MELIHAT satu kali jauh lebih berharga dibandingkan dengan hanya mendengar seratus kali. Itulah konon manfaat fotografi: menyebarluaskan kenyataan di suatu tempat ke seluruh penjuru. Ini memang pernah teruji di bidang kerja orang koran alias dunia jurnalistik: fotografi berkibar di media cetak sebagai kekuatan khas, sejak fotografi masuk koran menjelang abad ke-20. Kenyataannya, sebuah karya foto, sebagaimana tulisan, tak luput dari utak-atik, hingga hal "menyebarluaskan kenyataan" harus dikoreksi. Karya foto ternyata bisa juga disalahgunakan untuk memutarbalikkan keadaan sebenarnya, biasanya untuk tujuan-tujuan politis. Ingat saja, misalnya, sajian foto di koran China Pictorial bulan Oktober 1976, dua minggu setelah Jiang Qing dan konco- konconya disingkirkan dari panggung politik Negeri Tirai Bambu itu. Foto tahun 1947 itu merekam saat Mao Zedong dan pasukannya melakukan long march, dan Jiang Qing tampak di latar belakang. Tapi, dalam foto yang dimuat koran tadi, sosok janda Mao itu raib. Wajahnya disetip dari foto yang bisa menjadi dokumen sejarah tersebut. Ia, Jiang Qing, dianggap mengotori pribadi Mao, jadi harap disingkirkan dari sampingnya. Begitulah, kabarnya, budaya politik yang menganut paham: jika si tokoh turun panggung, artinya sudah mati-politik, wajahnya di berbagai foto resmi juga harus dikubur. Nah, belum lama ini diselenggarakan festival yang dinamakan Montage 93 oleh Kodak di markas besarnya, Rochester, New York, Amerika Serikat. Acara ini begitu menarik perhatian, hingga dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai negara, terdiri atas fotografer, artis, serta pendesain profesional. Dalam festival itu diperkenalkan bermacam software untuk mengutak- atik foto, beserta hasilnya. Memang, yang dipamerkan Kodak tersebut bukan teknologi utak- atik foto lewat komputer yang pertama. Tapi mungkin inilah pertama kali sebuah festival mengkhususkan di bidang ini, dan teknologi yang diperkenalkan adalah teknologi terbaru: bukan lagi memproses foto di komputer dengan teknik raster yang hasilnya masih "kasar", melainkan teknik yang halus, hingga memungkinkan sejumlah manipulasi yang tak mudah dilacak kepalsuannya. Maka, dalam pameran ini urusan utak-atik itu bukan lagi hanya menyetip sosok Jiang Qing, tapi sudah lebih jauh: juga dapat berupa hapus-ganti atau subjeknya ditata-baru. Pokoknya, apa pun gagasan yang tadinya dianggap mustahil divisualkan lewat foto, kini, menemukan jalannya yang mulus. Fasilitas ini terutama sudah dimanfaatkan oleh dunia iklan, termasuk di media elektronik dan film, yang tampil dalam sosok visual dan menerobos tapal batas logika. Misalnya, melukiskan bangkai ayam bisa terbang, lalu menyulap dirinya menjadi kaldu. Dari segi teknis, utak-atik itu jelas makin sempurna. Yaitu, dengan dikembangkannya suatu sistem reproduksi yang dikenal dengan teknik dye sublimation alias colok halus, yang berbeda dengan pola lama yang menggunakan sistem raster atau titik dalam jumlah jutaan. Proses reproduksi lewat komputer bukan lagi dalam bentuk jutaan titik, melainkan dalam sosok gradasi warna atau continuous tone. Hasilnya begitu prima, sulit dibedakan bahwa itu merupakan gabungan dari beberapa foto. Hasil rekayasa itu seolah-olah foto asli. Ini tentu akan menjadi godaan bagi para artis pemimpi. Dengan hanya memainkan ujung jarinya di tombol komputer yang empuk, mereka dapat menghasilkan karya hampir-hampir tanpa batas kemungkinan. Namun, bagi kalangan pekerja foto di media massa, maknanya bisa lebih dari sekadar kemudahan. Anggapan tua yang menjuluki fotografi bagaikan pinsil alam, sekonyong-konyong, seakan bertekuk lutut di depan konsep radikal studio elektronis ini. Misalnya saja, fotografer di majalah Anda sedang ketiban sial: foto peresmian sebuah pabrik penting oleh kepala negara terbakar. Gampang, potret lagi pabrik itu, lalu padukan dengan koleksi foto kepala negara tersebut yang dimiliki. Hasilnya dijamin seolah itu foto asli. Yang lebih menggoda, bila suatu peristiwa memang sangat memungkinkan dibuatkan foto rekayasanya, hingga dicapai efek yang diinginkan. Misalnya, reporter yang meliput gempa di Los Angeles minta pada fotografernya agar mengambil akibat gempa yang dramatis. Tapi, kemudian, hasil pemotretan fotografer tersebut dianggap oleh redaktur fotonya tak memenuhi syarat "dramatis" yang diminta. Karena desakan deadline alias batas waktu, inilah kesempatan memanfaatkan teknologi dye sublimation itu. Dengan mudah dan mulus, redaktur foto bisa saja menggabungkan foto jalan layang yang patah karena gempa hasil jepretan fotografer yang ditugasi tadi dengan foto mobil-mobil berseliweran di jalan itu karya fotografer yang lain di saat yang lain pula. Hasilnya, mobil-mobil ringsek ditimpa jalan patah, dan ada juga yang mencelat seperti kaleng Coca Cola terlindas mobil. Singkat cerita, bila tanpa fasilitas atau kemudahan pabrik pun dorongan memanipulasi karya foto ada, dengan teknologi baru ini tampaknya diperlukan sikap yang lebih awas untuk menjaga kejujuran sebuah foto.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini