Fisik Yobel dkk kuat secara alami berkat kebiasaan hidup mereka sehari-hari. "Biasanya, kalau sudah selesai sekolah, kami main di kebun. Manjat pohon kelapa, kalau sore-sore menyelam di laut," ujar Yobel.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus