Direktur Radio SLAMET DJABARUDI JIKA saja bukan karena alasan birokrasi, saya ingin menjadi karyawan RRI, bahkan kalau mungkin Direktur Radio. Namun, karena tidak tahu bagaimana cara melamar, saya hanya akan mengajukan gagasan-gagasan, semacam kampanye. Sudah lama saya mendengar keluhan tentang bahasa di RRI. Juga di TVRI. Di kedua media massa yang dikelola pemerintah itu, saya sudah menyampaikan pandangan, saran, dan kritik untuk perbaikannya. Namun, hingga kini keadaan tidak banyak berubah. Jika saya berada di dalam lingkaran itu, barangkali suara saya akan lebih didengar. Sebagai Direktur Radio, saya akan menempuh dua tindakan, masing-masing jangka pendek dan jangka panjang. Untuk langkah jangka pendek, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kecermatan berbahasa dalam acara-acara yang bersifat resmi. Acara yang bersumber dari pembacaan teks, misalnya berita, Varia Nusantara, komentar, ulasan pers, dan pengumuman pemerintah, memerlukan kecermatan bahasa yang tinggi. Ketertiban pemilihan kata dan penyusunan kalimat perlu ditingkatkan. Pengamatan saya ternyata sejalan dengan ahli bahasa Profesor H.J.S. Badudu. Misalnya tentang kalimat kacau. Sering kita dengar "Dalam kerja sama itu melibatkan" atau "Menurut data yang dikumpulkan menunjukkan". Hampir setiap jam terdengar susunan kalimat rancu seperti itu. Bahasa lisan yang berasal dari bahan tertulis seharusnya mempunyai tingkat kecermatan yang tinggi. Dari apa yang saya dengar di radio, tampaknya para pengasuh kurang paham perbedaan antara kalimat transitif dan intransitif. Tidak jarang muncul ungkapan "Kami akan membahas tentang" yang menurut aturan tidak memerlukan "tentang". Ketika berbicara di RRI Pusat, saya mendapat penjelasan bahwa para pembaca berita hanya punya sedikit waktu sebelum naskah dibacakan. Saya kurang sependapat dengan hal ini dengan tiga alasan. Pertama, yang mengalami suasana terburu-buru bukan hanya radio di Indonesia. Kedua, dalam berita yang bersifat ulangan pun sering ditemukan kesalahan yang sebenarnya masih dapat diperbaiki. Malah, pada hari Sabtu pagi, 31 Agustus 1991, ada berita yang mengatakan "hari Minggu lusa". Ketiga, pembaca berita bukanlah komputer, yang keluaran (output)-nya bergantung penuh pada masukan ( input)-nya. Sebelum jangka panjang ada jangka menengah. Dalam jangka menengah perlu diupayakan perbaikan bahasa para penyiar ketika menyampaikan reportase atau membawakan acara-acara santai, misalnya, pilihan pendengar. Walaupun dalam keadaan terdesak, bila sudah terbiasa tertib, seorang pembawa acara akan menghasilkan kalimat yang tertib, baik pilihan katanya maupun susunannya. Ketika melaporkan pembukaan kejuaraan dunia terjun payung, ada reporter yang mengatakan "para atlit-atlit". Ter- dengar juga ucapan "sepuluh ribu burung-burung". Bila yang bersangkutan sudah terbiasa dengan adat bahasa Indonesia yang tidak memerlukan pengulangan kata benda seperti itu, dalam keadaan terdesak pun orang akan cermat. Banyak juga keluhan pendengar radio yang merasa kesulitan mencernakan informasi yang disampaikan pembaca berita. Gara-garanya adalah jeda yang tidak tepat. Di dalam bahasa tulis, hal ini dapat dilakukan dengan memasang tanda hubung pada kata yang lebih erat kaitannya. Untuk para pembaca berita, tentu lebih mudah memasang tanda, apa pun bentuknya, karena toh pendengar tidak akan melihat tanda-tanda jeda itu. Pemilihan kata juga harus masuk dalam pertimbangan untuk siaran yang dipancarluaskan secara nasional. Dalam pilihan pendengar yang disiarkan ke seluruh Indonesia pernah terdengar "Saya juga nggak tahu" dan "Nanti kita dengerin". Kasihan pendengar yang berada di Wamena atau di pedalaman Kalimantan Tengah mencerna bahasa Indonesia logat Jakarta. Satu hal yang patut dipuji dalam ketertiban bahasa di RRI adalah pemakaian kata "pukul" (bukan "jam") setiap kali penyiar mengajak pendengar mengikuti siaran warta berita. Langkah jangka panjang adalah pembakuan lafal. Ini problem yang sangat sulit diatasi karena kita belum memiliki tolok lafal siapa yang layak dijadikan contoh. Yang kita miliki sekarang barulah definisi negatif. Lafal bahasa Indonesia yang dianggap baku adalah lafal yang tidak menunjukkan ciri kedaerahan. Pembakuan lafal oleh sejumlah ahli di Pusat Bahasa diletakkan pada urutan di belakang karena kesulitan itu. Untuk melafalkan kata Indonesia saja, terdapat kesulitan mengapa "in" dilafalkan dengan "i" seperti dalam lafal responsibility bukan "i" seperti dalam kata "kiri". Ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, banyak yang melafalkan "in" dengan suara yang berbeda ketika menghadapi kata "India". Pusat Bahasa belum berani memastikan "in" dalam Indonesia dilafalkan seperti dalam intan atau "in" pada kata Inggris in (masuk). Meskipun demikian, kata-kata yang lafalnya sudah dapat dianggap baku perlu diucapkan dengan benar oleh insan radio. Misalnya, kata silakan, empat, enam, tujuh tidak dilafalkan menjadi silahkan, ampat, anem, tuju. Telinga saya sering risi mendengar penyiar yang selalu menekankan imbuhan di ketika mengawali membaca berita. "Radio Republik Indonesia dengan warta berita DIbacakan oleh ...." Potensi RRI begitu besar apalagi hampir setiap jam radio non-RRI wajib bergabung dengan RRI Pusat. Setelah melapor kepada Presiden, Bung Harmoko mengatakan bahwa di Indonesia sekarang diperkirakan ada 50 juta pesawat radio. Presiden meminta agar siaran pedesaan ditingkatkan. Untuk memenuhi petunjuk Presiden itu, bahasa memegang peranan penting. Sering kita mendengar reporter radio ketika berbicara dengan rakyat pedesaan menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan penduduk pedesaan. Gejala yang sama kita temui bila kita rajin mengikuti siaran pedesaan dan acara "Asah Terampil" di TVRI. Kata yang abstrak dan berslogan-slogan mungkinkah dapat dipahami oleh kebanyakan saudara kita di pedesaan? Kepada semua warga RRI, yang 11 September ini berulang tahun, saya (sebagai calon warga RRI) mengucapkan selamat. Semoga diterima lamaran saya menjadi Direktur Radio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini