Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sastra dan Literasi Membaca

Model pembelajaran berbasis sastra adalah hal baru di Indonesia. Karena itulah, program Sastra Masuk Kurikulum digagas.

16 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anak-anak membaca buku di taman bacaan di Jembatan Lima, Jakarta, 21 Mei 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM beberapa dekade terakhir, Indonesia berhasil memperluas akses pendidikan dasar secara signifikan. Untuk anak usia sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), angka partisipasi sekolah sudah mendekati 100 persen. Namun harus diakui bahwa bersekolah tidak bersinonim dengan belajar. Masih cukup banyak anak Indonesia yang bersekolah, tapi hasil belajarnya belum ideal, termasuk untuk kecakapan mendasar, seperti literasi membaca

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, peningkatan literasi membaca menjadi salah satu fokus utama Merdeka Belajar. Berbagai kebijakan dan program telah diluncurkan. Dari Asesmen Nasional dan Rapor Pendidikan yang menjadikan literasi membaca sebagai indikator kinerja sekolah serta pemerintah daerah. Pelatihan-pelatihan yang membantu guru mengubah mindset dan praktik pengajarannya agar lebih berpusat pada murid. Bantuan buku bacaan untuk puluhan ribu SD yang paling memerlukan. Kemudian Kurikulum Merdeka yang memudahkan guru menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan muridnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai upaya Merdeka Belajar telah membuahkan hasil menggembirakan. Skor literasi murid di sekolah-sekolah yang menerapkan Merdeka Belajar meningkat jauh lebih pesat ketimbang sekolah-sekolah yang belum menerapkannya. Dalam konteks inilah Sastra Masuk Kurikulum digagas sebagai program untuk menumbuhkan budaya dan kemampuan literasi pada tingkat lebih tinggi. 

Makna Literasi Membaca

Untuk mengapresiasi potensi sastra sebagai media belajar, kita perlu memahami bahwa literasi membaca memiliki beberapa tingkat kompleksitas. Pada tingkat paling dasar, membaca berarti menyuarakan lekuk huruf dan rangkaian kata dengan lancar. Sebagian dari kita mengenal kemampuan dasar ini dengan istilah melek huruf. Seseorang yang melek huruf sudah bisa mengikuti instruksi tertulis, mengenali petunjuk arah di jalan, dan mengisi formulir sederhana. Jika melek huruf menjadi ukuran, praktis semua murid di Indonesia boleh dikatakan sudah mampu membaca. 

Pada tingkat selanjutnya, membaca berarti menyarikan makna dari teks. Seseorang yang bisa membaca pada tingkat ini mampu mengenali pesan kunci sebuah teks dan meringkaskan pesan tersebut dengan tepat. Di tingkat ini, membaca sudah menjadi tindakan penafsiran yang sedikit-banyak melibatkan interaksi antara pengetahuan yang sudah dimiliki sang pembaca dan informasi baru yang disajikan oleh teks. Kemampuan membaca pada tingkat ini adalah syarat dari pembelajaran akademik yang kerap bergantung pada teks sebagai sumber belajar utama.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anindito Aditomo. Dok. Kemdikbud

Pada tingkat lebih tinggi lagi, membaca melibatkan dialog kritis serta reflektif antara pembaca dan teks yang dibaca. Di tingkat ini, sang pembaca menempatkan tafsir yang diajukan oleh penulis sebagai satu versi dari sekian banyak alternatif yang mungkin disajikan tentang realitas dan tema yang dibahas. Membaca pada tingkat ini bisa menjadi pengalaman transformatif. Yang diperoleh pembaca bukan hanya pengetahuan, tapi juga penghayatan akan beragam perspektif, pengalaman emosional, dan nilai-nilai (values) yang baru. Di sinilah karya sastra berpotensi memainkan peran penting.

Karya Sastra sebagai Media Belajar

Berbeda dari buku teks dan karya nonfiksi lain, sastra tidak berpretensi menyampaikan informasi ilmiah yang memiliki validitas empiris. Mungkin karena alasan ini sastra jarang dilirik sebagai media belajar di sekolah. Sastra lebih sering dipandang sebagai media hiburan yang tidak banyak gunanya dalam pembelajaran akademik. 

Pandangan seperti ini ada benarnya jika tujuan pendidikan disempitkan pada ranah pengetahuan ilmiah. Namun, jika pendidikan dipandang secara lebih holistik, sebagai proses pembudayaan dan penguatan karakter, sastra menjadi relevan.

Menurut ahli psikologi Raymond Mar dan rekannya yang juga seorang sastrawan, Keith Oatley, sastra merupakan “simulasi pengalaman sosial.” Tanpa harus memiliki basis empiris, karya sastra dapat menyajikan abstraksi beragam bentuk pengalaman, apakah itu komedi dan tragedi, percintaan dan permusuhan, ataupun konflik dan kolaborasi. Pembaca diundang untuk menghayati dunia batin dan sosial para tokoh dalam simulasi yang dibangun sebuah cerita. 

Dengan demikian, membaca sastra dapat menjadi proses mengasah empati—kemampuan merasakan dan memahami orang lain yang memiliki keyakinan, cita-cita, ketakutan, harapan, dan emosi-emosi lain yang mungkin belum pernah dibayangkan. Kemampuan merasakan dan memahami beragam perspektif ini melandasi banyak karakter yang ingin kita bangun dalam pendidikan, dari toleransi akan perbedaan, kerja sama dan kepemimpinan, hingga kepedulian pada isu-isu kolektif. 

Selain mengasah empati, sastra bisa menjadi media mengembangkan daya nalar. Karya-karya sastra terbaik mengupas isu-isu kompleks dan menyajikan perdebatan moral melalui perspektif para tokoh yang berbeda pandangan dan kepentingan. Telaah terhadap keragaman perspektif epistemik ataupun moral ini bisa mendorong pembaca keluar dari pemikiran hitam-putih dan memikirkan ulang opini serta prasangka-prasangka yang mungkin tak disadari sebelumnya.  

Alat Bantu bagi Guru

Agar murid mendapat pengalaman transformatif dari karya sastra, tentu tidak cukup meminta mereka sekadar membaca karya tersebut. Murid perlu berdiskusi dan berdebat tentang beragam tafsir terhadap sebuah karya. Mereka perlu dipandu untuk mengubah tafsir yang mereka pilih ke wahana berbeda. Dari prosa ke puisi atau sebaliknya; dari teks menjadi gambar, drama, atau film; dan dari fiksi menjadi kritik sastra atau karya ilmiah. Model pembelajaran seperti ini terbuka lebar di Kurikulum Merdeka.

Meski demikian, model pembelajaran berbasis sastra adalah hal baru yang belum banyak diterapkan di Indonesia. Karena itulah, program Sastra Masuk Kurikulum digagas. Program ini menyediakan berbagai perangkat untuk membantu guru memanfaatkan karya sastra dalam pembelajaran. Perangkat pertama adalah daftar karya sastra yang direkomendasikan untuk tiap jenjang, dari SD, SMP, sampai sekolah menengah atas (SMA). Proses kurasi dilakukan oleh sastrawan dan akademikus yang punya kepedulian tinggi pada pendidikan serta beberapa guru yang berpengalaman menggunakan sastra dalam pembelajaran. 

Karya-karya yang direkomendasikan tim kurator kemudian ditelaah, dipetakan ke kerangka kurikulum, dan diberi komentar serta penaifan (disclaimer) oleh tim terpisah yang terdiri atas para guru. Hasil kerja tim penelaah ini disusun menjadi sebuah buku panduan yang diharapkan membantu guru memilih dan memilah karya sastra sesuai dengan konteks dan kesiapan masing-masing. 

Perangkat lain yang disiapkan adalah modul-modul ajar yang bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi guru. Modul ajar sudah secara praktis memberi gambaran tentang tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, kegiatan yang bisa dilakukan seputar sebuah karya sastra, dan waktu atau jam pelajaran yang diperlukan. Sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, semua perangkat tersebut menjadi alat bantu yang bersifat opsional. Sastra Masuk Kurikulum merupakan ajakan dan bantuan, bukan paksaan, untuk menggunakan sastra dalam pembelajaran Kurikulum Merdeka. 

Harapan dan Tantangan

Melalui program ini, saya berharap suatu saat nanti karya sastra menjadi bagian “normal” dari pembelajaran di sekolah di seluruh Indonesia. Ketika itu, saya membayangkan murid-murid Indonesia bukan hanya terbiasa membaca untuk kesenangan, tapi juga bisa dan mau membaca untuk berpikir serta berefleksi. 

Tentu perlu waktu dan proses panjang sebelum harapan ini terwujud. Daftar karya sastra yang direkomendasikan, terutama untuk jenjang SMA, bisa dan sudah menuai polemik. Demikian juga dengan cara menyajikan komentar dan penafian dalam buku panduan yang masih dirasa kurang pas serta justru bisa menyampaikan pesan yang keliru bagi pembaca.

Semua masukan kami jadikan bahan untuk memperbaiki proses ataupun perangkat-perangkat yang dihasilkan program Sastra Masuk Kurikulum. Modul-modul ajar dan materi pelatihan untuk guru juga akan terus dikembangkan. Sementara itu, saya mengajak para guru dan orang tua untuk mengeksplorasi, memanfaatkan, serta memberi masukan terhadap berbagai perangkat Sastra Masuk Kurikulum yang sudah tersedia di laman Buku.kemdikbud.go.id/sastra-masuk-kurikulum.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anindito Aditomo

Anindito Aditomo

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus