Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realita, Cinta Dan Rock’n Roll Sutradara dan penulis skenario: Upi Pemain: Vino G. Bastian, Herjunot Ali, Nadine Chandrawinata, Barry Prima, Sandy Harun Produksi: Virgo Putra Film
Dua pemuda itu, Nugi (Herjunot Ali) dan Ipang (Vino G. Bastian), tampak asing masuk sebuah rumah besar dengan kebun penuh tanaman terawat. Ada sekumpulan ibu setengah tua dengan satu pelatih pria yang tengah asyik menari salsa. Sambil menunggu si empunya rumah, satu bingkai foto besar menemani pandangan heran mereka. Potret wanita berbaju cerah besar terpampang dominan, tanpa ada satu pun foto lelaki. Padahal, kata ibu Nugi (Sandy Harun), ia mesti menemui ayahnya.
Dalam hitungan jam pengakuan ayahnya yang sudah menjadi wanita elegan bernama Mariana (Barry Prima) melontarkan Nugi dan Ipang (sahabatnya yang juga kabur dari rumah, setelah tahu anak adopsi) ke dalam dunia realita baru. Dari rumah ibu penuh harum aromaterapi, pasien meditasi, dan senyum kompromi pacar ibunya (Tino Saroengallo) yang suka bilang ”boleh juga” dan ”peace”, yang tak membuatnya betah di rumah, Nugi menjelajahi dunia baru. Kini dia manut diajak belanja di supermarket, rajin membeli barang vintage di pasar loak, menjadi patner para ibu centil dan dansa salsa dan menata bunga meja. Satu lagi, ia menjadi penghibur ketika sang mama ketakutan melihat film horor di bioskop.
Dunia Nugi dan Ipang sebelumnya? Dunia anak nakal: suka bikin onar di kelas; ngabur pas pelajaran; ngebul rokok sampai berbungkus-bungkus; berkelahi melawan siapa saja demi soal sepele; ngebut di jalanan bersama satu sosok molek, Sandra (Nadine Chandrawinata), pemilik distro, pacar pria bersuami yang ditelantarkan ibu pemabuk.
Ini realita yang dihadirkan Upi, si sutradara. Sebuah cerita yang berbeda 180 derajat dari yang pernah ditulis sebelumnya, yakni kisah tiga cewek mencari cinta dalam 30 Hari Mencari Cinta.
Kali ini ia menawarkan sebuah penyajian baru tentang anak-anak muda Indonesia. Tidak ada pretensi untuk menjadi ”dalam”. Gambaran anak muda di mata Upi adalah gambaran yang kita lihat sehari-hari di MTV: ringan seperti busa sabun; anak-anak hasil multimedia yang jarang membaca.
Soal transeksual? Ini juga baru. Tema baru, tentu ingin sebuah spirit baru. Seorang lelaki—yang telanjur kawin dan punya anak lelaki remaja—pada masa tuanya kemudian menyadari identitasnya sebagai waria bukan hanya sesuatu yang baru di layar putih Indonesia; tetapi bahkan di masyarakat Indonesia. Seorang lelaki yang kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangganya—anak dan istri—karena menyadari dirinya seorang gay, sudah mulai terlihat di beberapa pelosok di negeri ini. Kenapa pula Upi memasukkan sesuatu yang tampaknya agak dipaksakan? Dia terpikat dengan karya-karya Pedro Almodovar. Ini lagi contoh sutradara yang tak rajin mengamati masyarakatnya sendiri. Tapi tetap harus diakui, Barry Prima sebagai waria sudah lebur pada karakter keras menjadi sentral pada kekuatan film ini. Tubuhnya yang besar, tegap, mampu menyatu pada sosok wanita.
Bagaimanapun Upi—penulis skenario, sutradara, sekaligus co-produser— berhasil menghadirkan dialog segar dengan mencampuradukkan emosi penonton. Akting duo bandel Junot dan Vino lumayan baik, ikut memperkuat segarnya film ini. Kehadiran tokoh yang diperankan Nadine Chanddrawinata? Memang cantik, tapi jikapun tokoh itu dihilangkan, tidak mengapa. Sosok itu seperti tempelan untuk membuat layar lebih berwarna.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo