Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sitok Srengenge
Judul itu mengandaikan bahwa huruf h yang berada di dalam tanda kurung boleh dianggap tiada, sehingga kata hilang berubah menjadi ilang. Tentu Anda pun tahu bahwa pelenyapan huruf h pada kata hilang seperti itu bukan hanya keliru, melainkan juga memunculkan kesan tentang kuatnya pengaruh bahasa daerah (Jawa).
Saling pengaruh dalam pertumbuhan suatu bahasa adalah hal yang lumrah. Banyaknya unsur serapan dalam setiap bahasa bisa menjadi salah satu petunjuk tentang seberapa besar pengaruh bahasa lain yang diterimanya. Menyerap pelbagai unsur dari bahasa lain sama sekali tidak dianggap sebagai kelemahan, melainkan, sebaliknya, dipahami sebagai sifat akomodatif dan produktif bahasa penyerap. Dalam studi bahasa, istilah akomodatif sering dimaknai sebagai kemampuan menampung unsur bahasa lain dalam bentuknya yang utuh, tanpa perubahan; sedangkan produktif diartikan sebagai kemampuan membentuk dan menghasilkan unsur baru yang dapat digunakan secara teratur. Banyaknya kata serapan dalam bahasa Indonesia membuktikan wataknya yang akomodatif dan produktif.
Kembali ke masalah pelenyapan huruf h dari tempatnya di awal kata. Beberapa waktu lalu, ketika kata hutang belum berubah menjadi utang, saya menyadari adanya daya produktif bahasa Indonesia. Saya lebih dulu mengenal kata utang (dari khazanah bahasa Jawa) daripada kata hutang dalam bahasa Indonesia. Kehadiran huruf h pada kata hutang dan hutan saya hargai sebagai daya produktif itu, karena membedakannya dari bentuk lama yang diserapnya, yakni utang dan utan. Kini h pada hutang lenyap, tapi pada hutan tetap.
Selain hutang menjadi utang, kata-kata yang mengalami pelenyapan h sebagai huruf pertama, di antaranya, adalah handal menjadi andal, hembus menjadi embus, hempas menjadi empas, hentak menjadi entak, henyak menjadi enyak, himbau menjadi imbau, himpit menjadi impit, hisap menjadi isap, dan hingar menjadi ingar.
Mungkin Anda bertanya, mengapa huruf h pada kata-kata tersebut mesti dilenyapkan? Jujur saja, saya tak tahu jawabnya. Saya hanya ingat, pada suatu masa, kata handal dan andal sama-sama digunakan dengan beberapa pengertian, di antaranya: cakap, pandai, tangguh, dapat dipercaya. Kita tentu merasa tak asing, juga paham, kalimat ”Muhammad Ali adalah seorang petinju yang handal,” misalnya. Entah mengapa, ketika handal tidak tampil sebagai morfem bebas, huruf h-nya selalu lenyap, seperti tampak pada andal-an, di-andal-kan, meng-andal-kan. Saya belum pernah menemukan kata handal-an, di-handal-kan, atau meng-handal-kan. Dari perubahan kata dasar ke kata berimbuhan itu, bisa dipahami jika h pada handal sebaiknya dilenyapkan.
Salah satu kemampuan swadaya bahasa adalah beranalogi, yakni kemampuan membentuk unsur baru berdasarkan pengaruh sistem lain yang telah ada. Noam Chomsky menyebut kemampuan itu dengan istilah kompetensi, hampir sepengertian dengan istilah Ferdinand de Saussure, langue, yang diyakini terdapat dalam pikiran setiap penutur bahasa. Mungkin sejumlah penutur bahasa Indonesia, terutama yang merasa punya kuasa untuk mengubah dan menetapkan aturan berbahasa, hendak menggunakan kasus peralihan kata handal menjadi andal sebagai analogi.
Tetapi, mengapa kata-kata seperti hembus, hempas, henyak, hentak, himbau, himpit, hisap, dan hingar—yang tak mengalami perubahan bentuk ketika dilekati imbuhan—harus pula ditiadakan huruf h-nya? Kita paham mengapa kata hajar tidak dilenyapkan h-nya menjadi ajar, karena jika itu dilakukan yang terjadi bukan saja perubahan bentuk, melainkan juga perubahan makna. Begitu pula jika hantar harus dijadikan antar. Kata hajar dan ajar, juga hantar dan antar, telanjur punya makna berbeda. Karena perbedaan makna itulah, maka dua varian kata—yang dengan maupun yang tanpa h—sama-sama dipelihara.
Tetapi, bagaimana dengan kata yang tanpa h dan yang dengan h (tanpa perubahan makna), misalnya ujung dan hujung? Kebalikan dengan handal yang kehilangan h menjadi andal, kata ujung justru ketambahan h saat mengalami afiksasi, misalnya ketika dilekati prefiks peN-, menjadi peng-hujung. Mengapa kedua bentuk itu, ujung dan hujung, tetap dipertahankan? Dan bagaimana pula halnya kata-kata lain seperti hormat, hiruk, hardik, hambur, haru, heran, dan masih banyak lagi, tidak serta-merta dilenyapkan h-nya?
Kita bisa maklum jika seseorang berdalih bahwa ketidakajekan pelenyapan huruf h niscaya akan terjadi, sesuai dengan sifat bahasa yang beranalogi tetapi tidak mutlak. Namun, yang patut ditegaskan di sini, ketidakmutlakan beranalogi itu justru mengacu kepada sikap yang mengindahkan bahasa sebagaimana yang hidup di masyarakat. Pelenyapan h dari sejumlah kata, kecuali handal, selain menafikan sifat produktif bahasa—karena mengembalikan kata kepada bentuk lama yang diserapnya—juga abai terhadap kekuatan emotif dan asosiatif kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo