Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Semangat Bangkit dari Covid

Yusuf Susilo Hartono menggunakan berbagai material dan media untuk sketsa-sketsanya. Mengajak kita move on.

8 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Antara Hidup Mati. Dokumentasi Move On

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bocah itu menengadah, tangan kirinya lunglai menjuntai dan dadanya membusung dengan garis tulang rusuknya yang menonjol. Tubuhnya berada dalam pangkuan seseorang berbaju hazmat. Ia tampak tak berdaya. Sementara itu, di belakang mereka bola-bola bermahkota mengingatkan kita akan penampakan virus corona yang sedang meluluhlantakkan peradaban kini. Sketsa ini cukup menyentuh.

Sketsa lain memperlihatkan sepasang laki-laki dan perempuan. Mereka tampak khusyuk, berkhidmat memanjatkan doa dan harapan. Si perempuan tafakur menundukkan kepala dan menengadahkan kedua tangan di dekat mukanya, sementara si laki-laki menengahkan muka dan kedua tangannya. Bola-bola bermahkota bertebaran di sekeliling mereka. Lagi-lagi kita dibawa dalam imaji virus Covid-19, dan kali ini melihatnya dengan pendekatan religius.

Satu lagi adalah sketsa yang memperlihatkan seorang perempuan dengan mukenanya. Ia tampak khidmat, memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya. Yusuf Susilo Hartono, seniman dan jurnalis seni, memberi judul ketiga sketsa tersebut Antara Hidup Mati (2020), Bersabung Doa di Taman Korona (2020), dan Astaghfirullah (2020).

Tiga sketsa ini adalah bagian dari enam karyanya bertema corona. Tiga lainnya yakni Korona Merah Hati (2020), Balada Masker (2020), serta Perayaan dan Kenangan (2020). Karya-karya tersebut, bersama 67 karya lainnya, dipamerkan secara daring dalam tajuk “Move On” yang ditayangkan di saluran YouTube Budaya Saya, beberapa waktu lalu.

Tema itu lahir dari keprihatinan Yusuf atas pandemi yang menghantam kehidupan hampir semua manusia di berbagai belahan dunia. Namun ia mengajak kita agar tak tenggelam begitu saja dalam situasi tak menentu ini. “Saya mulai dengan karya yang ceria, indah, bersemangat. Saat ini, seperti kata Didi Kempot, dalam situasi ambyar, kita harus move on. Bangkit, semangat melalui situasi ini,” ujar Yusuf.

Menurut Citra Smaradewi, kurator pameran ini, Yusuf mendekati pandemi dari sisi kemanusiaan dan pendekatan spiritual. Ia mencontohkan karya yang memperlihatkan perempuan di atas. “Sosok perempuan sangat ekspresif,” ujarnya. Selain itu, menurut Citra, Yusuf menghadirkan tema seni dan budaya.

Dalam sejumlah karya itu, Yusuf menghadirkan gerak dari tari balet dan tari tradisional. Ia menggambarkan gerak-gerak penari yang dinamis, dengan kelenturan dan keluwesan tubuhnya. Pada seri “Balerina”, misalnya, sketsanya terlihat begitu hidup, memperlihatkan sang penari berputar, berdiri pada satu kaki, melayang. Idenya mengalir dari pentas balet beberapa sanggar, seperti Marlupi, Namarina, Sumber Cipta, dan EKI Dance Company.

Begitu pula ketika ia membuat sketsa seri seni tradisi dengan model tari beksan, penari tunggal sedang memanah, dan penari berpasangan. Yusuf terinspirasi dari gerak tari pentas Padnecwara dalam judul Dewabrata, Abimanyu Gugur, dan Kurawa-Pandawa Tanding. Karya-karya itu memperlihatkan sosok perempuan yang aktif dalam kegiatannya di panggung.

Selain itu, Yusuf menampilkan sosok perempuan dengan kehidupannya sebagai ibu dengan kasih sayangnya. Sketsa perempuan-perempuan dengan ekspresi cinta menggendong dan menyusui anaknya diberi judul Sayang-sayang 1-3. “Yusuf mengangkat perempuan sebagai sosok mandiri, penuh kreativitas dan semangat juang. Bagaimana perempuan punya peran dalam lingkup sosial dan dalam situasi pandemi,” ujar Citra lagi.

Yusuf menggunakan ragam material, media, dan teknik dalam berkarya, dari akrilik, pastel, tinta cina, hingga kopi di kertas. Material ini disesuaikan dengan ide dan karya. Menurut Citra, ini bukan memperlihatkan ketidakkonsistenan Yusuf, melainkan, menurut Citra, “Memperlihatkan pengalaman dan proses berkaryanya.”

Yusuf mengaku dalam menuangkan ide mempertimbangkan material yang dipakai. Hal ini berkaitan dengan obyek yang dilihat dan ditemui on the spot, apakah itu di dalam gedung, di panggung, atau di luar ruang. “Seperti ketika saya ikut berperahu klotok di Sungai Mahakam, saya memakai pastel untuk mengimbangi kecepatan obyek yang bergerak,” kata Yusuf.

Di luar soal itu, ia merasa pameran virtual ini cukup menantang dalam penyajian karya. Dengan penggunaan teknologi, harus cermat memasang karya. “Seniman harus belajar terus.”

 DIAN YULIASTUTI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus