Belanda menduga, kemerdekaan hanya keinginan kelompok elite, tak didukung rakyat. Orde Baru belum cukup punya perspektif searah. SEJARAH INDONESIA MODERN Penulis: M.C. Ricklefs Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, xiv-513 halaman INI adalah buku sejarah pertama yany melukiskan perjalanan bangsa Indonesia dari abad ke-13 sampai jatuhnya Orde Lama. Metode penulisannya pun khas. Penulis tak terpaku pada wilayah tertentu pada suatu tahapan sejarah. Ia menjalinnya dengan peristiwa sejarah yany paralel di tempat lain. Sejarah dimulai dengan proses perkembangan Islam di Nusantara. Juga gambaran umum negara-negara pra-kolonial, serta kedatangan orang-orang Eropa, serta munculnya negara-negara baru. Yang menarik di sini adalah penjelasan tentang kemunculan negara-negara baru di Nusantara setelah kedatangan orang Eropa. Motif kehadiran VOC (1630-1800) sebenarnya sangat sederhana: berdagang rempah-rempah. Pada mulanya hanya di Indonesia Bagian Timur (IBT). Justru karena itu, VOC harus berhadapan dengan negara-negara yang punya kepentingan yang sama di wilayah itu. Jaringan kekuasaan IBT yang rumit, yang tak hanya melibatkan "negara-negara pribumi" IBT -- karena Portugis dan Jawa telah berperan di sana telah memaksa VOC menggunakan bahasa militer. Dan VOC sebenarnya tak pernah kukuh menanamkan kukunya di IBT. Gerak VOC di Jawa agak berlainan. Kendatipun punya motif dagang yang sama, VOC sesungguhnya tak pernah berkeinginan menguasai pedalaman Jawa, pusat kekuasaan Mataram. Kepentingan VOC hanyalah menjaga stabilitas perdagangan kawasan pesisir. Juga tidaklah benar bahwa Amangkurat I tunduk begitu saja terhadap VOC. Sebelum terjadinya krisis Trunajaya, Amangkurat melihat rendah orang-orang Eropa itu. Dan VOC sendiri sesungguhnya sangat menghargai kedaulatan Mataram. Intervensi VOC yang "melencengkan" sejarah politik Jawa justru terdorong oleh krisis politik internal kerajaan pedalaman sendiri. Krisis yang dimulai pada akhir kekuasaan Amangkurat I (meninggal 1677), Amangkurat II (berkuasa 1677-1703), sampai pada serangkaian Perang Suksesi Jawa I hingga III (1746-1757), telah merobek-robek kesatuan kekuasaan Jawa. Dengan kalkulasi dagang, VOC tergerak untuk memainkan peran militernya. Karena biaya "perang stabilitas" itu begitu besar, VOC, yang sebenarnya juga gagal berdagang, bangkrut dan dibubarkan (1800). Sejak itulah, babak penjajahan Belanda yang sebenarnya dimulai. Sampai dengan akhir abad ke-19, cengkeraman Belanda di luar Jawa belumlah begitu kuat. Ini berarti bahwa negara-negara luar Jawa adalah negara merdeka. Terutama karena alasan ekonomis, kekuatan penjajah yang telah terkonsolidasikan itu harus menaklukkan wilayah yang luas itu. Ringkasnya, pada 1910, seluruh kawasan Nusantara telah berubah menjadi daerah taklukan. Setelah masa Politik Etis, proses "penemuan Indonesia" dimulai. Lewat sistem pendidikan Barat, Politik Etis telah meletakkan dasar kesadaran baru yang lebih luas dari sekadar pagar etnis. Munculnya "kepemimpinan kota" yang dimulai tahun 1900 sampai 1927 telah memungkinkan penyebarluasan konsepsi Indonesia di tengah-tengah masyarakat Nusantara. Dari dasar inilah, setelah usainya dominasi para "pemimpin kota" gelombang pertama (Wahidin, Cipto Mangunkusumo, Tjokro Aminoto), Soekarno-Hatta muncul. Kelak, mereka memainkan peranan utama dalam Indonesia merdeka. Yang juga menarik diuraikan adalah corak hubungan sipil-militer dan tingginya tingkat politisasi segala hal di Indonesia, terutama masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Revolusi, Jenderal Sudirman yang sering dimitoskan itu ternyata tak sepandangan dengan pemimpin sipil. Sedangkan Nasution, yang sampai dengan akhir Demokrasi Terpimpin memainkan peranan besar dalam politik ketentaraan, justru lebih dekat dengan pemimpin sipil. Politisasi dalam segala hal tercermin, misalnya, pada proyek Irian Barat. Baik militer, PKI maupun Soekarno sama-sama memanfaatkan proyek itu untuk mengkonsolidasikan kekuatan masing-masing. Dan anehnya, setelah Irian direbut, PKI justru kecewa. Karena dengan itu PKI tak bisa lagi menuduh Republik sebagai negara semikolonial. Ini berarti PKI harus mencari isu lain guna menjaga diri tetap artikulatif. Dan runtuhnya Orde Lama adalah karena keanehan-keanehan logika politik yang tegak pada struktur yang lemah. Masa Orde Baru hanya disinggung sedikit. Masa itu belum lama dan belum punya perspektif sejarah, kata pengarangnya. Walhasil, buku ini telah berhasil merangkum tujuh abad sejarah Indonesia dengan rincian yang cukup jelas. Catatan akhir yang patut diberikan pada buku ini adalah bahwa kendatipun daerah luar Jawa telah mendapatkan porsi pembahasan yang memadai, tampaknya pengarang jauh lebih lancar menguraikan sejarah Jawa abad ke-18 sampai ke-19. Dan hal yang sama juga terulang ketika pembahasan masuk pada periode revolusi sampai dengan runtuhnya Demokrasi Terpimpin. Fahry Ali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini