Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Selamat datang dari adelaide

Adelaide Simbolon mengadakan pertunjukan resital piano di TIM, Jakarta. Adelaide mampu menggores sanubari publik dengan berpindah-pindah suasana pada 6 variasi panjang yang sungguh mengagumkan.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGAR. Itulah kesan utama pianis muda Adelaide Simbolon, 27 tahun. Bagi Adelaide, resital yang berlangsung 16 Februari di gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, merupakan konser perdana semenjak November 1987 ia kembali di Tanah Air. Ia empat tahun menimba studi musik di Amerika Serikat. Adelaide membuka dengan Prelude dan Euga Emayor, buku ke-2, karya J.S. Bach (1685-1750). Sentuhan pertama sudah memberi isyarat: pemainnya memiliki penguasaan kuat dalam gaya zaman Barok. Ketat dalam bentuk, luwes dalam alur musikal, ia menunjukkan disposisi yang menuntut konsep dan disiplin kuat. Kematangan pribadinya lebih terungkap dengan suguhan dua sonata yang amat berbeda gaya. Dalam Sonata karya Ludwig van Beethoven (1770-1827) opus 109, Ade melukiskan jiwa komponisnya yang - karena pada periode itu telah sepenuhnya tli sendu dirundu emosi terpendam dan meledak melalui jalur-jalur intim. Adelaide mampu menggores sanubari publik dengan berpindah-pindah suasana pada enam variasi panjang yang sungguh mengagumkan. Hampir bertolak belakang dengan karya Beethoven, Ade Simbolon menampilkan vitalitas baja dalam Sonata no. 2 opus 14, karya komponis jenius Rusia, Sergei Prokofieff (1891-1953). Kelincahan perkusif Prokofieff di tangan Ade menjadi monumen gemilang. Cermat dan punktual Kaya dalam warna disonan, ia menyingkap isi hati pemuda Prokofieff yang sedang menggebu tiada batas. Sikap intelektual disertai teknik dan wawasan musikal yang tajam telah menjadi perangkat penting dalam permainannya, sehingga ucapan kontroversial seorang Prokofieff berdiri anggun nan menantang. Sisi lain yang menonjol pada pianis muda ini adalah vokabuler puitis yang ternyata mengalir dalam Ballada no. 1 opus 23, karya komponis Polandia, Frederic Chopin (1810-1849). Sapuan besar dapat ia anyam dengan lirik bersahaja yang mendalam. Teknik tinggi yang selalu menjdi tuntutan utama pianistik dalam semua karya Chopin tidak terbatas pada keterampilan dangkal. Ade mampu memindahkan kaidah-kaidah kecil dalam napas kebesaran balada ukuran gigantis. Menghadiri resital perdana Adelaide Simbolon mengusik hati saya. Dengan empat karya besar yang ia suguhkan, ternyata Adelaide tegar dari awal sampai akhir acara. Menurut para ahli, lingkungan masa kanak-kanak dan remaja kelak menjadi arah penentu dalam proses kematangan seseorang. Dari data kehidupannya, sebagian masa kecil dan remaja baginya telah berlangsung di Moskow, Rusia. Itu sebabnya - menurut saya - ia begitu mudah dan sempurna menyerap karya Prokofieff. Begitu utuh penafsiran dramatik yang melandasi karya ini, menjadi miliknya. Berparas cantik, bersikap tenang, dan beropini tegas, Adelaide Simbolon dilahirkan di Jakarta tahun 1961. Ia adalah anak kedua dan putri pertama dari enam bersaudara. Pada tahun 1972 seluruh keluargap indah ke Moskow. Ayahnya, Tumpal Simbolon, bertugas scbagai kepala sekolah dari Sekolah Indonesia di sana selama hampir lima tahun. Ibunya adalah seorang pendeta. Ade menamatkan SD dan SMP di Rusia. Kembali di Tanah Air sekitar 1976, Ade melanjutkan sekolah SMA dan meneruskan pelajaran piano di Sekolah Musik YPM. Setelah lulus SMA, ia masuk Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam bidang piano, setelah lulus bagian Persiapan Konservatorium YPM, ia meneruskan studi musik di Wisconsin Conservatory, USA. Konon, karena kesulitan dana, Conservatory ini di ambang penutupan, dan segera Ade pindah ke University of Wisconsin di kota yang sama. Dari sini ia mendapat beasiswa. Di sinilah ia menjadi mahasiswi Fine Arts Department, yang mewajibkan setiap mahasiswa mengikuti bidang seni lainnya, di samping bidang utamanya. Landasan instink kuat yang ada pada Ade diperluas lagi dengan empat bidang seni yang ia pilih: Tari Teater, Film, dan Seni Rupa. Namun, karena bidang musik adalah pilihan utamanya, pelengkap bidang seni yang lain tidak dibenarkan menyita seluruh waktu. Ia tetap harus dapat membuktikan keutuhan bidangnva dcngan mengikuti pelajaran-pelajaran musik yang menurut pengakuannya sangat berat. Apakah Ade sempat mengikuti bidang komposisi? "Oh, tidak," katanya. "Untuk itu kita diharuskan menjadi theory major dulu," katanya sigap, merendah. Tetapi ia juga berguru pada Carolyn McCrackenForough dan Jeffry Peterson - di antara pakar piano di sana. Lulus 1987 dengan Bachelor of Fine Arts in Classical Piano Performance, Ade masih ingin meneruskan studinya, meraih yang lebih, dalam profesinya. Keutuhan diri Ade sebagai pemain tidak menyangsikan kemungkinan ini. Untuk itu kita boleh mengatakan bahwa predikat apa pun yang akan ia peroleh kelak, akan ditentukan oleh sosok pribadinya. Semua bekal - teknik, puisi, wawasan - telah menjadi miliknya kini. Bravo, Adelaide! Dan selamat datang kembali di tanah air yang kita cintai ini. Iravati M. Sudiarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus