Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiki Sulistyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
penyair dan pendiri Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat
Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilepaskan dari peran kekuasaan, baik kekuasaan negara dengan sistem birokrasinya, agama dengan legitimasi keilahiannya, maupun kekuasaan budaya dengan etika dan moralitasnya. Patriarki, sebagai sistem yang dituding menjadi penyebab utama ketertindasan kaum perempuan, lahir sebagai konstruksi budaya, dengan bias atas fakta alamiah dan pemahaman agama sebagai penopangnya.
Kekuasaan mengafirmasi poin-poin tertentu dalam fakta alamiah serta dalil agama untuk memperkuat sistem patriarki (dan karenanya kaum laki-laki) serta menyingkirkan posisi dan peran kaum perempuan. Dalam spektrum yang lebih luas, posisi kaum perempuan ini sekaligus menjadi representasi dari posisi kaum marginal lainnya.
Sastrawan dan politikus progresif Turki, Selahattin Demirtas, menyoroti serta membicarakan persoalan itu lewat sejumlah cerita yang terkumpul dalam buku Subuh. Buku ini menarik bukan hanya karena penguasaan Selahattin atas isu yang dibicarakannya ataupun kemampuan tekniknya, tapi juga karena cerita-cerita ini ditulis dari dalam penjara. Selahattin Demirtas, lahir pada 10 April 1973, adalah pemimpin Partai Demokratik Rakyat (HDP) yang dipenjara karena persoalan politik. Hal lain yang menarik adalah isu perempuan ini ditulis oleh seorang laki-laki.
Memang, perlawanan atas ketidakadilan dan kekerasan terhadap kaum perempuan seharusnya bukan urusan kaum perempuan saja. Sebab, gerakan feminisme, yang secara umum adalah platform dari perlawanan atas sistem patriarki, sejatinya adalah “humanisme-spesifik”. Sebab, semua manusia, apa pun jenis kelamin, suku, ras, agama, dan latar belakangnya, sama-sama berhak mendapat keadilan. Meski begitu, suara-suara dan tindakan perlawanan dari berbagai bidang dalam konteks ini memang lebih banyak dilakukan kaum perempuan sendiri. Karena itu, Selahattin bisa dibilang cukup istimewa. Apalagi pada halaman persembahan tertulis bahwa buku ini didedikasikan untuk para perempuan korban kekerasan dan pembunuhan.
Selusin cerita dalam buku ini berlatar belakang Turki, sehingga punya konteks kuat dengan perkembangan sosial-politik di negara itu. Namun, secara esensial, cerita-cerita tersebut bersifat universal, terutama jika dikaitkan dengan isu kekuasaan dan posisi perempuan. Ia menghadirkan isu itu dengan terang dan lugas, tanpa kompleksitas yang dibuat-buat. Selahattin secara tegas membela kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan, dengan menunjukkan bahwa mereka lebih tulus, tegas, tabah, dan independen dalam menghadapi persoalan, ketimbang kaum laki-laki yang digambarkan cenderung picik dan bersandar pada kemapanan sistem yang berlaku.
Dalam cerita pembuka, Laki-laki dalam Jiwa Kami, yang memakai gaya fabel, dikisahkan sepasang burung gereja, jantan dan betina. Mereka sedang menghadapi represi dari “burung negara” yang menuduh mereka membangun sarang tanpa izin dan keterangan. Menghadapi represi itu, burung betina, demi melindungi sarang dan dua butir telurnya, bersikap jauh lebih berani ketimbang burung jantan yang sok menjadi pelindung tapi sebenarnya pengecut. Ketika burung betina berseru, “Aku akan melawan hingga napas terakhir!”, si burung jantan cuma berani mendorong dari belakang sambil bilang, “Lawanlah hingga napas terakhir, Betinaku.”
Kepicikan “jiwa laki-laki” semacam itu juga muncul dalam cerita Nazan Petugas Kebersihan. Dikisahkan seorang perempuan remaja bernama Nazan yang bekerja sebagai petugas kebersihan terjebak dalam demonstrasi. Ia lalu terluka dan hendak ditahan polisi karena dituduh terlibat dalam demonstrasi tersebut. Bu Sevgi, majikan Nazan, yang bekerja sebagai dokter, membantu Nazan dengan tulus. Bahkan Bu Sevgi berani menentang petugas yang hendak membawa Nazan dari rumah sakit. Sementara itu, Pak Murat, suami Bu Sevgi, yang sempat dilihat oleh Nazan berciuman dengan wanita lain di mobil, hanya bisa mengirim pengacara yang setengah hati dan tidak becus mengurus perkara. Terlihat jelas bagaimana kaum laki-laki tampak kuat karena didukung oleh kekuasaan, bukan karena kekuatan yang independen.
Tirani kekuasaan sebagai rahim dari munculnya ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan tampak paling jelas dalam cerita berjudul Seher. Ini merupakan kisah tragis tentang seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi malah harus menanggung aib dari kekerasan itu atas nama keluarga dan masyarakat.
Meski rata-rata cerita dalam buku ini bersifat tragis, Selahattin menuliskannya dengan cara yang demikian ringan. Ia menggunakan berbagai gaya dan penuh nuansa humor. Ini suatu hal yang terasa “aneh” bila mengingat cerita-cerita tersebut ditulis dari dalam penjara. Jiwanya tampak riang, optimistis, dan artistik dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan yang tertindas, sebagaimana juga pembelaannya atas minoritas Kurdi.
Cerita-cerita Selahattin menunjukkan peran penting fiksi dalam membongkar fakta akan ketidakadilan dan kekerasan yang dibidani kekuasaan. Tak mengherankan jika lewat buku yang penting dan mengasyikkan ini Selahattin meraih Prix Montluc Resistance et Liberte 2019. Untuk pembaca di Indonesia, buku ini menambah pengetahuan akan khazanah sastra Turki, setelah penerjemahan atas karya-karya Orhan Pamuk dan Nazim Hikmet.
Subuh
Penulis : Selahattin Demirtas
Penerjemah : Mehmet Hassan
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : Maret, 2020
Tebal : 118 halaman
ISBN : 978-979-1260-97-8
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo